semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Hantu Kognisi

Begitu rumit untuk menyiapkan waktu untuk menulis sekenanya tentang pikiran-pikiran, imitasi dari  beragam gagasan yang bersileweran pada buku atau pencerapan indra yang kemudian melalui proses internalisasi dalam benak. Padahal, dalam sehari, selalu ada kesan kuat yang sempat kita tangkap. Namun sayangnya, kesan kuat itu akhirnya buyar atau sekadar tersembunyi dalam memori dan akan sulit kita panggil kembali.

Saya mengira-ngira, bahwa fakta yang menghalangi kita untuk menuangkan ekspresi, perasaan dan pikiran adalah keinginan yang tidak kuat, kedua kurangnya keyakinan terhadap bahan yang telah kita miliki, ketiga karena adanya gangguan-gangguan kecil yang tak dapat kita atasi. Gangguan itu dapat berupa munculnya rasa malas tiba-tiba akibat kelelahan yang tidak jelas, gangguan yang kita buat-buat sendiri dengan cara mengalihkan perhatian ke hal lain, misalnya dengan mengajak teman ngobrol ataupun berjalan-jalan tanpa tujuan jelas dan hanya menghabiskan waktu.

Sesingkat ini saya pun menyalahkan waktu, yang justru hanya menjadi kambing hitam. Waktu menjadi korban ketidaksigapan kita dalam mengelola hidup, agar dapat menjadi lebih bermakna-bernilai. Waktu yang pada dasarnya abstrak itu pun kita hidupkan dan sengaja diberi ruh, agar dapat dihakimi, diobjektifikasi. Berbicara korban, manusia memang menjadikan korban sebagai benda mutlak untuk sebuah ritus, sebuah perayaan. Kita selalu melihat korban sebagai bentuk tumbal untuk menghapus bala dan merebut kuasa. Meski demikian, waktu selalu berurusan dengan masa lalu yang kita sulit lupakan, tetap terkenang atau pun waktu pada pristiwa yang hanya dapat diingat-ingat begitu saja. Pantas, saya selalu lupa nama seseorang, mungkin pada wajah orang tersebut hanya berbekas dalam ingatan tapi bukan dalam kenangan.

Kembali ke rasa malas tadi, yang menjadi salah satu faktor penghambat kita untuk melahirkan karya. Saya curiga ada fakta yang sulit kita rumuskan, yaitu semacam jalinan kebiasaan yang kita bangun secara tak sadar dan jalinan itu membentuk keseharian kita. Ada yang menyebutnya sebagai budaya, namun itu terlalu kompleks dan gampang diterka, dan tentu akan menjadi kabur akibat defenisi budaya begitu banyak sandingan dan orang akan sangat jauh menginterpretasi. Ada yang menyebutnya doksa, sesuatu yang hadir dalam struktur-struktur hubungan kita dengan sesama. Dan ada yang menyebutnya habitus, yaitu semacam faktor eksternal yang membentuk situasi sosial dimana kita selalu mencari posisi dimana kita bisa berkontribusi. Namun situasi sosial itu yang sangat berbayang itu sangat mempengaruhi kita, walau sebenarnya kita punya pilihan untuk tidak terjebak dan mencari jalan lain.

Yah, istilah-istilah itu sebenarnya sangat ketat, dan begitu konyol saya yang mencoba untuk melonggarkannya dan terlepas dari diskusi filsafat sosial. Memang sangat konyol, apalagi sejauh ini kita terlena oleh pengetahuan umum, sesuatu yang massif walau dangkal. Kita mengikuti norma-norma harian, yang dibentuk oleh bahasa, hukum, agama, atau pun oleh indoktrinasi. Ada hantu yang mengelilingi kita, dan sangat banyak. Hantu itu mencoba untuk memakan kognisi kita, memasukkan sampah dan membiarkan kita terhipnotis dan mungkin akan mati pelan-pelan dalam dosa kesadaran semu.

itulah sebabnya Karl Marx ogah meneruskan carik berfikir mahaguru Hegel. Yang hanya berkutat pada idealisme pikiran tanpa hendak beranjak ke realitas. Menurut Marx, adagium Hegel bahwa yang rasional itu pasti real hanya berterbangan di alam ide, dalam begawan-begawan. Sementara nasib rakyat terus terpenjara dalam sistem sosial yang buruk, yang tetap menderita tanpa tahu apa yang menyebabkan derita itu. Dimana derita itu sejauh mungkin telah dinetralisir oleh candu-candu yang ditebar bersama senyuman melalui ceramah-ceramah agama, bahwa nasib itu sedemikian jadinya, tak usah terlalu berlaga menantang takdir. Marx pun berkesimpulan bahwa terdapat kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang telah mengambil keuntungan dan membiarkan kondisi tetap sedemikian adanya. Salah satu kelompok yang mengambil untung itu adalah para pelaksana negara.

Istilah untung pun dijabarkan secara objektif ilmiah oleh Marx tua dalam Das Kapital. Saya belum baca betul naskah panjang itu. Tapi mohon maaf saya pun tidak sepenuhnya setuju. Bahwa ekonomi-lah yang menjadi unsur penggerak dan peubah dalam dunia sosial. Bahwa dalam dalam berinteraksi, manusia masih menjadi penggerak utama dimana dalam dirinya terdapat motivasi dan unsur kreatif serta ada bagian dalam dirinya untuk selalu mengkoreksi dan berefleksi. Memang kita selalu termotivasi jika berhubungan dengan uang, tapi dalam hidup ini tidak semuanya dapat diukur oleh uang, tapi juga oleh ketenaran, karya, kebahagiaan berkumpul bersama keluarga, kehendak untuk melakukan perjalanan, atau pun kehendak untuk saling membantu (altruistik).  

Karakteristik altruis inilah yang menarik, dimana dalam berinteraksi, kita selalu punya keinginan sadar atau tanpa sadar untuk membantu orang. Menurut para pemikir neodarwinisme, sepakat bahwa altruis adalah bentuk perkembangan kesadaran manusia bahwa dengan bersikap seperti itu, maka kehadiran ummat manusia di muka bumi dapat dipastikan terus berlangsung. Jika semua orang egois, maka tidak menutup kemungkinan ummat manusia dengan sendirinya punah. Tapi lagi-lagi, ini sangat berbau darwinisme sosial. Dimana kita seakan-akan terseret pada determinisme.

Awalnya saya ingin menjelaskan tentang struktur yang membentuk kehidupan kita, yang biasanya disebut sebagai strukturalisme. Namun saya akhirnya terjebak dalam keliaran ini. Dimana manusia (ego) hanyalah subjek pasif yang dikendalikan struktur, baik itu struktur kebudayaan hasil cernaan Levi Strauss yang terbentuk melalui jalinan mitos, ikatan keluarga dan ritual. Ataukah struktur yang halus berdasarkan teori Althusser dimana kognisi kita dipengaruhi dan dibebani oleh paham-paham kelas penguasa yang diintervensi melalui media massa, indoktrinasi, pendidikan, sastra ataupun melalui mekanisme kekerasan. Ataukah struktur kaku De Saussaure, dimana kita tak dapat lepas dari pengaruh struktur bahasa yang kaku (langue), dimana terdapat objek (penanda), makna yang terkandung (petanda) dan hasil kesimpulan yaitu (tanda). Padahal dalam bahasa masih terdapat unsur Parole, yaitu karakteristik bahasa yang mewakili personalisasi kita, individualisasi, yang tampak dalam logat-dialek, intonasi. Menurut Roland Barthes, dengan struktur bahasa ini justru akan dengan mudah dimitoskan oleh para pemegang kuasa, dan akhirnya membuat kita menjadi zombie yang begitu taat pada penguasa. Dimana makna dari penanda dengan mudah digonta-ganti oleh pemegang kekuasaan. Dan kita pun dengan rela mengiakan makna dari tanda tersebut. Aggap saja kata “Pancasila dan Stabilitas”, dua kata ampuh yang telah dibajak oleh Pemerintah Soeharto.

Pada akhirnya, saya ingin mengikhlaskan keliaran ini dan menutupnya dengan Foucault. Filsuf pascamodern ini menerangkan bahwa dalam kehidupan ini, kekuasaan ada dimana-mana, kekuasaan tersebar antar lapisan-lapisan masyarakat, atau antar aktor-aktor. Setiap orang mempunyai potensi kuasa, atasan terhadap bawahan atau bawahan atas atasan, suami terhadap istri serta istri terhadap suami, dosen terhadap mahasiswa, mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior. Jalin-jalin kuasa ini tidak dapat terhindarkan, sehingga menurut Foucault, kita hanya bisa mengetahui dan sadar bahwa kekuasaan itu ada. Dan memang, kekuasaan itu tidak dapat dihindari dan memang ada mengisi dan mewarnai kehidupan manusia. Faucault pun menyebut ini dengan istilah discourse, dimana terdapat benturan kuasa di antara kita. Oleh karena itu, langkah yang harus kita tempuh yaitu dengan menguatkan wacana-wacana pinggiran, wacana pihak-pihak yang tertindas untuk dapat melawan wacana pihak-pihak yang diuntungkan dalam sistem sosial.

Sebagian kekuasaan-kekuasaan itu bertarung dalam arena komunikasi, dimana menurut Habermas, terdapat ruang komunikasi yang bebas, dimana kita dapat mengekspresikan kehendak dan pikiran kita. Mungkin di bawah pendar-pendar cahaya warkop. Mungkin di tepi jalan, sembari kita makan pisang epek. Kita saling menimpali, tanpa ada jejaring struktur, kita pun bebas mengiakan pikiran kawan bicara kita, atau kekasih kita.
Senin, 20 Januari 2014
Di Warkop Planet Coffee, Makassar





0 komentar:

Hantu Kognisi