semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Warga Bajo’e, Masih Bertaruh Nyawa dengan Laut


Siang itu, kampung Bajo masih terlihat santai. Belum ada aktivitas yang mencolok. Hanya beberapa warga saja yang terlihat merokok, jongkok menekuk lutut di atas bale-bale di bawah kolong rumahnya. Terlihat pula para remaja nongkrong di tepi jalan setapak pavingblok. Sementara kaum perempuannya cuma ber-leyeh-leyeh di dalam rumah, menghabiskan hari dengan berbagi cerita dengan tetangga, bercanda atau malah istirahat siang. Pekerjaan utama kaum perempuan di kampung ini adalah mengurus keperluan dapur.

Kampung Bajo terletak di pesisir teluk Bone, Kelurahan Bajo’e Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone. Dari namanya, kampung Bajo identik dengan suku Bajo, suku yang selama ini dikenal dengan pelaut-pelaut ulungnya, yang jago menari-menari di kedalaman samudera, sama halnya burung elang di udara. Kampung Bajo ini merupakan pusat pemukiman suku Bajo di Kabupaten Sulawesi Selatan, mereka hadir di pesisir yang menjorok ke teluk bone itu sejak ratusan tahun silam.

 Sejarah suku Bajo sendiri masih menyisakan Misteri. Ada argumentasi yang menyebutkan bahwa nenek moyang suku Bajo konon berasal dari kerajaan Johor, Malaysia. Pada zaman dahulu kala mereka dititahkan oleh raja Johor untuk mengejar putrinya yang melarikan diri. Namun, sang putri yang kemudian ditemukan menetap di pulau Sulawesi itu tak mau pulang ke kerajaan Johor, sehingga lambat laun para pencarinya juga turut memilih tinggal di pesisir pantai Sulawesi.

 Cerita lain berasal dari para antropolog, mereka mencatat bahwa suku Bajo adalah penduduk yang lari ke laut untuk menghindari perang dan kericuhan yang terjadi di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang hidup sepenuhnya di laut. Cerita pun berkembang dan kadang meyerempet stereotipe negatif, sebagian antropolog malah berasumsi bahwa Suku Bajo adalah suku perompak atau bajak laut. Tapi asumsi itu masih diperdebatkan di kalangan antropolog, benang merah yang dapat ditarik hanya berkisar pada asal suku Bajo yang berasal dari suku Sume.

Suku Bajo sendiri sampai sekarang telah menyebar dan beradaptasi ke berbagai belahan pesisir kepulauan nusantara, yaitu di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.

 Konon, keahlian pelaut Bajo menyusuri samudera ini dilirik oleh kerajaan Sriwijaya pada awal-awal abad ketujuh, bergandengan dengan suku Bugis dan Suku Mandar yang juga dikenal lihai mengarungi laut, mereka pun menjadi bagian dari armada laut Sriwijaya, kekuatan maritim yang terbesar di Belahan Samudera Hindia.

Sekilas Kondisi Kampung Bajo’e
Kejayaan pelaut Bajo tentu masih terekam dalam ingatan bangsa ini, namun cerita-cerita ketegaran dan kekuatan mereka itu kadang tak relevan dengan perkembangan zaman. Warga Bajo tetap mempertahankan tradisi nenekmoyangnya untuk mencari peruntungan di laut, sehingga tampak terisolir terhadap arus modernisasi. Belum lagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap dunia laut yang membuat mereka kian terjebak dalam kubangan kemiskinan.

 Begitu pula dengan kehidupan warga kampung Bajo’e, Kab. Bone. Saat penulis bertandang ke sana, terlihat deretan rumah kayu khas Bajo, rumah kaum pelaut ini tak beda jauh dengan rumah kayu milik suku Bugis. Dindingnya terbuat dari bilah papan, atap dari seng ataupun rumbia, ada pula yang kolong rumahnya dimanfaatkan sebagai ruangan tambahan. Terdapat juga rumah yang sudah miring, namun masih betah didiami.

Berbeda dengan pemukiman Bajo daerah lain, rumah di Kampung Bajo’e ini tidak lagi dikelilingi laut. Menetap di darat dan tidak tinggal di atas perahu Soppe lagi, perahu dengan kendali dayung yang bisa menetap di mana saja. Di sela-sela rumah, mata disibukkan dengan jemuran pakaian yang bergelantungan, aneka warna. Tapi, pada tanah-tanah berpasir, tempat rumah kayu bertengger itu, tampak gersang dan tak terlihat satu pun tumbuhan mekar di atas tanah. Belum lagi tumpukan sampah-sampah rumah tangga, yang dibiarkan bertumpuk dan bertaburan di pinggir-pinggir rumah.

 Kondisi lingkungan yang memperhatinkan tak begitu mengusik kehidupan warga Bajoe. “Sebelumnya, rumah-rumah di kampung Bajoe ini berdiri di atas permukaan air, sekitar tahun 1960-an, tapi kemudian permukaan air laut turun, sehingga rumah-rumah berdiri di darat,” ungkap Rufli, 54 tahun. Ia melanjutkan bahwa setiap bulan pun warga Bajo melakukan kerja bakti untuk membersihkan sampah-sampah di atas tanah.

Ketersediaan air bersih sepertinya masih menyulitkan warga Bajoe. Di kampung itu hanya terdapat dua sumber air yang berupa perpipaan bor dan satu bor pribadi. Sebuah sumber air dapat menanggung 20 rumah. “Warga mengambil air bergantian, ada yang ambil malam dan ada yang ambil pagi. Kadang pula mereka antri,” kata Bayu, warga kampung berumur 23 tahun. Bayu juga merupakan pemilik bor pribadi tersebut, ia kadang menjual air perpipaannya ke warga kampung, biasanya seribu rupiah perenam ember air. “sumber air milik pribadi ini kami banyar perbulannya sebesar 30 ribu sampai 50 ribu rupiah,” lanjut Bayu, yang saat itu duduk istirahat di kolong rumahnya. Sementara Mengenai sanitasi dasar, mereka telah menggunakan jamban standar. Tapi, kebersihannya belumlah sepenuhnya terjamin.

Perekonomian Nelayan Bajoe
Warga kampung Bajoe menggantungkan kehidupan sepenuhnya dari hasil laut. Belum ada hal lain yang menarik dan mampu mengalihkan perhatian orang Bajo terhadap laut. Sederhananya, boleh dikata laut adalah kehidupan mereka.

Kaum laki-laki suku Bajo ini kebanyakan menangkap ikan di teluk Bone dan ada pula hingga ke teluk Sinjai. Waktu yang mereka perlukan untuk sampai ke teluk Bone sekitar empat jam. Mereka biasanya berangkat di subuh hari dan kembali pada petang hari. Ada juga yang baru pulang dua atau tiga hari kemudian. Mereka mengarungi samudera dengan berperahu Soppe bertenaga dayung, perahu mesin berukuran kecil dengan dua cadik di sisi kiri kanannya, sebagian yang lain menggunakan perahu sedang dan ada pula menggunakan perahu besar berawak enam sampai tujuh orang.

Rata-rata menangkap ikan menggunakan jaring atau pukat, biasa juga menggunakan pancing. Ikan hasil tangkapan pun beragam, ada katombong, sinrilik, cakalang, kerapu, baronang, dan pula yang menangkap gurita dan cumi-cumi. “Hasil penjualan ikan dalam sehari biasa seratus ribu sampai 300 ribu rupiah. Kalau untuk nelayan sawi yang ikut sama juragan menangkap ikan kadang mendapat upah 50 ribu rupiah sementara juragan sebesar 100 ribu rupiah,” ungkap Bayu.

Bukan hanya kaum pria yang turun ke laut, terdapat pula nelayan perempuan, tapi hanya bisa dihitung jari. Salah satunya adalah Ibu Temma, nelayan teripang yang sudah beranjak tua, kini berumur 65 tahun. Ibu ini sehari-hari memungut teripang ketika air laut surut hingga lima kilometer ke arah laut. Dalam sehari, ibu yang tak mahir berbahasa Indonesia ini dapat memeroleh 20 ribu rupiah, dengan penjualan satu ember teripang. Pendapatannya dalam sehari itu pun dikurangi lantaran keperluan membeli solar sebanyak Rp. 5000, dan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti beras, gula, kadang juga membeli ikan.

Nelayan yang menggunakan perahu kecil biasa memeroleh sepuluh kilo ikan, sedang perahu berukuran sedang menampung tiga sampai lima ton ikan, sementara untuk perahu besar mampu memeroleh dan menampung hingga sepuluh ton ikan. Tapi, kebanyakan nelayan kampung Bajo di sini hanya menggunakan perahu kecil untuk menangkap ikan, dimana mengarungi samudera hanya dalam jangka waktu satu dua hari saja.

Pendapatan mereka itu kemudian dikelola oleh istri para nelayan masing-masing. Dipakai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, keperluan mendadak dan untuk menyekolahkan anak-anak mereka. “Warga di sini tetap menyekolahkan anak-anak mereka, hingga ke sekolah lanjutan, tapi kebanyakan berhenti di tengah jalan karena persoalan biaya,” ujar Akbar, salah seorang Nelayan Bajo.

Risna, seorang istri nelayan berumur 28 tahun mengaku kadang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam dua hari saja, ia mengeluarkan anggaran sebesar 50 ribu rupiah untuk konsumsi keluarga, sementara suaminya yang bernama Ilham hanya biasa memeroleh hasil penjualan ikan sebanyak seratus ribu rupiah dalam tiga hari. Ia pun tak sanggup membantu suami mencari tambahan dana, lantaran tak ada modal untuk usaha. “Belum lagi di daerah sini sangat sulit untuk cari kerja,” ujar ibu muda itu.

Hal serupa diutarakan Harmiati, 47 tahun. Hasil dari penjualan gurita suaminya hanya untuk keperluan sehari-hari. Rasyid, suaminya, hanya memeroleh hasil penjualan sebanyak Rp. 30 ribu sampai Rp. 50 ribu perhari. Sedangkan untuk keperluan sehari-hari rata-rata mencapai Rp 30 ribu, dengan rincian membeli kue pada pagi hari, pisang, nasi kuning, air bersih, dan beras lima liter per dua hari. “Dua anak saya sekolah di tsanawiyah, tapi satu berhenti sekolah saat kelas tiga Sekolah dasar karena tidak ada biaya,” ungkap Harmiati yang saat itu anaknya lagi sakit demam.

Pendapatan yang tak seberapa itu sepertinya cukup memengaruhi tingkat partisipasi sekolah pada anak-anak suku Bajo. Penulis pun sempat mengintip di ruang dapur rumah kayu Ibu Harmiati, kedua anaknya sementara mencicipi nasi disertai sedikit kerang laut. Makannya cukup lahap. Di ujung dapur itu, tampak pula tempat pembuangan air kecil, dimana pembuangannya langsung jatuh ke tanah di bawah rumah, sehingga bau amis kadang menghampiri.

Lumrah tampaknya, tapi, seketika muncul rasa haru dalam hati ini. Setidaknya, untuk memutus mata rantai kegelisahan itu, perlu ada riset khusus mengenai penanganan masalah kemiskinan nelayan. Dengan mengacu pada bukan sekadar penanganan teknis, seperti pemberian bantuan dana dan jaminan sosial, tapi juga menelisik akar budaya dan mitos-mitosnya. Hal itu dilakukan untuk mengetahui pola pikir, merubah paradigma dan kerangka strategi kebudayaan. Tentunya, bukan hanya warga yang mesti dimengerti, jajaran birokrasi pun terkait erat dengan mata rantai itu. Tentunya, paradigma mereka pun harus sejalan.

Tulisan ini pernah dimuat dalam buku MDGs Kabupaten Bone, Kerjasama antar UNICEF Makassar dan Pemda Bone



0 komentar:

Warga Bajo’e, Masih Bertaruh Nyawa dengan Laut