semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Professor Tua



Malam itu ia belum juga tidur. Hamid yang biasa disapa Prof Hamid masih saja duduk di bangku kerjanya, melihat-lihat informasi terbaru tentang jaringan darah ikan, bosan dengan itu ia melanjutkan membaca koran pagi. Sebentar-sebentar ia membuka catatan presentasi kuliahnya untuk besok. Pikirannya sibuk, padahal tubuhnya sudah lemas, pangkal kakinya kedinginan, ia menyelimutinya dengan kaos kaki berbahan woll. Matanya lelah, ia berdiri membungkuk pelan hingga tegak lalu menuju jendela. Dilihatnya bulan yang indah, awan kelabu bersayap di sisinya.

Insomnia sudah hampir setahun menggerogoti malam-malamnya. Ia membuka jendela, menyalakan cerutu. Angin dingin masuk dari cela daun jendela, ia membiarkan. ”Saya sudah tua dan harus lekas mati”. Berhadapan dengan bulan, ia meringis, ”ouuhhh... ”, lututnya ngilu, syaraf-syaraf kaki kiri beraksi. Rematik juga setia menemani hari tuanya. Umur hamid sudah 70 tahun, dan masih aktif mengajar di Fakultas Hewan Laut Universitas Kota Matahari. Ia memimpin sebuah laboratorium bergengsi dan disegani, yaitu Lab. Fisiologi Hewan Laut. Dua bulan lalu, ia dinobatkan oleh pimpinan kampus sebagai Profesor emeritus, gelar kehormatan tertinggi di dunia akademik. Bukan sekadar profesor, tapi profesornya profesor. Sehingga, hamid-lah satu-satunya raja akademik di kampus itu.

Namun, tubuhnya sudah ringkih, sejarah juga hadir tiap detik, dan dunia berubah. Banyak hal yang tidak diinginkan oleh Hamid terjadi di fakultasnya. Mahasiswanya makin lama makin dongkol, diantara sekian banyak mahasiswa, cuma seberapa yang berminat terhadap bidang kajian analitik (tema kesukaan Hamid), padahal menurutnya, kajian ini adalah core, yang menjadi basis terdepan terhadap perkembangan teknologi atau pun pengetahuan terhadap biologi hewan laut. Hal yang paling dirisaukan Hamid yaitu kurangnya penelitian bermutu yang dihasilkan mahasiswa. Dosen pun begitu, mereka lebih sibuk berebut proyek pemerintah sampai-sampai berselisih dan saling benci satu sama lain. Membayangkan hal itu membuatnya marah, dan mendengus-dengus.

“Anak muda sekarang tidak disiplin!!” pikirnya. Begitu jarang diantara mereka yang menonjol, kebanyakan hanya turut nimbrung meramaikan aktivitas akademik saja, belajar sana-sini, menghapal dan merapal kian kemari namun tak menghasilkan apa-apa. Otak mereka hanya sebagai spon penyerap informasi, namun tidak tahu mau dibuat apa informasi itu.. barangkali untuk lulus ujian saja, setelah itu mendaftar sana sini, menyogok sana sini, lalu berleyeh-leyeh lagi. Tak ada perbincangan menarik, tak ada rangsangan, tak cantik, tak ada perkembangan ilmu pengetahuan, yang ada adalah pengulangan, kebosanan.. Hamid bosan dengan ini semua..

Setiap ia melihat anak muda yang berleha-leha di pelataran, bercengkrama entah apa (kemungkinan besar bukan tentang ilmu hewan laut) tanpa satu pun diantara mereka yang memegang buku, ada perasaan sedih di hatinya. Ingin rasanya ia menegur, mendengarkan apa yang dibicarakan lalu membongkar cara berfikir mereka yang pendek, tapi.. ia sudah terlalu tua. Dan mungkin menjadi bahan tertawaan anak-anak muda itu. Hamid pun membiarkan saja.. hemm.. kini ia ingat bahwa matanya sudah perih dan berat, dan rematiknya yang kian menjadi-jadi..

Profesor itu melangkah-langkah pelan di atas lantai papan, tangannya melipat di dada, bolak-balik tanpa juntrungan. Ia memikirkan banyak hal. Insomnia telah memaksanya selalu berpikir, namun, kali ini yang dipikirkannya bukan tentang ilmu, sebagaimana biasanya. Tapi ia memikirkan anaknya, Layla, semata wayang. Anaknya jauh di pulau seberang, dua tahun lalu merantau ke Jawa untuk bersekolah musik klasik. Hamid baru sadar bahwa Layla sudah menghabiskan banyak uang, tiap bulan ia minta dikirimkan uang sekian juta tanpa jelas apa manfaatnya. Dan tadi ia minta uang lagi, katanya untuk beli biola baru. Padahal, uangnya tidak sebanyak dulu lagi, sekarang ia hanya mengandalkan gaji dan tunjangan. Tambahan-tambahan proyek sudah tidak ada, semua sudah dibabat habis oleh profesor dan dosen di bawahnya. Lagian Hamid sudah sakit-sakitan.

Hamid pun sadar, bahwa Lyla sudah besar, namun belum mengerti begitu sulitnya cari uang. Anaknya yang manja itu cuma tahunya minta dan minta. Dan sialnya, otak encernya tidak terwariskan ke anak satu-satunya itu, justru yang turun adalah sikap manja dan royal istrinya, beserta senyum misterius yang dapat menggoda setiap laki-laki yang memandangnya. Hamid pun mengenang cara menatap anaknya itu. tatapan yang sering membuatnya celingukan, gemetar. Lyla yang cantik, secantik ibunya waktu muda, mungkin telah menyihir pemuda-pemuda di sana. Pikiran itu membuat hamid tambah gelisah, “Mungkinkah anaknya bermain-main dengan pemuda?”, “Ah.. tidak mungkin., saya sudah mengajarkan.. jangan bergaul sembarangan.. harus fokus pada kuliah..”.

Hamid kelelahan berfikir dan duduk bertelekan di kasurnya, tiba-tiba suara mesjid hadir, dan itu betul-betul menyiksanya. Hari sudah subuh, tapi ia belum juga tidur, ini merupakan siksaan terberat. Dengan rasa sedih itu, matanya pun mulai kantuk. Ia pun terlelap kelelahan.

**
Sinar matahari menyelinap lewat jendela kamarnya yang terbuka. Kamar pun menghangat dan itu membuat Prof Hamid terbangun. Rambutnya teracak, matanya merah, dan ia masih merasa lelah. Hendak tidur lagi, namun tak bisa karena ada jadwal mengajar di kampus pagi ini. Dengan bosan ia menurunkan kaki ke lantai dan langsung minum air putih yang gelasnya cukup besar. Hamid minum sangat banyak, hanya itulah yang dapat dilakukannya untuk kembali menyegarkan otaknya. Istrinya sudah ada di dekatnya, mengenakan daster corak harimau, Hamid kaget minta ampun. Istrinya yang sudah mulai bongsor itu, yang alisnya sudah ia kikis itu dengan wajah datar menyuguhkan kopi. Sama dengan hari-hari sebelumnya, ada yang hilang dari Rina istrinya, ia tidak lagi senyum menggairahkan yang selalu mengecup mesra pundaknya saban pagi. Kini, istrinya yang wajahnya pucat dengan kerutan yang sudah ditambal-tambal itu malah dengan sikap merendahkan diri memanggilnya Prof. Mungkinkah dengan memanggilnya Prof telah membuatnya bangga? Ataukah ia pun merasa hebat sebagai istri profesor emeritus dan kemudian menjadi barang dagangan berharga untuk bergaul dengan ibu-ibu tetangga? Entah sejak kapan, Hamid merasa kalau Rina ini sudah menjadi orang lain. Rina lebih banyak berdandan, memamerkan baju-baju bagus tiap hari.. sering keluar rumah, jadwal pengajian dan arisannya pun tambah padat.

“Ayo mandi Bapak Professor.. lalu makan, sarapan sudah tersedia”..

Sudah sekian hari ia tidak tidur sama istrinya. Ia tahu bahwa ia sedang sakit, dan belum ada obat yang menyembuhkan insomnianya. Istrinya pun tak ingin turut campur, ia memilih tidur di kamar anaknya yang sedang merantau.

Pukul 9 Hamid sudah di kampus. Ia mendapat banyak sambutan di pagi itu. Dan ia hanya mengangguk. Masuk dalam ruang lab.nya, ia melihat sosok yang tak asing. Di bangku tamunya telah duduk dosen lulusan Universitas Paris yang baru pulang dari studi doktoralnya di Prancis itu. Namanya DR. Lukman, seorang ahli karang. Mereka berpelukan, sebelum ke Prancis, Hamid-lah yang membantu dosen muda itu memperoleh beasiswa luar negeri. Dan sekembali dari Prancis, Lukman ingin berbakti menjadi asisten professor.

Lukman berpostur kecil, tapi tubuhnya kekar, lengan-lengannya lebar. Yang paling mengesankan Hamid adalah analisa Lukman yang tajam terhadap persoalan ilmu biota laut, setajam matanya. Hamid senang mendengarnya menjelaskan, tentang perbedaan antara lumut di dinding eropa dengan lumut di got-got Indonesia, tentang teknik rancangan percobaan terbaru terhadap penentuan spesies karang kipas, atau tentang perbedaan antara orang prancis dan Jerman dalam hal bercinta dan bermain sepak bola.. Lukman, seorang fanatik terhadap ilmu pengetahuan, metodologi, dan tentu pada pandangan agama atau aliran tertentu. Siapa saja diajaknya berdebat, hingga lawan-lawannya lumpuh, atau malu.. tapi, ada arogansi juga dari sikapnya itu, sehingga ia tidak disenangi oleh dosen-dosen lain. Tentu, orang yang ia segani hanya Prof Hamid, tak ada lain, karena cuma ia yang mengerti dan mampu mengimbangi pertanyaan-pertanyaan gelisahnya.

“Prof tampak tak sehat, semalam istirahatnya enak Prof?”

“Kurang enak badan Man, sudah beberapa hari ini saya menderita insomnia”

“Saya turut prihatin Prof.. apakah Prof tahu kalau dalam jaringan karang lunak itu terdapat cairan yang berfungsi mengurangi stress dan juga penyakit insomnia?”

“Yah, saya tahu bahwa cairan itu bisa mengobati stress berkepanjangan, semacam obat penenang, tapi kalau insomnia saya belum tahu.. oh ya, anak muda, ayo temani saya mengisi kuliah di auditorium sekarang..”

Mereka melangkah bersama, turun tangga dan menyapa mahasiswa-mahasiswa yang duduk-duduk di tepi-tepi koridor. Dalam auditorium sudah duduk 200 mahasiswa baru yang ingin mendengarkan kuliah Profesor nomor satu di kampusnya itu. 20 menit pertama ia berhasil menarik perhatian, suaranya masih nyaring, pikirannya masih terang, dan jemari tangannya juga masih lincah mencoret-coret papan tulis, tapi.. pada menit ke 30, pikirannya sudah gelap. Insomnianya kambuh.. Hamid mengantuk.

Ia membuat relaksasi dan duduk sebentar di kursi, lalu menjelaskan lagi. Kali ini cairan sudah mulai keluar sedikit-sedikit di hidungnya, ia pun terbatuk-batuk. Dan pada menit ke 40 ia menghentikan kuliah. Ia keluar sendiri dengan perasaan bersalah. Bahwa ia tidak setangguh dulu lagi, ia bukan Hamid yang lincah, yang gesit, yang berpengaruh, yang membanggakan itu. Hamid yang sekarang adalah Hamid yang sakit, lemah. Di telinganya, ia masih terusik oleh bisik-bisik dan ketawa kecil para mahasiswa dalam ruangan tadi. Tapi ia menahan diri. Kini, ia duduk termenung di kursi koridor, di sampingnya ada seorang mahasiswa.

Sebenarnya, Hamid tak mengidamkan gelar profesor atau emeritus itu. Yang ia inginkan adalah kondisi lincah mengajar. Buat apa gelar setinggi langit, tapi dalam ruang kuliah cuma menjadi bahan tertawaan? Kemudian, Ia melihat mahasiswa di sampingnya itu serius membaca buku. Tampaknya ia mahasiswa baru karena tidak mengenal sosoknya, dan mungkin hanya mengira kalau yang duduk di sampingnya, pada bangku yang kakinya sudah doyong itu seorang bapak tua pegawai perpustakaan atau kantor akademik.

Hamid dengan suaranya yang gemetar membuka percakapan: “Apa yang kamu baca anak muda?”

“biasa pak, sebuah teori usang tentang kemunculan kehidupan di muka bumi”

“boleh dijelaskan anak muda?”

“Kemunculan kehidupan itu berasal dari proses swaorganisasi bahan-bahan material dalam sistem yang kompleks, di dalamnya terbentuk struktur-struktur baru seiring perubahan zaman, dimana terjadi pertukaran energi terus-menerus. Struktur organisasi dalam tubuh organisme awal bersifat tertutup dan di bagian luar tempat menyerap energi dan informasi itu bersifat terbuka.. maaf pak, bahasanya sedikit sulit dipahami, tapi begitulah statment ilmu pengetahuan pak. Kita kadang kesulitan menyederhanakan..”

Hamid termangu mendengarnya, ia tak menyangka anak semester satu ini sudah mengetahui teori yang dalam itu, teori yang mengguncang ilmu dan pondasi agama itu.. ia pun kembali bertanya:

“bukankah dengan begitu kamu menyimpulkan bahwa kehidupan itu berasal dari proses kebetulan.. ? kalau demikian, berarti perkembangan selanjutnya juga proses kebetulan.. apakah itu tidak meruntuhkan kepercayaanmu terhadap misteri “penciptaan” anak muda?”

“saya lebih percaya pada logika Bapak.. kehidupan muncul dari sesuatu yang tak ada kemudian ada, lewat jalur-jalur bangun struktural kompleks, chaotik, nonlinear dan tidak setimbang ini sampai sekarang masuk dalam logika saya Bapak.. kalau dihubungkan dengan agama, mungkin saja tuhan menciptakan kehidupan dengan cara seperti itu.. dan saya pikir, begitulah cara tuhan mencipta, tidak serta merta hadir tanpa ada prosedur yang masuk akal..”

“yah-yah.. saya berpikir begitu juga anak muda.. salam kenal, saya Hamid.. kamu siapa?”

“Saya Anwar Bapak..”

Mereka pun berpisah setelah diskusi panjang dan rumit. Besoknya, mereka bertemu lagi di kursi yang doyong itu. Mereka diskusi panjang lagi, kali itu tentang kemunculan bahasa yang rumit, dan bagaimana perkembangan otak manusia dan juga bahasa itu sendiri.. besoknya lagi, mereka diskusi tentang seks, lalu agama, lalu budaya, lalu apa saja.. Prof hamid setiap pulang ke rumahnya masih terheran-heran, ternyata ada orang yang lebih cerdas darinya dengan usia muda seperti itu.

Esoknya, Prof Hamid akan mencari anak muda itu, dan ia melupakan segalanya. Kali ini pakaian bukan batik lagi, tapi berupa kaos oblong, jelananya jeans, dan memakai sandal. Ada yang aneh dalam dirinya, perubahan yang besar, namun ia tidak menyadari. Yang ia tahu, bahwa ia ingin berpenampilan sederhana, mirip anak muda itu. Sesampai di kampus, ia disapa oleh Lukman, asistennya:

“Professor berubah hari ini? tambak lebih muda Prof.. apakah Prof mau mengisi kuliah pagi ini? sudah seminggu Professor tidak mengisi kuliah?”

“Ah.. iya, maaf Lukman saya terpesona dengan seorang mahasiswa kita, tapi, kuliah itu kamu yang isi kan?”

“Iya Prof, saya berinisiatif menggantikan isi kuliah, saya melihat professor kurang sehat..”

“iya, terimakasih Man.. apakah kamu melihat mahasiswa yang sering nongkrong memegang buku di bangku doyong itu?”

“saya tidak memperhatikan Prof.. tapi beberapa kali saya melihat prof istirahat di situ seorang diri..”

“Oh begitu.. oke, saya ke tempat anak muda itu dulu yah”

Hamid keranjingan, jiwa mudanya bangkit oleh diskusi-diskusi menyenangkan setiap hari. Ia melupakan orang-orang di sekitarnya, melupakan kawan-kawan dosennya, dalam kepalanya, dosen-dosen yang lebih muda darinya itu tidak merangsang, kurang cemerlang, ucapan-ucapan mereka lebih banyak basa-basi.. mereka cuma kumpulan penghapal teori, dan parahnya, mereka itu telah membangun dinasti sendiri, yang begitu kuat, sehingga kebenaran hanya milik mereka, tidak bisa digugat.. ilmu pengetahuan menurut mereka, yah seperti itu.. sementara anak muda ini lain, ia membongkar, dekonstruksi, dan dengan diskusi-diskusi itu ia membangunnya lagi, menghasilkan hipotesis baru, lalu dikoreksi lagi, dengan meneliti kesalahan-kesalahan, metode yang digunakan adalah fallibilitas, dimana teori dianggap benar, kalau tak ada lagi noda di dalamnya..

Ketika menuju pelataran, dengan wajah cerah ia menyapa semua orang. Mahasiswa-mahasiswa yang disapanya terlihat ketakutan. Tapi dia membiarkan.. toh itu tidak penting. Setibanya di pelataran, ia begitu gembira melihat pemuda itu lagi, yang dengan serius membaca buku.

“Anwar, senang bertemu kamu lagi pagi ini”

”selamat pagi Pak” sapa Anwar dingin.

”Bapak, apakah bapak sadar kalau kita selalu diamati oleh orang-orang yang lewat di koridor ini? Tampaknya mereka selalu menertawai kita Bapak”..

”biarlah mereka tertawa anak muda, mereka tidak tahu betapa dahsyatnya diskusi kita setiap hari, mereka tidak merasakan nikmatnya berbagi pengetahuan itu”

”okelah Pak.. begini Pak........ ”
**

Lukman mulai heran dengan tingkah laku Professor kebanggannya itu, setiap hari ia berbicara sendiri di bangku, dengan penuh semangat dan tanpa bosan. Ia lalu mendiskusikan hal itu dengan dosen-dosen lain, mereka berkesimpulan bahwa Prof Hamid menderita sakit jiwa, Tepatnya skizoprenik.

Besoknya, ia menemani Professor duduk di bangku, dan melihat tingkahnya yang aneh itu. Namun ia tenang-tenang saja. Sebab, Professor sudah tak ada lagi, professor sudah mati sejak sehabis kuliah terakhirnya itu. Kini, ialah yang berkuasa terhadap mata kuliah, terhadap lab fisiologi biota laut, dan juga tentu dengan anggaran penelitian dalam bidang fisiologi hewan air.

Hamid semakin berbahagia hari itu. Tentu, hari-hari tuanya kini terasa berwarna, pertanyaan-pertanyaan yang dulu mengendap di kepalanya kini terlontar semua.. ”hari-hari terakhir ini adalah jalan bahagia menuju ajal.. ” Pada malam harinya ia sudah bisa tertidur nyenyak. Insomnianya tiba-tiba lenyap. Dan esoknya, ia tidak bangun-bangun lagi.

Dalam tidurnya itu, Hamid bermimpi : ia dibawa oleh anak muda itu (tak lain adalah dirinya sendiri waktu muda) kembali ke masa lalu. Mereka tiba di perpustakaan, milik ayah Hamid, dengan gembira mereka mengutak-atik perpustakaan itu.. dan memang, masa muda Hamid, banyak habis di perpustakaan itu.

Dan Anwar adalah nama kecil Hamid, yang berarti api, cahaya, ilmu pengetahuan..



2 komentar:

Hana Nuraini mengatakan...

serius, saya terpukau sama jalan critanya... sungguh keren!! :)

Idham Malik mengatakan...

terimakasih Hana.. tulisan tersebut mungkin sebuah bentuk refleksi sy pada kondisi kampus yng sudah hambar nuansanya.. salam kenal.. :)

Professor Tua