semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Fenomena Pengebom Ikan di Perairan Sulawesi Selatan



Mungkin Anda tidak menyadari kalau ikan layang yang Anda nikmati selama ini diperoleh secara tidak bertanggungjawab. Ya, diperkirakan ikan-ikan tersebut berasal dari aktivitas pengeboman yang sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak para penjajah Belanda, apalagi Jepang memperkenalkan teknologi bom pada nelayan-nelayan kita.

Aktivitas pengeboman terus terjadi. Kita pun banyak menutup mata. Sementara ekosistem laut pun mengalami degradasi fungsi akibat pengeboman itu. Terumbu karang di perairan Makassar dan Sulawesi sebagian besar sudah hancur lebur. Padahal karang adalah salah satu habitat penting mahluk laut. Belum lagi akibat bom itu mahluk hidup lain yang tidak dikehendaki ikut tewas, seperti penyu, ikan-ikan nonkonsumsi, hingga bibit-bibit ikan yang tidak sengaja melintas di teritorial radius bom. Memang, ikan masih banyak, tapi sampai kapan? Sementara nelayan sendiri mengakui bahwa ikan semakin sulit dicari.

Bahan Baku dan Teknik Pengeboman
Lantas bagaimana aktivitas pengeboman itu bisa meluber hingga hari ini? Bahan baku bom berupa pupuk matahari diperoleh dari hasil penyelundupan Oknum Malaysia dan Oknum di Kalimantan Timur, yang bekerjasama menyuplai pupuk tersebut melalui Sungai Nyamuk. Setelah tiba di Kalimantan, pupuk tersebut disebar ke seluruh kawasan penangkapan ikan di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan.



Penggunaan bom bahan pupuk matahari yang dimasukkan ke dalam jirigen atau botol ini sebenarnya merupakan hasil didikan Jepang pada jaman revolusi dahulu. Kemudian berevolusi berdasarkan perkembangan teknologi. Beberapa tahun yang lalu nelayan masih dihantui rasa was-was saat menggunakan bom. Bagaimana tidak, sebelum meledakkan bom, sumbu harus dibakar dan dilempar. Ceroboh sedikit saja, tangan dan tubuh bisa terbakar dan hancur.

Saat ini kejadian seperti itu sudah jarang terjadi, nelayan lebih safety. Nelayan sudah mengenal detonator yang memudahkan mengebom karena bisa dilakukan dari jarak jauh. Alat  tersebut dengan mudah diperoleh ditoko-toko dengan harga bervariasi, 3 sampai 7 juta rupiah. Menurut seorang nelayan, detonator dan sumbu hulu ledak disuplai oleh oknum kuat. Nelayan juga sudah dimudahkan dengan adanya fish finder pendeteksi kerumunan ikan. Alat itu menghubungkan nelayan dan satelit.

Dalam satu kapal biasanya tim ada delapan orang, terdiri atas nakhoda jolloro-kapal, pengebom, pendayung, dan pengambil ikan di dasar kolam (penyelam). Mereka bekerjasama, para pengintai terlebih dahulu melihat posisi kedalaman kerumunan ikan, kalau ikan terlihat mengkilat-kilat di kedalaman 10 – 15 meter ke bawah, berarti ikan bisa dibom.

Dari seorang nelayan, diperoleh informasi bahwa dalam sekali bom mereka biasa memperoleh 5 – 10 ton ikan. Guncangan bom tersebut dapat mencapai radius 50 meter dan mematikan ikan yang terkena guncangan. Ikan itu dipungut oleh para penyelam yang menggunakan keranjang yang diikat di badannya dan memungut ikan yang terhambur di dasar laut. Tanda jika terjadi pengeboman berlangsung yaitu banyak burung-burung yang beterbangan di tengah laut.

Ikan-ikan ini ditampung di kapal besar bermuatan 30 ton bersama ikan-ikan dari kapal penangkap lain. ikan kemudian dibongkar di sebuah pulau, lalu disusun ulang ke kapal-kapal Jolloro untuk diangkut ke Makassar. “Para pengebom ini dibiayai oleh pemodal besar, bahkan para pemodal ini dibiayai lagi oleh pemodal lebih besar lagi,” ujar seorang pengusaha ikan. Ketika para nelayan mendapat masalah dengan pihak keamanan, para bos inilah yang menyelesaikan urusan tersebut. Alat tangkap yang mereka bawa itu sebenarnya hanyalah kamuflase.    

Ikan hasil bom ini menurut seorang bekas pengusaha ikan, tidak menurun kualitasnya. Justru ikan hasil bom ini lebih lembut dagingnya dan enak kalau dimakan. Ia mengilustrasikan bahwa ikan kaget akibat getaran bom, pembuluh darahnya tersumbat dan mati. Cara mati seperti itu membuat daging ikan lembut.

Ciri – ciri ikan yang terkena bom itu adalah mata ikan memerah, daging alot dan tulang ada yang patah. Ikan target pengeboman biasanya yaitu jenis Kakap Sawo (Wakung), Ekor Kuning (Rappo-Rappo), Sinrilik (Pisang-Pisang), Baronang, Tawassang Kaluku (sejenis baronang), Laccukang.

Ikan yang telah diangkut ke atas kapal itu harus segera diberi es agar dagingnya tidak mengalami penguraian. Ikan yang dibom lebih cepat terurai proteinnya dibanding ikan yang ditangkap menggunakan jaring. Ikan hasil pengeboman ini biasanya diolah di pabrik cold storage (gudang pendingin) untuk difillet (dipisahkan anggota tubuhnya). Ada yang dipisahkan kepalanya dan ada yang dipisahkan isi perutnya, tergantung permintaan para bayer-pembeli.

Namun, kehidupan para pengebom ini tidak juga beranjak dari keterpurukan. Meski mereka dapat memperoleh ikan 5 hingga 10 ton persekali bom. Hasil terbesar tetap diperoleh oleh pemilik modal. Mereka pun selalu terlilit pinjaman, sehingga hasil kerjanya biasanya untuk menutupi utang mereka. Mereka pun bekerja tidak tiap hari, tapi hanya setengah bulan dan maksimal 20 hari. Mereka harus memastikan cuaca baik, posisi angin bagus, ombak, dan tentu cahaya bulan. Bulan purnama berarti nelayan akan kesulitan mencari ikan.
Mencari Solusi
Berbicara tentang solusi, sebenarnya agak sulit. Kita dihimpit dilema antara lingkungan dan ekonomi. Nelayan pun bertanya-tanya apa solusi bagi mereka, yang telah bertahun-tahun hidup dari tindakan pengeboman ini? Sampai saat ini tidak ada alat tangkap yang bisa menyamai bom. “Tidak ada alat tangkap yang bisa menghasilkan ikan 5 – 10 ton dalam sekejap mata,” kata Ruslan (samaran), seorang nelayan.

Agak sulit mengatasi persoalan ini, karena jejaring pengeboman ikan begitu rancak, mulai dari pemodal, pembeli, nelayan, hingga birokrat, dan pihak keamanan. pertama Birokrasi dan pihak keamanan belum punya taring untuk membasmi aktivitas pengeboman ini, walau sudah ada aturan untuk menindak tegas pelaku pengeboman. Kedua, masih bergantungnya para nelayan dengan pemodal, sehingga mereka terus-menerus melakukan pengeboman dengan bantuan pemodal dan belum ada alternatif lain yang bisa menggantikan peran bom.

Sebenarnya ada beberapa contoh Langkah alternatif, seperti yang dilakukan beberapa desa di Sulawesi Tenggara. Sebagian besar masyarakatnya sudah beralih ke usaha budidaya rumput laut. padahal daerah tersebut sebelumnya termasuk daerah pengebom. Walaupun saat ini usaha rumput laut tingkat keberhasilannya naik turun dengan harga yang belum stabil.  

Saya mendengar Selayar juga sudah menerapkan aturan yang ketat, disana pengebom sudah diminimalisir dengan hukum yang tegas. Atau kita bisa melirik Australia, Negeri kanguru itu punya kebijakan tertentu dalam penangkapan ikan. Di sana ada aturan bahwa setiap tahun nelayan hanya bisa menangkap ikan jenis-jenis tertentu saja. itu memberi kesempatan kepada spesies tertentu untuk berkembang biak dan tumbuh. Sementara di Kabupaten Alor, NTT, masyarakat dan pemerintah berinisiatif untuk menetapkan wilayah atau zona bank ikan. Dimana nelayan tidak boleh menangkap di area tersebut. Para nelayan pun mulai paham bahwa di sumberdaya ikan di laut mengalami penurunan dan khawatir jika anak cucunya kelak tidak dapat lagi memperoleh ikan di laut.

Ada juga kisah dari teman suku Bajo di Sulawesi Tenggara. Katanya dahulu sempat terhenti aktivitas pengeboman, disebabkan oleh tidak adanya bahan baku pupuk matahari ketika ketatnya pengamanan akibat marak isu teroris setelah peristiwa World Trade Center (WTC) 11 September 2001 lalu. Sehingga salah satu langkah untuk mengatasi pengeboman yaitu dengan memutus mata rantai penjualan bahan baku bom (pupuk matahari).

Langkah WWF - Indonesia
Untuk WWF sendiri, langkah yang sementara ditempuh yaitu dengan menggalang dukungan para pihak untuk tidak mengkonsumsi produk-produk perikanan yang diperoleh secara tidak bertanggungjawab. WWF mengajak akademisi dan para nelayan untuk mengidentifikasi ciri-ciri ikan yang diperoleh dari pengeboman. Diharapkan muncul kesadaran para konsumen untuk tidak membeli produk tersebut, sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian lingkungan dan keberlanjutan stok ikan.

Selain itu WWF – Indonesia mulai mempromosikan hasil-hasil penangkapan dan budidaya perairan yang diperoleh secara bertanggungjawab. Produk yang diperoleh berdasarkan prinsip standar Aquaculture Stewarship Council (ASC) dan Marine Stewarship Council (MSC) untuk capture itu diberi apresiasi, sehingga nilai jualnya lebih tinggi dan turut meningkatkan perekonomian masyarakat. ASC dan MSC adalah sertifikasi perikanan yang kami anggap mengakomodir aspek legalitas, pengelolaan lingkungan sekitar, teknis budidaya, dan aspek sosial. Langkah lainnya yaitu dengan mengajak masyarakat untuk mengonsumsi komoditas perikanan yang diperoleh dengan cara-cara yang bertanggungjawab tersebut.
Tulisan ini hasil diskusi dengan berbagai pihak dan butuh kelengkapan data dan penelitian lanjut.
Terimakasih.
Idham Malik
Seafood Savers Officer for Aquaculture




0 komentar:

Fenomena Pengebom Ikan di Perairan Sulawesi Selatan