semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Dialog Konservasi Laut Wilayah Sunda Banda Seascape (SBS)



Pada 8 - 9 Oktober 2013, pekan lalu, saya ikut Sunda Banda Seascape Meeting di Hotel Century Atlit, Gelora Bung Karno Jakarta. Peserta terdiri atas aktivitas konservasi perairan Indonesia dan jajaran direktorat Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) Indonesia. Para direktorat menyajikan presentasinya dengan waktu yang sangat singkat, hanya 10 menit. Dengan kondisi yang serba singkat itu otomatis pemateri hanya membahasakan materinya sesuai dengan yang tertera di power point-nya.

Target pencapaian konservasi Indonesia pada tahun 2020 yaitu 20 juta hektar pada 12 ekoregion. Dimana wilayah Sunda shelf/java sea, westren Sumatera, dan Sputrium Java telah mengalami overfishing, sementara wilayah lesser sunda tercemar dan wilayah sunda telah rentan kerusakan sumberdaya. Sehingga cara yang mesti ditempu yaitu menyelamatkan potensi perikanan/ekonomi dengan upaya konservasi di wilayah-wilayah rentan. Menurut Habib, jika ingin menyelamatkan potensi perikanan, target konservasi setidaknya 30 persen dari luasan kawasan suatu ekoregion. Hal penting yang perlu diperhatikan yaitu lokasi penetapan zonasi yang berdasarkan penelitian akurat, bahwa kawasan tersebut merupakan daerah tempat ikan memijah atau habitat pendukung keberlangsungan sumberdaya ikan. Sementara penetapan lokasi konservasi bisa jadi tidak berdasarkan penelitian mendalam, tapi hanya sekadar menambah-nambah luasan kawasan untuk pencapaian target 20 juta hektar itu. Sehingga menjadi tidak efektif dan mungkin akan menambah konflik sosial dengan para nelayan atau pembudidaya. Saat ini menurut presentasi Rianto Basuki (Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan), upaya pencapaian konservasi di Indonesia baru sekitar 5 persen (%) atau 15 juta hektar, sementara berdasarkan kesepakatan dunia, konservasi perairan Indonesia setidaknya 10 persen (%) atau 31 juta hektar. 



Pada tahun 2012 target konservasi kawasan perairan di Indonesia yang dihitung sejak 2010 yaitu sekitar 3,2 juta hektar dengan penambahan 500.000 hektar. Target 2013 ini sekitar 3,6 juta hektar dengan penambahan 500.000 hektar. Pada penetapan tersebut selain untuk pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan, 15 jenis biota perairan yang terancam punah, langka dan endemik juga dapat terlindungi. Penetapan itu menurut Dr. Budi Sitomorang, harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kabupaten dan disesuaikan dengan Peraturan UU no. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya direlevansikan dengan penetapan pegelolaan kawasan konservasi menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang menetapkan batas-batas konservasi/pengaturan zonasi.

Capaian KKP Indonesia tahun 2010 yaitu 13,9 juta hektar, dimana target 2014 yaitu 15,5 juta hektar. Saat ini telah ada 15,784,129.52 hektar pada 108 kawasan, dimana inisiasi KKP dan Pemda adalah yang terbesar, yaitu 76 kawasan, inisiasi Kemenhut sebanyak 32 kawasan, dan kawasan konservasi perairan daerah sebanyak 66 kawasan. Yang lainnya merupakan zona-zona inti, seperti Taman Nasional Laut, Taman Wisata Alam Laut, Suaka Margasatwa Laut, Cagar Alam Laut, Taman Nasional Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Taman Wisata Perairan.  

Menurut Ibu Ifon, fokus aktivitas di wilayah SBS sebaiknya diarahkan dengan zonasi pengelolaan kawasan lesser sunda, strategi tata guna laut nasional dan zonasi kawasan lumbung ikan nasional. Untuk lumbung ikan tersebut diarahkan dengan pengembangan kawasan rantai dingin untuk memenuhi bahan baku ikan dan pengelolaan kawasan minapolitan. Pada presentasi Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil, telah terlihat sebaran spot-spot pemetaan wisata bahari, sebaran Industri pengelolaan ikan, sebaran rantai dingin, kluster minapolitan, potensi budidaya, dan spot konsesi migas, jalur kabel, dan pipa dasar laut.

Diskusi Kelompok 

Secara umum peserta FGD melihat pengelolaan KKP dan KKP3K telah mendukung konservasi jangka panjang. sebab telah ada target dan indikator-indikator capaian yang terlihat dan memudahkan dalam implementasi KKP. Namun ukuran-ukuran indikator perlu dipertajam sebab peserta FGD masih kebingungan untuk menerjemahkan indikator pada tataran aksi. Ada pula yang beranggapan bahwa indikator masih belum komprehensif dan sifatnya khas atau berbeda-beda.

Berbicara target 20 juta hektar di atas, masih ada peserta yang belum tahu harus memulai dari mana pencapaian target tersebut. Mereka beranggapan bahwa KKP hanya berbasis spesies termanfaatkan, sementara faktor-faktor lain belum diuraikan lebih gamblang. Memang waktu itu saya melihat bahwa faktor-faktor penting tidak dielaborasi lebih jauh, misalnya faktor ekosistem, ekonomi, sumberdaya ikan, sosial. Diskusi bersifat terbuka dan lebih berbicara kendala dari segi manajemen pengelolaan. Tapi masih ada kekhawatiran bahwa KKP akan mengurangi akses pengelolaan perikanan (sumberdaya ikan), misalnya Maluku saat ini ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional. Penetapan kawasan perairan harus tetap sasaran agar tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

Peserta diskusi pun merekomendasikan untuk pemanfaatan atau menggunakan semangat lokal dalam melindungi sumberdaya alam/ikan. Di Maluku masih ada kearifan-kearifan lokal, dimana hubungan manusia dan alam dapat terjalin harmonis. Kearifan lokal berupa beberapa norma dan aturan tidak tertulis dimana para nelayan tidak dibolehkan melakukan penangkapan pada waktu dengan cara tertentu, karena dianggap melanggar adat. Namun, pertanyaan besar, bagaimanakah perkembangan pengetahuan adat ini? Apakah pengetahuan itu bisa ditingkatkan nilainya menjadi sebuah ilmu yang bisa digunakan secara metodis? Apakah generasi nelayan masih percaya dan terikat dengan aturan adat tersebut? Apakah pengetahuan modern dan aliran modal dari luar telah merubah struktur sosial masyarakat dan justru mengurangi nilai efektifitas suatu hukum adat? Dan apakah hukum adat/kearifan lokal ini memungkinkan untuk dimasukkan dalam Peraturan Perda (Perda) yang bersifat mengikat? Kemudian apakah aspek lokalitas ini dapat dijadikan sebagai metode strategi komunikasi ke masyarakat lokal untuk mendukung aktivitas konservasi?

Kebingungan berikutnya, masih ada peserta yang belum memahami maksud dari “Marine Protected Area (MPA)”. Istilah ini belum populer di sebagian stakeholder dan masih bercampur baur dengan istilah DPL atau istilah lainnya. Sehingga perlu didefenisikan lagi dan dieksplore lebih jauh istilah ini. Sama halnya dengan istilah Sunda Banda Seascape (SBS), yang disamakan dengan istilah bioekoregion hasil penetapan pemerintah. Namun ecoregion yang dipahami masih bersifat terpisah antara Sunda dan Banda, sementara SBS merupakan bentangan laut yang saling terhubung antara perairan Sunda dan Banda, memiliki luas 647.497.028 Ha dan terletak di pusat segitiga terumbu karang. Mungkin karena potensi sumberdaya alamnya, dimana SBS memiliki keanekaragaman laut tertinggi di dunia dan habitat bagi 76% spesies terumbu karang, lebih dari 3000 spesies ikan dan spesies yang terancam punah seperti penyu, setasean, hiu dan Napoleon Wresse. Sehingga irisan Sunda Banda Seascape dihubungkan oleh kesamaan bentang laut (ekosistem).

Namun perlu dirumuskan hubungan selain hubungan ekosistem pada Sunda Banda Seascape (SBS). Seperti pola hubungan ekonomi antar kabupaten yang ada di kawasan Sunda Banda Seascape. Bagaimana kabupaten-kabupaten dalam ekoregion tersebut dapat berpartisipasi dalam pengelolaan perairan dan memperoleh tambahan income? Strategi bisnis dan kerjasama dagang antar kabupaten dari segi pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan? dan bagaimana pola kerja masing-masing pemerintah kabupaten dalam mengelola kawasan konservasi perairan yang bisa jadi saling beririsan?

Terakhir, secara umum, persoalan data menjadi kendala utama. Belum ada data dasar (baseline survei) yang komprehensif yang memuat data spesies, data habitat, data sebaran dan migrasi ikan, sehingga bisa dipetakan kawasan konservasi perairan yang efektif untuk mendukung keberlanjutan sumberdaya ikan dan habitat karang. Data dasar itu bisa jadi patokan untuk mengukur keberhasilan program-program konservasi di wilayah SBS. Itulah sebabnya hal pertama yang harus dilakukan yaitu melakukan penelitian sumberdaya ikan, habitat/ekosistem di wilayah sunda banda seascape.

Idham Malik




0 komentar:

Dialog Konservasi Laut Wilayah Sunda Banda Seascape (SBS)