semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pemenuhan Hak-Hak Dasar Bulo-Bulo


Desa Bulo-Bulo adalah salah satu desa yang dianggap minim sumberdaya. Bulo-Bulo terletak di Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa ini tertinggal disebabkan oleh tiga hal, yaitu keterisolasian penduduk, sumberdaya alam yang terbatas – terletak di daerah kemiringan dan sulit air, dan keterbatasan sumberdaya manusia.

Ketertinggalan ini menyebabkan warganya kesulitan memperoleh hak-hak dasar untuk hidup. Seperti kesempatan bersekolah dan memperoleh pelayanan kesehatan. Mereka pun masih berkutat pada pertanyaan, “Apa yang bisa dimakan esok hari”, “bagaimana memperolehnya”, “dimana dapat uang untuk tambah biaya sekolah anak”, “bagaimana membeli obat kalau sakit”.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mungkin selalu muncul di benak warga Bulo-Bulo. Sebanyak 80 persen penduduk memiliki lahan di bawah satu hektar, banyak di-antaranya yang hasil panennya hanya untuk konsumsi rumah tangga (subsisten).

Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu faktor yang menyebabkan seseorang dapat berkembang daya hidupnya. Pendidikan memberikan modal kepada seseorang untuk berdaya mandiri, percaya terhadap kemampuan diri berdasar pada sumberdaya yang dimiliki. Pendidikan diyakini dapat membebaskan seseorang dari ketergantungan pihak lain.

Kondisi Bulo – Bulo dari sektor pendidikan memang sudah menampakkan hasil baik. Di desa ini sudah tersebar gedung-gedung sekolah dasar tempat para generasi Bulo-Bulo menuntut ilmu. Yang dimulai dengan didirikannya SD Lappatemmu pada tahun 1982, dilanjutkan dengan SD Panggalungang tahun 1997, SD Impres Maroanging tahun 1998, SD impres Labaka tahun 2008, dan SMP Desa Bulo-Bulo pada tahun 2008. Fasilitas itu dapat berperan untuk memperbaiki kualitas generasi dan masa depan desa.

Bantuan pembangunan SMP di Bulo-Bulo berasal dari Australia. Sebelum berjalannya proses belajar mengajar di SMP ini, banyak warga Bulo-Bulo yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP dan cukup puas dengan pendidikan SD. Bagi yang melanjutkan sekolah, harus menetap di luar desa dan beradaptasi dengan kultur kota Barru ataupun Pangkep. Mereka pun harus mengeluarkan biaya tambahan. “Sekolah memang gratis, tapi biaya hidup yang mahal,” ucap Ruslan, Sekdes Bulo-Bulo.

Pendidikan menjadi bekal utama warga dalam menghadapi kondisi lahan sulit. Pada musim kemarau mereka merantau ke daerah atau negeri lain. Dalam perantauan itu, sangat dituntut kemampuan berkomunikasi, membaca, menulis, menghitung dan bagaimana bisa beradaptasi terhadap kebutuhan tenaga kerja daerah. Dengan modal pendidikan, mereka dapat meningkatkan keahliannya pada bidang-bidang tertentu di daerah rantau.

Namun, hingga saat ini masih banyak warga yang dalam kondisi buta huruf, terkhusus bagi penduduk yang berusia di atas 40 tahun atau mereka yang tidak sempat mengecap pendidikan di masa mudanya, lantaran belum adanya fasilitas dan belum munculnya kesadaran akan pentingnya sekolah, atau karena faktor ekonomi.

Mereka pun kurang memiliki modal pengetahuan, walaupun mereka sering ke kota untuk menjadi buruh sawah ataupun menjadi buruh sawit. Sebab di daerah lain mereka hanya mengandalkan tenaga dan kurang mengasah keahlian lain. boleh dikata interaksinya dengan penduduk lain itu tidak berkorelasi positif dengan inisiatif usaha yang dapat mereka kembangkan di desa.

Sehingga sangat diperlukan peningkatan kapasitas Sumberdaya Manusia Bulo-Bulo. Dengan pola menggali lebih dalam pengetahuan mereka sendiri yang diperoleh selama berpuluh-puluh tahun dalam mengolah sawah, untuk dibantu sistematiskan dan direfleksi. Sehingga mereka sadar dan mampu mengelola pengetahuan mereka sendiri. Di samping itu, dibutuhkan metode pembelajaran yang bersifat empiris dan pengamatan langsung di lapangan. Anak didik didekatkan dengan lingkungannya (ekologinya), sehingga mereka mampu mengembangkan pikiran untuk mengatasi persoalan-persoalan di lingkungannya sendiri. Metode ini biasa disebut sekolah alam.    

Di Bulo-Bulo kendala pendidikan kadang disebabkan oleh prasangka negatif pada kelainan fisik yang disebut stigma. Terdapat kasus bahwa anak suku Tobalo dan Togaribo merasa risih bergaul di sekolah. Anak-anak itu sering memperoleh ejekan dari kawan sekolahnya dan membuat mereka tidak percaya diri bergaul di sekolah.

Ini menjadi tantangan tersendiri untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri anak-anak yang kebetulan berbeda fisiknya dengan lain. Selain itu peranan guru sangat penting untuk merekatkan hubungan antar anak yang berbeda fisik.

Sekolah-sekolah di desa ini punya kelebihan, mereka belum punya desakan belajar yang begitu kuat, sangat berbeda dengan kultur belajar di kota. Selain itu, yang mesti dipertimbangkan adalah motivasi mereka untuk belajar, ini sangat dipengaruhi oleh kultur orang tua mereka yang memandang sekolah itu belum begitu penting, sehingga anak-anak sehabis pulang sekolah ikut bekerja di kebun atau di sawah. Dan mungkin saja tidak masuk kelas karena bekerja di sawah membantu orang tua. Pulang dari sawah mereka sudah capek dan tidak ada waktu untuk belajar. Sehingga kualitas pengetahuan anak-anak desa secara kumulatif jika kita tinjau berbeda dengan kualitas hasil didik anak kota. Pendidikan di kota didukung oleh guru-guru yang banyak, fasilitas buku yang banyak, waktu luang yang besar untuk mengembangkan diri.

Salah satu solusinya yaitu melibatkan orang tua dalam proses pendidikan. orang tua diajak untuk mengerti bagaimana proses dan pentingnya pendidikan itu. Agar mereka memberikan keluasan dan mengarahkan anaknya untuk selalu belajar menuntut ilmu.

Orang tua adalah pihak yang paling berperan dalam perkembangan ilmu dan jiwa anak. Meski orang tua mereka buta huruf, mereka pada dasarnya lebih memahami ilmu kehidupan dan lebih arif dalam berinteraksi dengan alam. Orang-orang tua di kampung punya cara tersendiri dalam menyeleksi pohon yang ingin ditebang, memiliki pengetahuan tentang cara merawat hutan, dan tahu  bagaimana menyesuaikan lahan dengan kondisi cuaca yang berubah-ubah. Pengetahuan-pengetahuan lokal inilah yang dielaborasi untuk dintroduksi ke anak didik.

Kesehatan
Penduduk Bulo-Bulo belum begitu menikmati pelayanan kesehatan. Memang, di pusat desa telah terdapat Pustu dan telah ada bidan desa (honor), namun itu serasa belum cukup. Di desa ini banyak yang menderita penyakit gatal akut, gondok, cacat fisik, dan penyakit menular seperti tuberculosis dan lepra/kusta. Ada dua kemungkinan penyebab lambatnya proses pelayanan kesehatan di Bulo-Bulo, pertama pada persoalan pencegahan penyakit yang bersumber dari gaya hidup sehat dan proses adaptasi terhadap lingkungan, kedua yaitu faktor akses jalan yang sulit, sehingga petugas kesehatan kesulitan menjangkau korban atau penderita. Jalan yang parah ini juga menghambat para petugas kesehatan dari kota untuk menyuplai obat-obatan.      

Kesehatan Ibu dan Anak
Proses persalinan ibu dan anak di desa Bulo-Bulo ditangani oleh bidan dan dukun. Bidan bertugas untuk memantau perkembangan kehamilan hingga pasca melahirkan. Namun bidan yang aktif di desa ini hanya seorang, tentulah akan kewalahan menangani kesehatan ibu hami di dusun-dusun yang jaraknya berjauhan. Sehingga yang memegang peranan lebih dalam membantu ibu hamil adalah dukun. Di desa Bulo-Bulo terdapat empat dukun. mereka berdomisili di dusun yang berbeda. Dukun menangani penyakit penduduk dengan mengandalkan sistem tradisional dan obat-obatan sederhana.  

Pada tahun 2013 ini terdapat satu kasus kematian ibu hamil. Ibu ini mengalami kegagalan kehamilan sehingga menyebabkan kematian. Saat itu tidak ada tenaga kesehatan yang menolong karena susahnya akses jalan. Sementara antisipasi penyakit berbahaya pada balita berupa vaksinasi atau imunisasi dilakukan sekali sebulan di Posyandu. Namun imunisasi ini hanya di kantor desa, sehingga mungkin saja ada bayi yang berasal dari dusun-dusun yang jauh terkadang tidak diimunisasi.    

penyakit menular dan kebiasaan hidup sehat
Hasil FGD Desa Bulo-Bulo menemukan sejumlah kasus penyakit menular. Diantaranya Lepra (kusta), TBC dan gatal-gatal. Lepra adalah jenis penyakit yang dapat menghabiskan daging lengan dan tungkai kaki sehingga rentan cacat. Lepra disebabkan oleh sejenis virus yangbernama Mycobacterium leprae. Di desa ini data sementara menunjukkan bahwa penderita lepra di desa ada di Dusun Maroanging (3 orang) dan di Lappatemmu (2 orang).

Sementara ini belum diketahui kebiasaan hidup pengidap penyakit kusta tersebut dan seberapa parah penyakit yang dideritanya. Selain itu butuh diketahui sejarah penyakit dan penyebaran penyakit di desa tersebut.

Penyebaran penyakit juga didukung oleh kurang ketersediaannya gizi bagi penduduk miskin di dataran tinggi lahan kering. Warga di dusun-dusun tepi bukit tersebut kurang memperoleh gizi berupa protein. Sebab ketersediaan ikan cukup sulit di desa ini, ikan didatangkan dari Kab. Pangkep atau dari pusat kecamatan. Ikan pun sedikit tersedia hanya pada hari pasar yang dilaksanakan seminggu sekali. Selain itu, warga tidak punya cukup penghasilan untuk selalu menikmati makanan mewah seperti ikan.

Banyak juga warga yang menderita sakit gondok. Diidentifikasi terdapat 12 penderita gondok yang tersebar di tujuh dusun. Diduga penyakit gondok disebabkan kurangnya asupan garam beryodium pada konsumsi keluarga korban. Sehingga perlu diteliti ketersediaan garam beryodium pada warga miskin di Bulo-Bulo.

Selain kurangnya gizi, indikasi yang lain adalah kebiasaan hidup sehat penduduk. Indikator yang paling dapat dilihat yaitu fasilitas water closed (WC) warga yang tampak belum memenuhi standar. Warga juga punya kebiasaan mandi tidak pakai sabun. Sehingga di Desa Bulo-Bulo banyak warga yang mengalami gatal-gatal (70%). Mereka tak memakai sabun bisa juga disebabkan karena lemahnya ekonomi sehingga tidak membeli sabun. Tapi data ini perlu dicek ulang.

Selain itu, pemanfaatan air bersih masih kurang optimal. Di Dusun Passingareng, penduduk mengantisipasi kurangnya air bersih dengan membangun saluran perpipaan dengan dana swadaya. Sebanyak 40 KK yang memanfaatkan air perpipaan ini, tapi hanya 40 persen air yang sampai ke rumah penduduk dan pada musim kemarau hanya 10 persen saja air yang mengalir ke rumah penduduk. Sehingga pada musim kemarau, banyak penduduk yang tidak menikmati air bersih.

Mata air terdapat di hutan lindung, hutan lindung pohonnya baru berumur sepuluh tahun. Luasan hutan kurang lebih 20 hektar. Ada kegiatan mengambil madu dalam hutan. Di situ juga dipasangi sebagian perangkap untuk babi hutan. Harus dilakukan perawatan hutan lindung, untuk melindungi sumber air.

Untuk memenuhi kebutuhan gizi warga, ada baiknya untuk mencoba memelihara ikan untuk kebutuhan rumah tangga. Misalnya pada musim hujan dimana air cukup melimpah dibuatkan bedengan untuk menampung air dan diberi ikan. Warga juga bisa mengusahakan tanaman sayur-sayuran di lahannya yang agak basah, untuk memenuhi kebutuhan akan mineral sayur. Saya mengamati sangat jarang warga yang mengusahakan sayur-sayuran di halaman rumah warga.

Aspek kesehatan lainnya yaitu terdapat beberapa warga yang mengalami cacat fisik, seperti tuna netra, tuna rungu, cacat tangan dan kaki. Fakta ini perlu diverifikasi untuk menemukan apa yang menjadi penyebab cacat (buta dan tuli) tersebut, apakah karena faktor usia, gizi ataukah faktor kecelakaan.

Ekonomi  
Luas Desa Bulo-Bulo seluruhnya 3.129 Ha. Tanah untuk pertanian seluas 10 %, hutan negara lindung  18 %, luas prasarana umum 73 %. 30 % Kepala Keluarga (KK) mempunyai luas lahan di bawah satu hektar. Jumlah penduduk Desa Bulo-Bulo tahun 2012 adalah 2188 jiwa atau 537 kk, terdiri atas 1102 jiwa laki-laki dan 1086 jiwa  perempuan.

Dalam jumlah penduduk tersebut, mayoritas 97 % bekerja sebagai petani. pertanian di Desa Bulo-Bulo pada umumnya adalah pertanian lahan kering, semua lahan pada umumnya adalah lahan/sawah tadah hujan. Ini disebabkan karena kurangnya mata air di lahan berbukit-bukit. mereka memanfaatkan lahan pada musim hujan dimana terdapat air sungai Lappatemmu dan Sungai Panggalungang yang bisa dialirkan ke sawah. Pada musim kemarau mereka memanfaatkan tanaman kacang yang tidak terlalu membutuhkan air Atau mereka merantau ke luar daerah.

Di samping bercocok tanam, penduduk Bulo-Bulo juga memelihara ternak. Peternakan yang paling dominan adalah sapi, selain kuda. Dusun yang penduduknya memiliki ternak sapi yang banyak yaitu Dusun Panggalungang dan Lappatemmu. Ternak ini selain punya kemampuan ekonomis juga berfungsi untuk menghasilkan pupuk. Sementara kuda masih digunakan untuk membajak sawah. Jumlah perkiraan ternak di Desa Bulo-Bulo yaitu 1.715 ekor sapi, 12 ekor kerbau, 5.432 ekor ayam kampung, 86 ekor bebek, 31 ekor kuda, 23 ekor domba.

Dalam sistem ekonomi, perempuan juga memiliki peranan penting. Berdasarkan hasil Kalender Harian FGD/PRA, ditemukan bahwa perempuan juga melakukan aktivitas berkebun pada pukul 08.00 – 11.00 yang dilanjutkan pada pukul 14.00 – 17.00. di samping aktivitas rutinnya dalam menyiapkan makanan dan membersihkan rumah. Aktivitas lain yang dilakoni perempuan seperti berangkat memetik sayur dan mengambil pakan ternak.

Komoditas utama penduduk Bulo-Bulo adalah gabah/padi yang ditanam pada awal musim penghujan, tepatnya Januari hingga April. Penanaman padi banyak dilakukan oleh penduduk yang menetap di lahan sedikit datar, yaitu di Dusun Passingareng, Lappatemmu, Palampang. Di dusun tersebut terdapat sungai yang airnya melimpah pada musim hujan. Mereka pun memanfaatkan irigasi sederhana untuk mengalirkan air sungai ke sawah-sawah yang polanya sengkedan. Penduduk di dusun sedikit datar ini jarang menanami lahannya dengan tanaman hortikultura dan kacang, sebab hama babi sering kali menyerang jenis tanaman perkebunan tersebut. Meski seperti itu, tetap ada penduduk yang menanam jagung, yaitu pada Bulan Oktober hingga Desember, Kacang pada bulan Desember hingga Januari, dan Maret hingga Mei.

Penduduk dusun yang berada di kemiringan bukit dan kurang sumber air, seperti di Dusun Maroanging, Rumpiae, dan Labaka hanya memanfaatkan tanaman jagung dan kacang pada musim hujan, walau ada juga yang sebagian menanam padi di ladang-ladang yang masih subur.

Menurut pengakuan Syarifuddin, warga dusun Rumpiae, jagung ditanam pada bulan sepuluh (awal masuk musim hujan) dan panen pada bulan Januari. Pada akhir januari lahan ditanami kacang hingga maret. Setelah itu masuk musim kemarau, pada saat-saat malase itu ada yang menanam kemiri, namun tidak terlalu banyak. Kemiri lima tahun baru bisa dipanen buahnya. Setelah itu pohon kemiri dibabat dan diambil kayunya. Lahan itu pun dibakar. Setelah itu telah dapat ditanami jagung atau padi lagi.

Selain itu di dusun Rumpiae, Labaka dan Maroanging, ada juga yang mengusahakan gula merah yang diproduksi sepanjang tahun, madu pada September hingga November, merica pada Agustus hingga September, dan kopi yang dapat dipanen pada bulan Juni dan Juli. Sedangkan kemiri dapat dipanen pada september hingga November. Kemiri ditanam pada saat ladang sudah kritis dan kemiri berfungsi untuk memagari atau menandai kepunyaan lahan. kemiri dapat tumbuh di ladang kritis karena tidak terlalu tergantung pada ketersediaan air. Ia dipanen setelah lahan tersebut mengikuti siklus ladang berpindah, yaitu empat tahun sekali.  

Terdapat pula usaha perbengkelan dan pabrik gabah yang letaknya di Dusun Lappatemmu dan Passingareng. Usaha ini berlangsung sepanjang tahun, sebab gabah dipabrik oleh penduduk ketika ada keperluan, jadi dapat setiap saat usaha ini beroperasi.

Pada musim paceklik, sebagian warga merantau ke daerah lain. ada yang ke Kota Barru, Pangkep, Palopo, Kalimantan Timur, Kolaka, dan ada yang ke Malaysia. Mereka rata-rata mengolah lahan di daerah luar tersebut, di Malaysia rata-rata mereka menjadi buruh perkebunan sawit. Sebagian warga lain mencari peruntungan dengan mendatangi sungai untuk mendulang emas di perbatasan Pangkep dan Barru pada bulan Juni hingga Oktober.   

Saat ini, yang menjadi kendala penduduk dalam mengolah lahan adalah adanya hama babi dan kurangnya air. Dua kendala inilah yang mempengaruhi banyak tidaknya produksi padi. Penduduk mengatasi hama babi dengan membuat prangkap babi dan juga menjaga lahan padi dan kebunnya setiap malam. Sementara kendala ketersediaan air belum ditemukan solusinya, sebab warga sangat bergantung dengan air yang jatuh dari langit (musim hujan). Penduduk selalu khawatir jika padi sementara pertumbuhan namun hujan tidak turun-turun dalam waktu lebih dari lima hari.   

Kendala lainnya adalah kondisi infrastruktur jalan dan jembatan. Warga kesulitan menjual padinya di kota karena susahnya akses jalan. Mereka menjual padinya di pasar desa dengan rata-rata harga Rp. 5000 perliter harga jual di desa dan Rp. 6000 perkilo harga jual di kota. Jika dikalikan dengan 700 kilogram dalam sekali panen pada lahan satu hektar berarti memperoleh Rp. 4.200.000 yang dikurangi biaya Pupuk sebesar Rp. 360.000/ha untuk pemakaian 3 – 4 sak perhektar dan pestisida sebanyak Rp. 200.000 persekali panen/ha menghasilkan laba sebesar Rp. 3.640.000 persekali panen/hektar.

Penutup
Demikian lah gambaran ringkas kami mengenai kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi Desa Bulo-Bulo. Semoga gambaran ini dapat membantu pihak-pihak terkait dalam mengentaskan kemiskinan di Bulo-Bulo. Hormat kami, tim PRA Bulo-Bulo, Arham sebagai coordinator, Naufal sebagai anggota, dan saya sendiri (idham) sebagai anggota tim. 




0 komentar:

Pemenuhan Hak-Hak Dasar Bulo-Bulo