semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Blang Mangat, Semangat Petambak Maju dalam Kelompok

Air muara disertai air pasang meluap dan menenggelamkan tambak-tambak di Kecamatan Blang Mangat, pada April 2013 lalu. Akibatnya udang keluar dari tambak, pematang runtuh, dan pintu air jeblos. Petani yang sementara menunggu masa panen terpaksa mengelus dada dan bersungut-sungut. Hanya dua tambak yang selamat dari luapan air siang naas itu.

Sebelum banjir, dua hari berturut-turut hujan mengguyur bukit bagian atas Blang Mangat. Air tiba-tiba melimpas kawasan tambak siang itu. Bagaimana tidak, tegakan pohon di bukit telah terganti sawit dan batu-batu (gunung) yang dahulu berfungsi sebagai bendungan, menipis akibat penambangan batu untuk pondasi bangunan. “Kami sudah pernah menghadapi banjir, tapi biasanya banjir terjadi dengan siklus dua-tiga tahunan, setiap bulan Oktober – November ketika hujan deras. Tapi ini diluar prediksi kami,” ucap Azhar, Direktur UD. Bina Tani Beumakmue yang bertempat di Jalan Meuraksa No. 3-Gp. Tunong, Blang Mangat.

Kesedihan itu beruntung tidak berlarut-larut, para petambak yang juga tergabung dalam Kelompok Tani Jak U Neuheun ini kembali menata tambaknya. Sudah banyak tambak yang beroperasi. Mereka pun meminta bantuan koperasi untuk penyediaan bahan baku, seperti benur dan pakan. “Koperasi menjamin kebutuhan para petambak. Sebab petambak menjual udangnya ke koperasi. Ongkos produksi kami potong dari hasil penjualan udang mereka,” tambah Azhar.

Koperasi dan kelompok tani ini terbentuk pada 2009 atas inisasi FAO (Food and Agriculture Organitation). FAO membantu mengorganisir petambak untuk meningkatkan ketahanan pangan dan merehabilitasi tambak pasca bencana tsunami. Waktu itu petani telah mempunyai akta notaris perijinan tambak. Pada 2010 itu hasil panen petambak di Blang Mangat merupakan hasil yang terbaik, mencapai hingga delapan (8) ton. Pada 2011, World Wide Fund (WWF – Indonesia) ikut terlibat dalam pengembangan kapasitas petambak dan fasilitasi kelompok sesuai standar ekolabel yang dianggap bertanggungjawab dan berkelanjutan. “Pada 2009 itu petani sudah mulai menebar secara serentak, sehingga kemungkinan penyebaran penyakit semakin berkurang dan pemanfaatan air menjadi lebih adil karena berangkat bersama-sama,” ujar Rauf, sekretaris koperasi.     

Jumat, (24/5) kemarin, peserta Pelatihan Praktik Better Management Practices (BMPs) mengunjungi lokasi Tambak Blang Mangat tersebut. Saat itu bendera aceh pun berkibar-kibat di tiang-tiang sepanjang jalan Meuraksa, Gampong Tunong. Peserta yang terdiri atas para penyuluh dari Dinas Perikanan Kelautan Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara ini lalu dibagi menjadi empat kelompok untuk memantau kesesuaian tambak dengan panduan BMPs. BMPs ‘Tambak Tradisional dengan Pakan Tanpa Aerasi’ ini adalah produk WWF - Indonesia untuk memudahkan petambak tradisional dalam mengelola tambaknya agar memenuhi standar ASC (Aquaculture Stewardship Council). ASC merupakan standar yang disepakati secara internasional melalui forum Dialog Aquaculture dalam mengakomodir aspek legalitas, pengelolaan lingkungan sekitar, teknis budidaya, serta aspek sosial.

Waktu itu saya mendampingi kelompok dua untuk meng-assessment tambak milik Bapak Rauf. Kelompok pertama didampingi Edy Hamka, kelompok tiga oleh Rika dan kelompok empat oleh Said. Manajemen budidaya untuk tambak Rauf sudah mendekati BMPs, yang dimulai dari persiapan lahan, penebaran benur, pemeliharaan, pemeliharaan kualitas air, pengendalian penyakit, panen dan penanganan hasil panen.    

Persiapan tambak menggunakan waktu selama tiga minggu dengan urutan pengeringan tanah dasar tambak hingga retak-retak, lalu mengangkat lumpur hitam yang biasanya mengandung sulfur (H­2S). Dilanjutkan dengan pengapuran dan pemasukan air untuk pemberantasan hama menggunakan saponin. Kemudian pemasukan air lagi hingga kedalaman di atas 80 centimeter dan pemupukan untuk menumbuhkan plankton. Pupuk yang digunakan yaitu pupuk urea sebanyak 75 kilogram perhektar, SP36 sebanyak 75 kilogram perhektar, NPK sebanyak 50 kilogram perhektar, sementara untuk kapur menggunakan kapur dolomit sebanyak 600 kilogram.    

Penebaran benih dilakukan setelah tumbuh plankton di kolom air tambak, benih diperoleh dari hatchery asal Kabupaten Biereun. Bapak Rauf biasanya menebar benur sebanyak 20.000 – 25.000, dimulai dengan pemeliharaan di tambak gelondongan ukuran 4000 m selama 30 hari. Pada masa gelondongan itu benur diberi pakan buatan untuk mempercepat pertumbuhan bibit. Berikutnya udang dipindahkan ke kolam pembesaran di petakan sebelahnya yang hanya dipisahkan oleh pematang. Sebelum memindahkan ke kolam pembesaran, dilakukan pemeliharaan air untuk penumbuhan plankton, sehingga udang dipindahkan setelah plankton tumbuh di air. Pada tahapan tersebut udang tidak diberi pakan tambahan, selain untuk menghemat biaya juga untuk mengurangi asupan kimiawi ke dalam tambak. Semakin banyak pakan yang tersisa akan menyebabkan kesuburan lahan meningkat akibat kandungan nutrien berlebih (eutropikasi). Udang dipelihara selama dua bulan di tambak pembesaran sebelum pindah petakan ke tiga, yaitu ke kolam pemanenan. Pada kolam ketiga ini udang kembali diberi pakan nomor 5.

Siklus ini berlangsung sepanjang tahun dengan dua kali panen setahun. Sesaat setelah pemindahan ke kolam pembesaran, tambak penggelondongan dibersihkan dan dikeringkan. Sehingga setelah panen, tambak ini telah siap untuk diisi kembali.    

Pengelolaan tambak milik Rauf ini tidak lagi menggunakan antibiotik dan pestisida dalam pemberantasan hama dan penyakit. Dia mengandalkan manajemen penyakit dengan penyesuaian komoditas udang dengan lingkungan, seperti padat tebar sedang, penggunaan pakan alami, serta pengendalian air. Walau pun air masuk dan keluar melalui satu pintu, Rauf tidak asal memasukkan air, ia harus mengecek kepada rekan-rekannya apakah tambak di sekitarnya tidak ada yang terserang penyakit. “Pemilik tambak yang terkena penyakit juga langsung melapor ke kelompok, sehingga petambak lain tidak memasukkan air,” tambah Rauf. ia memasukkan air saat pasang dan air terlihat bersih. Namun, sejauh ini belum ada mekanisme di Blang Mangat untuk manajemen pengelolaan penyakit di dalam tambak. 

Ia mengakui bahwa dalam empat tahun terakhir ini tambak miliknya tidak terserang penyakit serius. Ia pun memperoleh hasil dalam sekali panen sebanyak 250 – 300 kilogram atau dengan Survival Rate (SR) rata-rata 60 – 70 persen. 

hebatnya di tambak milik Rauf ini terdapat tanaman mangrove (Rhizophora) yang tampak belum lama ditanam atau sekitar tiga bulan berjejer rapi di pelataran tambak. beliau ingin mengembalikan tegakan mangrove di kawasan itu yang dahulunya begitu rimbun. “sebelum bencana tsunami, banyak mangrove di area tambak, tapi semuanya hancur dilibas air,” ungkap Rauf.

Namun, permodalan menjadi keluhan bersama para petambak di Blang Mangat. Rauf juga mengalami kerugian waktu banjir tersebut dan beruntung ada koperasi yang siap membantu dalam hal bibit dan pakan. Banyak juga petambak yang mengandalkan lahan sewa. Celakanya banyak diantaranya yang menanam udang paname yang biasanya tidak cocok dengan lahan blang Mangat, sehingga sering gagal. 

Kini telah ada 70 persen petambak di lima desa Kecamatan Blang Mangat yang menebar bersama. Kedepannya dibutuhkan sosialisasi untuk mengurangi perbedaan pemahaman antar petambak yang memanfaatkan kawasan lahan 120 hektar itu.       

 Idham Malik
Staff Akuakultur WWF - Indonesia



0 komentar:

Blang Mangat, Semangat Petambak Maju dalam Kelompok