semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Humor



Saya tak menyangka diriku akan jatuh hingga kedalaman tak terkira. Pada relung-relung dimana jiwaku bisa ditetak dan mungkin retak, teriris-iris bukan oleh belati, bukan oleh sebuah pisau pramuka, tapi oleh kata-kata. Mungkinkah saya ini adalah keturunan dari dewa kesedihan, yang tak mampu mengelola rasa, gampang tersentuh oleh ketersinggungan, mudah mengambil kesimpulan yang terkait jiwa manusia.

Terus terang saya tak nyaman melihat orang-orang kecil yang selama ini saya kagumi digertak-gertak sedemikian kasar. Meski dengan alasan yang mungkin terlihat tampan, seperti menjaga kualitas sebuah pelayanan. Omong kosong dengan pelayanan. Pada dasarnya kita semua sama. kita memiliki intan yang bersinar-sinar dalam diri kita, namun kemudian menjadi bara dan sinarnya menghamburkan hawa panas. Jiwa kita ditumpulkan oleh standard. Sebuah patokan yang dibangun oleh susunan argumentasi terkait harga sebuah diri, yang katanya berindikator dari harta. Saya masih tak percaya bahwa harga diri dapat dibeli oleh harta. Walau banyak yang mengatakan bahwa harga termurah di dunia ini adalah harga diri.

Kejadian dua hari begitu menggelikan. Hanya lantaran debu di lemari dan di poci menjadi lelucon. Saya tidak melihat lucunya dari segi mana. Justru saya melihatnya dengan kaca mata tragedi. Dimana gara-gara debu, petugas hotel menjadi geger dan sembah palsu, sementara jiwanya tercabik-cabik dan keringat meluncur dengan deras. Pelayan yang sepanjang hari bekerja itu, yang tak tahu lagi sudah berapa liter kringatnya tercurah hanya untuk bertahan hidup. Kemudian diajarkan tentang cara melayani dengan begitu kasar. Hebatnya ceritra itu menjadi lelucon dan orang-orang pada tertawa. Entah tertawanya menertawakan pelayan tersebut ataukah menertawakan orang yang menindak buruk sang pelayan. Saya tidak mengerti, inikah yang disebut dengan harga sebuah pelayanan?

Kita punya jiwa yang terbentuk dari embun yang hinggap di dedaunan, yang kemudian dihisap oleh ulat-ulat. Kita punya jiwa yang lahir dari tetes hujan, menetes ke tanah, dihisap hingga tiba di pucuk. Ah. Jiwa yang teriris-iris melihat orang kecil diperlakukan sebegitu kasar.

Saya tak habis pikir kenapa juga saya menjadi bagian dari kemelut itu. Saya menjadi bagian sebuah sumber keresahan. Dimana saya hanya tertawa-tawa di luar, namun begitu teriris-iris di dalam. Tapi untungnya saya melihat mata-mata yang murung di balik gemuruh tawa itu. Mata-mata yang sedih, namun menampakkan keceriaan. Ada pula kejengkelan-kejengkelan tidak perlu, yang tiba-tiba mencuat dari mulut yang selama ini begitu sendu. Saya begitu tak percaya, kenapa dari mulut itu dapat mengeluarkan ‘bisa’, yang racunnya dapat membunuh. Itu lagi-lagi menjadi humor. Humor tumor.   

Dan kejengkelan itu begitu menyakitkan. Bergulung-gulung, bagai tsunami yang menghantam pedesaan rindang. Menghantam hingga dinding-dinding perbatasan rubuh, lebur menjadi puing-puing. Meski begitu, puing-puing ini akan kembali dibangun menjadi bangunan yang lebih fleksibel, menjadi lebih nyaman untuk dihuni dan tidak akan gampang lagi untuk dirontokkan. Dirontokkan oleh kata-kata jorok dan penghinaan.  

Begitulah, kita hidup di antara orang-orang yang hidupnya dikendalikan oleh ruang dan waktu, dikendalikan oleh sebuah tujuan. Hidup yang bergerak dan menjadikan dirinya sebagai pusat, untuk menikmati walau dengan menyakiti orang lain. Tapi, proses menyakiti itu disebabkan oleh ketidaktahuannya akan eksistensi seseorang, kemudian karena kepolosannya akan dampak yang disebabkan oleh kata-katanya. Kepolosan itu diisi oleh pengaruh kurang baik yang diserap dari sebuah otoritas. Sehingga otoritas haruslah menawarkan kebaikan, agar kebaikan itu menular. Jika yang ditawarkan itu keburukan, walau dalam bentuk humor. Humor yang dimaksud adalah humor yang tidak baik, yang biasa disebut humor tumor. Humor yang tertawa akibat kelemahan orang lain.

Ya sudah lah. Ini adalah cobaan dan pelajaran. Saya pun akan belajar cara berkomunikasi dengan baik. Dan yang lebih penting adalah cara untuk menjadi pusat perhatian. Ini yang luput selama ini dari perhatian saya.
Idham Malik
Semarang, 31 Januari 2014




0 komentar:

Humor