semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Ingatan Lapuk Revolusi Hijau


(Terbit di kolom Literasi Koran Harian Tempo, Sabtu, 20/4)

Sebagaimana lazimnya revolusi, ia menyimpan harapan dan juga gelisah. Revolusi memang tak setengah-setengah, ia menghentak, membakar gelora. Ada yang digadang-gadang selepas revolusi, sebuah harapan akan masyarakat yang bebas dari segala bentuk perbudakan. Tapi revolusi kali ini tak berbau gelora massa, justru beraroma pembangunan, efisiensi, intensifikasi, dan juga teknologi. Sesuatu yang mungkin sangat diharapkan di negeri ini.

Norman Borlaug (25 Maret 1914 – 12 September 2009) adalah sebuah pendulum yang melahirkan revolusi, dikenal dengan revolusi hijau. Revolusi ini hadir pasca perang dunia II, dimana teknologi persenjataan sudah maju, pabrik baja berdiri kokoh, industri rumah tangga dan berat mulai membentuk kota beton. Namun, di tengah gemuruh modernisasi itu, di belahan bumi yang lain, sepotong roti terpaksa dibagi banyak. Tahun 1960-an itu, India, Nepal, termasuk Indonesia adalah negeri yang terancam kelaparan, lantaran penduduknya yang banyak, sementara jumlah produksi benih terbatas. Dari hasil perjuangannya menemukan formula bercocok tanam, penggunaan pupuk, pengairan (irigasi), penggunaan pestisida, serta bibit unggul, ia pun dianugerahi nobel perdamaian pada tahun 1970 atas jasanya mengatasi ancaman kelaparan massal.



Norman Borlaug muncul secara apik dalam karya Leon Hasser dalam buku The Man Who Fed the World. Borlaug lahir pada 1914 dari keluarga petani miskin di Cresco, Iowa, melewati masa kecilnya dengan keakraban di sekolah sederhana di lingkungan kaum petani migran di frontier Amerika. Setelah itu, meneruskan pendidikannya ke Universitas Minnesota.

Di Minnesota ia berkenalan dengan Prof. E. C. Stakman, ketua Jurusan Patologi Tanaman. Lantaran sebuah ceramah Stacman, ia merubah cara pikirnya dalam memandang dunia pertanian, dan akan merubah pandangan dunia 20 tahun ke depannya.

Setelah meraih doktornya, Borlaug menerima tawaran Stacman untuk mengembangkan pertanian di Meksiko yang saat itu mengalami krisis pangan. Program tersebut dibiayai oleh The Rockefeller Pondation yang membuat 20 tahun hidupnya menetap di Meksiko untuk melakukan riset pengembangan tanaman gandum. Di sana ia menampilkan ketekunan dan kerja keras yang luar biasa, ia mempelajari dan terus menerus menyilangkan ribuan varietas gandum untuk mencari bibit-bibit baru yang tahan terhadap hama dan lebih produktif.

Lantaran usahanya yang bertahun-tahun itu, ia menemukan metode untuk melakukan persilangan varietas dalam jumlah massal dan yang lebih penting adalah temuannya mengenai bibit gandum dengan batang yang jauh lebih pendek, hasil penyilangan dari bibit asal Jepang, Norin-10. Dengan batang pendek, varietas ini akan menghasilkan lebih banyak butiran gandum, lebih tahan terhadap hempasan angin, serta lebih responsive terhadap aplikasi pupuk.

Borlaug berhasil mengentaskan krisis pangan di Meksiko pada 1950, namanya mulai berkibar. Saat itu juga terjadi krisis pangan di India dan Pakistan, lalu dikobarkan oleh pesimisme Paul Ehrlich yang pada tahun 1960-an itu menulis sebuah buku The Population Bomb. Tapi Borlaug tidak tenggelam dalam nada pesimisme ini.

Saat diundang ke India tahun 1961 oleh Penasihat Menteri Pertanian India, M.S Swaminathan. India tengah bergulat dengan birokrasi yang ribet, baru setelah pecah Perang India-Pakistan, Borlaug masuk dan mulai menerapkan metode produksi massalnya. Ia kemudian menebar bibit meksiko ke lahan-lahan luas India, menebar pupuk, dan menerobos administrasi agar petani diberi kredit usaha. Akhirnya India dapat melepas jerat krisis pangan dengan swasembada pangan pada 1970. Pakistan justru dua tahun sebelumnya, 1968.

Memang, akibat intensifikasi itu bumi bisa menghasilkan banyak, namun justru takdir boleh berkata lain. Produksi lahan menurun dari tahun ke tahun, begitu banyak lahan baik itu sawah maupun tambak yang menganggur akibat kelelahan berproduksi. Diiringi ketergantungan pada pupuk kimiawi, kebuntuan irigasi (krisis air), dimana stok air dalam tanah berkurang dua kali lipat sejak tahun 1960. Serta akibat kerseragaman jenis tanam justru semakin mengurangi keanekaragaman hayati pada ekosistem.  

Sahdan, yang jadi korban adalah mereka yang terlibat penuh pada arus pembangunan, tak lain adalah para petani. Mereka pun dirundingkan, diarahkan, dianalisis agar ekonomi dunia terus berputar. Lantas, keuntungan akibat produksi pupuk, obat penyakit tanaman, bibit itu pun mengalir ke mana? ke kantong-kantong asing-lah fulus itu berlabuh. Sementara jerih payah para petani tak begitu dihargai. Begitu banyak kisah memperlihatkan kegelisahan petani dalam mempertahankan bibit lokal yang justru lebih tahan penyakit. Sementara bibit impor dan hasil persilangan para ilmuan itulah yang menimbulkan bencana. Di negeri ini kita pun tak merasa heran, kalau harga bawang tiba-tiba meloncat, cabe tiba-tiba hilang di peradaran, daging sapi yang ujub-ujub menyeret presiden partai.

Tapi, ingatan kita tentang revolusi pun selalu terdiri atas bagian yang sudah melayang terbang, atau melapuk-seperti kertas,” ujar Gunawan Mohammad. Saya pun kembali teringat pada sebuah adagium, revolusi selalu memangsa anak kandungnya sendiri.   




0 komentar:

Ingatan Lapuk Revolusi Hijau