semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (9)

Sudah sebulan aku di negeri hutan ini. Hari-hari kian boyak lantaran terus diawasi oleh si Gogol, abdi Raja Limbu yang taat. Ini pula yang membuat pikiran kian penasaran, seakan ingin mengetahui lebih jauh seluk beluk negeri yang diliputi misteri ini. Tapi itu tak membuatku kehilangan akal. Dengan alasan mempelajari spesies serangga dan tanaman hutan, saya meminta ditemani oleh para ksatria untuk berkeliling di Negeri Koro saban hari.

Aku berjalan menembus embun. Menggunakan parang yang memudahkan untuk memotong ranting-ranting yang menghalangi. Pohon di sini sangat beragam, begitu pula dengan tetumbuhan perdunya. Saat itu saya menggandeng keranjang anyaman bambu, mengumpul aneka dedaunan yang bisa jadi ramuan obat. Sesekali saya memohon bantuan budak Gogol untuk memanjat pohon. Mengambil beberapa helai daun anggrek hitam yang menggantung di batang pohon ek.

Saat kami berada di sisi sungai, tempat bermukim kaum gurun, berlangsung pertengkaran seru. Beberapa penduduk tanpa busana, hanya sebatang koteka yang menempel di kelamin mereka, mendapat perlakuan tak sewajarnya dari warga sungai yang badannya sudah terbungkus kain. Penduduk pribumi itu nampaknya ingin memperotes prilaku sebagian warga sungai yang dengan semena-mena mencemari sungai dengan limbah minyaknya serta menebangi pohon di bawah umur. Protes mereka pun berujung perkelahian.

Pertengkaran mereka terdengar samar karena terhalangi oleh aliran sungai yang riaknya menderu-deru. Seorang yang paling depan berteriak dari seberang sungai.

”Hei warga sungai dari suku gurun. Walaupun kalian mendapat perlindungan Raja Limbu, kalian jangan semena-mena membuang limbah ke sungai. Akibat dari perlakuan kalian, banyak anak-anak kami yang menderita penyakit kulit saat bermain air di sekitar hilir. Tolong, pedulikan kami warga pribumi!!”

Dari pihak warga sungai, yang berteriak adalah pemuda berambut gimbal, serta berjanggut lebat.
”hahaha..., ini bukan urusan kalian, manusia dungu!! Kalian tak tahu apa-apa tentang apa yang kami kerjakan. Pergi sana atau kalian akan kami musnahkan!!” bentak pemuda itu sambil mengacungkan parang di lengannya.

”Kami sekadar memperingati untuk kebaikan kita bersama. Kalau sungai tercemar. Ikan sebagai makanan pokok kalian juga akan teracuni. Bisa jadi kalian akan teracuni pula setelah memakan hewan air itu,” balas si pribumi dengan menurunkan volume suaranya.

”Kami tak akan teracuni. Kami dengan mudah mengenali gejala-gejala ikan yang tercemar. Kalian jangan banyak bacot, atau...”

”Kalian betul-betul keras kepala. Beginikah watak orang yang sering makan ikan itu, yang katanya otak mereka jadi lebih cerdas? Saya kira omong kosong belaka,” tambah si pribumi yang kian meningkatkan emosi warga sungai.

Suasana kian memanas. Tanpa sepengetahuan warga pribumi, suku gurun sudah mempersiapkan busur mereka. Setelah percakapan dingin itu, sontak beberapa pemuda negeri gurun menghujani warga pribumi dengan anak panah. Dalam sekejap, anak panah itu menembus badan beberapa warga pribumi. Insting mereka menyuruhnya untuk melarikan diri. Meski begitu, setelah menyeberangi sungai. Warga gurun mengejar mereka. Membacok leher mereka hingga putus. Membiarkan sungai berwarna merah oleh darah mereka.

Pemandangan itu, sangat memiriskan hati. Aku yang kebetulan berdiri agak jauh, pada sebuah lahan yang agak tinggi cuma dapat melihat. Dan kian penasaran dengan situasi di hutan ini. Setelahnya saya berbalik dengan mengendap-endap. Takut kalau kedengaran mereka. Anak panah akan menancap pula di punggungku.



0 komentar:

Tentang Negeri yang Tak Ada Lagi (9)