semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Jatuh Bangun Budidaya Rumput Laut di Pelosok Sulawesi Tenggara



Rise and Fall Seaweed Cultivations in Remote Areas of Southeast Sulawesi

(Terbit di Tabloid BaKTINews, edisi Agustus-September 2013)

Sulawesi Tenggara merupakan provinsi yang kaya akan sumberdaya laut, utamanya sektor budidaya laut. Potensi budidaya laut yaitu 396.915 hektar dengan pemanfaatan 23.247,54 hektar untuk komoditas rumput laut, kerapu, teripang, kekerangan dan lobster. Salah satu komoditas yang menjadi unggulan yaitu rumput laut dan dibudidayakan hampir di pesisir setiap kabupaten, diantaranya Konawe Selatan (Konsel) yang luas lahan budidaya 3.210 hektar dengan produksi rumput laut 275,256.41 ton, Konawe Utara yang luas lahan budidaya 514.5 dengan realisasi produksi 6,076.98 ton dan Kendari yang memiliki luas lahan 182.0 hektar, namun produksi nol, padahal tahun sebelumnya produksi mencapai 3,288.83 ton (Data Dinas Provinsi Sulawesi Tenggara, 2012).

Southeast Sulawesi is a province which is rich in marine resources, especially marine aquaculture sector. Aquaculture potential is 396.915 hectares with utilization 23.247.54 acres for seaweed commodity, grouper, sea cucumber, oyster and lobster. One of exeeding commodity, namely seaweed and being cultivated in almost on the line coast of every district, including South Konawe (Konsel) which has the cultivation area of 3.210 hectares of land with production of 275.256.41 tons of seaweed, Konawe Utara which has extensive cultivation area of 514.5 with the actual production of 6,076.98 tons and Kendari which has a land area of ​​182.0 hectares, but its production was zero, whereas the previous year its production had reached about 3,288.83 tons of production (Southeast Sulawesi Official Province Data, 2012).

 Namun budidaya rumput laut dalam perjalanannya tidak mudah, terdapat masalah-masalah seperti maraknya penyakit ice-ice dan lumut, ketersediaan bibit, perubahan cuaca yang tidak menentu, limbah tambang, carrying capacity dan persoalan harga dan pasar. Ada daerah yang tetap menanjak produksi dan aktivitasnya dan ada daerah yang mengalami penurunan aktivitas.

But seaweed cultivation in reality is not easy, there are some problems such as the rise of ice-ice disease and moss, seed availability, uncertain weather changes, mining waste, carrying capacity and the issues of market and prices. There are areas which have increasing production and activity and there are remain areas which have decreased activity.


 Desa Akuni, Tinanggea/ Akuni Village, Tinanggea

Minggu, 7 Juli 2013, saya mengunjungi Desa Akuni, Kec. Tinanggea, Kab. Konsel. Di sana kami menemui Bapak Madamang (43), Kepala Desa dan aktor perintis budidaya rumput laut di Akuni. Rumput laut mulanya diperkenalkan oleh sebuah NGO di Desa Bumi Permai pada 2005. Kemudian aktivitas budidaya menjalar ke Desa Moramo. Dari desa Moramolah Madamang memperoleh bibit sebanyak 500 kilogram dan membawanya ke Akuni. Saat ini diwilayahnya terdapat 200 KK dari Dari 500 KK merupakan petani rumput laut. Jika digabungkan dengan daerah lumbung rumput lainnya di Kec. Tinanggea, yaitu di Kelurahan Tinanggea, Desa Bumi Permai, dan Desa Torokeku, Jumlah produksi rumput laut dalam sebulan diperkirakan mencapai 300 – 400 ton sekali siklus.

Sunday, July 7th, 2013, I had visited the Akuni village, district Tinanggea, Konsel. There we met Mr. Madamang (43 years), the village chief and pioneering actor of seaweed farmingin Akuni. Seaweed initially introduced by an NGO in the village of Bumi Permai on 2005. Then its activity spread to Moramo village. Starting from Moramolah Village, Madamang got as much as 500 kilograms of seed and bring it into Akuni area. Today, there are 200 out of 500 households which work as seaweed farmers. If the other granaries of seaweed combined in Tinanggea subdistrict, Bumi Permai Village, and the Village of Torokeku, the number of seaweed production in a month is estimated around 300-400 tons for once cycle.



Dalam pemeliharaan rumput laut tidak selalu lancar, terdapat musim baik dan musim buruk untuk pemeliharaan. Yang terbaik adalah pada Juni – Agustus, sebab suhu air tidak terlalu panas dan arus cukup kencang. Menjelang September kurang baik memelihara rumput laut karena suhu air tinggi dan arus lambat. Ini menyebabkan tumbuhnya lumut yang menyelimuti rumput laut dan menjadikannya kurus. Kondisi cuaca ekstrim tersebut dimana suhu tinggi atau suhu rendah, salinitas tinggi atau rendah, dan kurangnya arus juga menyebabkan munculnya penyakit ice-ice, kerusakan thalus yang ditandai berubahnya thalus menjadi warna putih/pucat).

The cultivation of seaweed is not always running smoothly, there is a good season and a  season for cultivation. The best season is around June till August, because the water temperature is not too hot and the water is quickly flowing. Around September seaweed cultivation is not good enough due to high water temperatures and the flows of water slowly. That is lead to grow moss which wrap on seaweed and affect to make them thinner. The extreme weather conditions where high temperature or low temperature, high salinity or low, and also led to the emergence of the ice-ice disease, damaged of thalus which can be indicate from the alteration of the thalus to be white/pale).

Menanggulangi penyakit ice-ice, petani hanya membiarkan bibitnya di laut hingga musim baik tiba, pada saat kualitas air laut sudah membaik, rumput laut yang kurus itu kembali segar dan tumbuh normal. Meski begitu, di lokasi penanaman rumput laut di sekitar muara sungai justru tidak mengalami hambatan. Sebab suhu air tidak setinggi di laut sebab dipengaruhi oleh aliran air tawar dari sungai. Ada tiga tempat pemeliharaan warga Akuni yaitu di Muara Labasi, Muara Ranuwulu, dan Muara Ruaraya.

Overcoming the ice-ice disease, farmers would just let the seeds grow in the ocean until a good season arrives, when the sea water quality is improving, the thin seaweed will be back refreshed and grow normally. Even so, at the location of seaweed cultivation around the mouth of the river does not faced difficulties instead. Because the temperature is not as high as in the sea water because the water is affected by the flowing of fresh water from the river. There are three places where Akuni community would be able to cultivate seaweed that are in Labasi Muara, Muara Ranuwulu, and Muara Ruaraya.

Harga RL kering di Tinanggea cukup stabil, harga untuk pengumpul lokal sekitar Rp. 9000 – Rp. 10.000. Pengumpul lokal di Tinanggea yaitu H. Bahasmi, H. Udin, H. Hasnah, Rahman. Mereka menjualnya ke Kendari atau ke Makassar dengan harga Rp. 15.000.

Price of dried seaweed in Tinanggea quite stable, the price for local collectors around 9000 till 10,000 rupiahs. Some of Tinanggea local collectors are H. Bahasmi, H. Udin, H. Hasnah, and Rahman. They sell it to Makassar or Kendari at a price of 15.000 rupiahs.


Desa Lemo Bajo

Pada 8 Juli 2013, saya ke Lemo Bajo, Kec. Lasolo, Kab. Konawe Utara. Di Lemo Bajo saya menemui Bapak Amar. Ia sudah tidak menanam lagi, tapi tahun kemarin sempat menanam. Alasannya karena saat ini sulit memperoleh bibit. Selain itu rumput laut sering terpapar ice-ice, penyakit ini tidak hanya menyerang pada bulan tertentu, tapi hampir setiap siklus. Dalam satu siklus biasanya lebih banyak yang terserang dibanding yang masih utuh. Salah satu penyebab ice-ice ini menurut Amar adalah menurunnya kualitas air (nutrien) sebab limbah tanah yang diangkut oleh kapal kadang terjatuh dan arus air membawa tanah tersebut ke lokasi penanaman, sehingga air menjadi kabur. Karena itu banyak petani yang malas menanam RL, mereka memanen semuanya dan tidak lagi menyisihkan untuk bibit.

On July 8, 2013, I was going to Lemo Bajo, Lasolo district,  Konawe Utara. In Lemo Bajo I met Mr Amar. He had not been planted again, but last year he had. The reason is because currently it is difficult to get seeds. Besides seaweed often exposed to ice-ice, the disease is not just attacking in a given month, but almost happen in every cycle. In one cycle usually there are more affected seaweed than the intact one. According to Amar, one of the cause of ice-ice is coming from the declining of water quality (nutrient) because the waste of soil which carried by ship sometimes fall and the flows of the water bring the soil to the planting areas, so the water becomes blurred. Therefore, many farmers are planting indolently, they harvest everything and no longer set aside for seed.

Begitu pula di Desa Barassang Kec. Lasolo, tetangga desa Lemo Bajo, masalah utamanya yaitu penyakit ice-ice. Penyakit ini marak pada bulan November, ketika arus kurang lancar dan suhu air peningkat. Pada Desember biasanya rumput laut diserang oleh lumut yang berwarna biru. Menyerang ketika umur rumput laut sudah mulai dua minggu sejak penanaman. Lumut tersebut menyebabkan thallus rusak dan terputus-putus.



Similarly, in the village of Barassang district Lasolo, the neighboring village of Lemo Bajo, the main problem is about ice-ice disease. The disease is often occured in November, when the flow isn’t smoothly and water temperature is rise. On December, the seaweed usually attacked by blue moss. It attack when seaweed age have started two weeks after planting. The moss caused the thalus become damaged and disjointed.

Warga desa ini pernah beberapa kali melakukan demonstrasi ke Perusahaan tambak nikel lantaran perusahaan tersebut ingin membuka lahan baru. Petambak merasa jika tambang di wilayah mereka dibuka, maka kualitas air di sekitar tambang pun akan rusak dan warga tidak bisa lagi memelihara rumput laut.

The villagers had made several demonstrations to nickel mining company because the company wanted to open new land mines. Farmers feel if mining area is opened, the water quality around the mine would be polluted and people are no longer cultivate seaweed.

Desa Bungku Tungku dan Tondongeu, Kendari

Kami selanjutnya mengunjungi Desa Bungku Tungku, namun kami tak menemukan aktivitas budidaya rumput laut. Ternyata sejak awal 2012 orang berhenti menanam rumput laut. Ini disebabkan karena kualitas air di lokasi penananam menurun. Setelah dari Bungkutungku kami ke Tondongeu, di sana kami menemui Bapak Aris (41), Kepala RT yang dulu pernah menjadi pengumpul/penampung rumput laut. Di sini juga tidak terlihat aktivitas budidaya rumput laut. Petani berhenti menanam sejak awal 2012. Menurut Aris, ada dua penyebabnya, pertama karena faktor harga yang rendah, yaitu Rp. 5000 perkilogram, kedua karena maraknya lumut yang menyelimuti rumput laut. Harga Rp. 5000, tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga nelayan. Padahal pada tahun 2011harga masih bagus, yaitu Rp. 8000.

Next, we visited the village of Furnace Bungku Tungku, but we can not find seaweed farming activities. Since the beginning of 2012 it turns out that people stop growing seaweed. This is because the quality of water at the location of planting decreased. Following from Bungkutungku to Tondongeu, there we met Mr. Aris (41), Head of RT that used to be collector / container of seaweed. In there, it was also hard to find activity of seaweed farming. Farmers stop cultivated since the beginning of 2012. According to Aris, there are two reasons, first because of the low price of seaweed which only attain 5000 rupiahs per kilogram, second because the rise of moss seaweed. The price 5000 rupiahs does not meet the needs of fishermen households. Whereas in 2011, the price of seaweed was still normal which has 8000 rupiahs per kilogram.

Musim budidaya yang baik itu pada Mei, Juni, dan Juli. Pada bulan tersebut arus bagus dan ada gelombang, selain itu cuaca tidak terlalu panas dan sedikit terdapat hujan. Pada bulan sembilan arus kurang baik ditambah cuaca panas membuat rumput laut menjadi kurus, selain itu juga dipengaruhi oleh banyak lumut yang menempel di rumput laut.  Sehingga pada bulan 9 – 10, petani RL hanya fokus untuk pembibitan dan menunggu sampai kualitas air bagus.

The good season for farming occur in May, June, and July. In those months, the flow is good and there is no wave, besides the weather is not too hot and there is little rain. In the ninth month, the weather is unfavorable because it is hot and the flow is not good enough which make seaweed become thinner, but it is also affected by great quantities of moss seaweed which are attached. So in 9th till 10th months, seaweed farmers only focus on breeding and wait until the water quality turns good.

Penanggulangan Ice-Ice

Hampir setiap daerah penanaman rumput laut memiliki masalah yang sama, yaitu penyakit ice-ice. Penyakit ice-ice sebenarnya disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya ice-ice. Beberapa faktor abiotik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab munculnya ice-ice, yaitu kurangnya densitas cahaya, salinitas kurang dari 20 ppt, dan temperatur mencapai 33 – 35 0C. Beberapa jenis bakteri telah diisolasi dari thalus yang terkena penyakit tersebut, namun bakteri tersebut diduga hanya merupakan penyebab kedua (Parenrengi, Rachmansyah, Suryati/BRPBAP Maros).

Almost every area of ​​seaweed planting has the same problem, the ice-ice disease. The disease of ice-ice actually caused by the chaing of environment such as stream, temperatures and brightness. The brightness of water reported as the cause of ice-ice which is less of light density, the lack of salinity under 20 ppt, and the temperature reached 33-35 0C. Some of bacteria had been isolated from thalus which infected by the disease, but it assume only as the second cause. (Parenrengi, Rachmansyah, Suryati/BRPBAP Maros).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berfotosintesis, dimana kondisi optimum fotosintesis berada pada temperatur 30oC. Dawes (1989) dalam Ask dan Azanza (2002) menyatakan bahwa rumput laut K. Alvarezii dapat mentolerir temperatur antara 22 – 250C, tetapi optimum pada temperatur antara 25 – 280C. Untuk salinitas (kadar garam), menurut Doty (1987) dalam Risjani (1999) rumput laut K. alvarezii mempunyai salinitas optimum yang berkisar 29 – 34 ppt. Sedangkan menurut Kadi dan Atmaja (1988) salinitas optimalnya adalah 30 – 37 ppt.

Based on the study showed that the growth of seaweed is influenced by its ability to photosynthesize, where the conditions for optimum photosynthesis at temperatures of 300 C. Dawes (1989) in Ask and Azanza (2002) said that K. Alvarezii seaweed is able to tolerance the temperature of 22 – 25 0C, but the optimum temperatures standard are between 25 – 28 0C. For salinity (salt amount), according to Doty (1987) in Risjani (1999) the K. alvarezii seaweed has the optimum salinity in the range of 29-34 ppt. While according to Kadi dan Atmaja (1988) the optimum salinity are between 30 - 37 ppt.

Berdasarkan standar budidaya tersebut penanaman rumput laut sebaiknya disesuaikan dengan kondisi perairan. Untuk itu ada baiknya pemerintah kabupaten setempat berinisiatif untuk melakukan penelitian studi kesesuaian peruntukan lahan budidaya, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu; Lokasi budidaya harus jauh dari pengaruh daratan; perairan bebas dari pengaruh sedimentasi yang dapat mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis;  terdapatnya pergerakan air (arus) yang cukup untuk mendistribusikan nutrien dan oksigen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut (Eucheuma dan Gracillaria), serta terhindar dari akumulasi sedimen dan tumpuhan penempel; pada saat surut, perairan masih digenangi air hingga 30 – 60 cm untuk menghindari kematian akibat terlalu terang; perairan memiliki pH antara 7,3 – 8,2 dan ditumbuhi berbagai komunitas macro-algae.

Based on the standard for seaweed cultivation, cultivation should be adjusted to the water conditions. It's good for the local district government took the initiative to conduct land suitability study research, things to note are; the Location of cultivation should be far enough from the mainland’s effect; the water is free from the effect of sedimentation of the photosynthesis process; the good presence of water flow (streams) to distribute nutrients and oxygen that are needed for the growth of seaweed (Eucheuma and Gracillaria), and to avoid the accumulation of sediment and footing of tacks; during low tide, water still up to 30-60 cm to avoid death from brighter light; water have a pH between 7.3 to 8.2 and overgrown with macro-algae communities.

Dengan demikian, rumput laut yang merupakan sumber utama penghasil agar-agar, alginat dan karaginan yang dimanfaatkan dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, dan industri lainnya (industri kertas, tekstil, fotografi, pasta dan pengalengan ikan), ini dapat memberikan peluang besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat, penyerapan tenaga kerja, mengentaskan kemiskinan, serta peningkatan devisa negara.

Thus, seaweed which is the main source of producing gelatin, alginate and carrageenan which is used in food industry, cosmetics, pharmaceuticals, and other industries (papers industry, textiles, photography, pasta and canned fish), could provide great opportunities for increasing the economy level of people, employment, reduce poverty, and national income.

Idham Malik




0 komentar:

Jatuh Bangun Budidaya Rumput Laut di Pelosok Sulawesi Tenggara