semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Wawancara dengan Pak Rusli, Peneliti Rumput Laut Balai Budidaya Laut (BBL) Ambon


Rabu dini hari, 28 September 2011, saya sudah terbangun, tidur lumayan nyenyak. Sehabis shalat subuh, saya berbincang banyak dengan Pak Rusli tentang kondisi rumput laut di Maluku. Saya mengundangnya ke kamar asrama agar dapat berdiskusi secara rileks, Alhamdulillah, pagi itu, beliau memberikan banyak gambaran. Menurutnya, budidaya rumput laut di provinsi Maluku memberikan berkah besar bagi masyarakat daerah pesisir, “pada 2006 lalu, rumah masyarakat masih beratap rumbia, tapi setelah setahun memelihara rl, mereka pada membangun rumah batu. Bahkan ada beberapa orang yang berangkat naik haji dari hasil budidaya rumput laut,” katanya.

Apresiasi pemerintah pun lumayan besar, pada awal 2007 itu telah diadakan survey dan pembentukan kelompok tani awal untuk memulai usaha rl, dimana daerah focus waktu itu terletak di Dusun Wael, Kotania dan Pulau Ozi di Kab. Seram Bagian Barat (SBB), dan di pesisir desa Sathean di Kab. Maluku Tenggara. Karena menampakkan hasil yang cukup lumayan, berbondong-bondonglah warga pesisir untuk melakukan konversi jenis pekerjaan ke pemeliharaan eucheuma cottoni di laut, yang sebelumnya masih menjadi petani kasbi, dan sebagian menjadi nelayan lepas. Sekarang, produksi dan perluasan wilayah sangat cepat, dan untuk daerah Maluku, hampir semua kabupaten menjadikan rumput laut sebagai produk unggulan.

Pada awal-awalnya, harga masih 3.500 rupiah, tapi terus menanjak hingga 18.000 perkilo pada akhir 2007, dan terus mengalami turun naik berkisar harga 7000-10.000, dimana di tiap kabupaten berbeda laju dan besaran pluktuasinya. Untuk daerah SBB lumayan kondusif dan netral, berkisar 10.000 karena rumput laut daerah tersebut diakui berkualitas baik, seperti kandungan karagenannya yang tinggi (70%) dan tingkat kekotorannya yang rendah lantaran dijemur di atas para-para. Selain itu, para pengusaha dari Surabaya dan Makassar sengaja datang langsung membeli rl petani, jadi permasalahan pasar tidak menjadi kendala. Untuk kabupaten lain, harga masih menjadi persoalan, karena sangat bergantung dari perkembangan pasar dan kesepakatan di tingkat pengumpul local. Harga selalu turun menjelang hari-hari besar, seperti idul fitri dan hari natal, karena masyarakat membutuhkan uang untuk belanja hari besar, sehingga banyak nelayan yang terpaksa menjual dengan harga murah, misalnya Rp 7000, harga demikian masih bertahan hingga sebulan setelah lebaran seperti waktu-waktu sekarang ini. Menurut kebanyakan nelayan, akan naik lagi dalam waktu dekat dan akan kembali normal pada kisaran 9000-10000 rupiah. Hal lain yang menentukan perkembangan harga adalah kondisi geografis provinsi Maluku yang berupa pulau-pulau, sehingga akses ke lokasi budidaya mesti menempuh jarak pelayaran dalam tempo lama.

Menurut Rusli, pihak Balai Budidaya Laut Ambon telah melakukan intervensi ke dua dusun SBB pada 2006-2007. Saat itu, BBL menyiapkan 32 unit, dimana setiap unit terdiri atas 10 bentangan RL (1 bentangan 100 meter dengan hasil perunit sekali panen rata-rata 300 kilogram kering). Terbina 11 orang, setiap orang mendapat tiga unit waktu itu. Pada perkembangan awalnya, pengolahan rumput laut yang diterapkan berupa pengepresan, dimana satu karung plastic yang berisi 7-8 kilogram kalau dipress lagi bisa sampai 100 kilogram perplastik.

Pada tahun-tahun awal itu, model usaha yang berkembang masih taraf kecil dengan mencoba mengolah rumput laut menjadi agar-agar, dodol dan sirup. Namun, tingkatnya masih skala uji coba dan temporer, lantaran pemasaran yang sulit, sehingga hanya diproduksi ketika ada even-even pameran saja atau ada pesanan dari luar. Tentang perkembangan produk olahan ini, dibutuhkan intervensi konsep dari atas, untuk mengiringi laju kinerja pemerintah local. Pusat mesti turun tangan untuk mempercepat pelaksanaan program industry pengolahan yang tepat dibangun di provinsi Maluku. Karena, dengan adanya industry, persoalan fluktuasi harga akan dengan sendirinya terselesaikan. Harga dasar bisa ditetapkan, dan tak ada lagi permainan pasar, karena bahan baku akan terserap untuk kebutuhan industri.

Tentang pendanaan, telah ada bantuan dana Corelaterali yang dideposit ke bank sebagai jaminan, ini dirintis oleh BBL yang mempertemukan pihak bank, Pemda dan masyarakat. Selain itu, ada juga Program Usaha Mandiri Pedesaan (PUMP), berupa pemberian bantuan bibit dan tali. Menurut Jacob Leunufna, pihak Bank Indonesia (BI), pada tahun 2010 telah ada kesepakatan tentang permodalan dengan Pemda, lewat bantuan modal lewat bank local seperti BRI dan BPD Maluku. Untuk Seram Bagian Barat telah dilibatkan BPD dan BRI, misalnya dusun Wael kordinasi dengan BPD dan BRI unit Piru, serta BRI unit Gemba. Telah ada juga bantuan alat chip, serta intervensi program kemeneg PDT untuk beberapa kelompok tani.

Tapi, sebagian masyarakat masih kesulitan dalam akses permodalan, pihak bank menurutnya segan memberikan kredit lantaran takut tak ada pengembalian dari masyarakat. Tentang bantuan terhadap kelompok tani sendiri, ada masyarakat yang mengeluh karena bantuan banyak diberikan hanya pada kelompok tani yang dekat atau kerabat pejabat desa setempat saja. Jadi, sekarang ini, masyarakat lebih banyak mandiri, tinggal bagamana pihak pemerintah mengatur regulasinya terkait persoalan harga. Tentang pemberian bantuan itu, kelompok tani mesti diidentifikasi lahan usahanya dan diberikan secara objektif, disini dibutuhkan bantuan dari LSM atau tenaga civil society di daerah setempat.

Untuk produktivitas rumput laut pada lahan satu hektar, bisa didefenisikan seperti ini: perhektar terdiri atas sepuluh unit, yang menghasilkan 2 – 5 ton kering RL. Tapi rata-rata masyarakat mengelola setengah hektar perrumah tangga, dimana 1 unit menghasilkan 600 kilogram rl (hitungan rill), atau sekitar 300 – 400 kilogram per unit, 1 unit terdiri atas sepuluh tali bentangan panjang 100 – 125 meter dengan 220 titik. Jadi untuk satu hektar, bisa menghasilkan 4 ton (400 kilogram x 10 unit).

Jam menunjukkan pukul 06.00, pagi sudah terlihat terang, pak rusli kembali ke rumahnya yang juga terletak di kompleks BBL, sementara saya siap-siap untuk bergerak lagi di hari kedua, menemui beberapa dinas yang terkait. Awal hari itu pun menjadi awal hari yang menyenangkan..



0 komentar:

Wawancara dengan Pak Rusli, Peneliti Rumput Laut Balai Budidaya Laut (BBL) Ambon