semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Budidaya Perairan, Alternatif Pemenuhan Pangan dan Tantangannya



Tulisan ini terbit di Koran Kampus 'identitas' Unhas, 3 Juni 2014

Pada 2010 penduduk dunia telah berjumlah tujuh miliar. Pada 2030 diprediksi menjadi 9,8 miliar, yang berarti penduduk dunia bertambah dua miliar untuk diberi makan. Ketersediaan sumber protein sangat menentukan kemajuan ummat manusia, walaupun sejauh ini terlihat ketimpangan konsumsi pangan di belahan-belahan dunia lain, dimana terdapat belahan dunia yang tingkat konsumsi pangannya sangat tinggi dan terdapat belahan dunia yang konsumsi pangannya sangat rendah, walaupun pada dasarnya memiliki potensi sumberdaya yang tinggi.

Sumber protein sejauh ini diperoleh dari sektor peternakan dan perikanan. National Geografic menunjukkan bahwa saat ini dunia menghasilkan lebih banyak ikan hasil budidaya daripada daging sapi. Pada 2012, produksi ikan global mencapai lebih dari 70 juta ton, melampaui produksi sapi untuk pertama kalinya. Salah satu penyebabnya karena nilai gizi ikan yang tinggi dan memiliki kandungan protein dan lemak yang baik bagi jantung. Diperkirakan permintaan terus meningkat hingga 35 persen dalam 20 tahun ke depan.   

Dalam situasi tersebut, Sekitar 43,5 juta penduduk saat ini menggantungkan hidupnya pada usaha-usaha perikanan dalam pemenuhan asupan protein. Tercatat ada sekitar 170 juta orang yang bekerja pada produksi inti perikanan. Namun sekitar 85 persen stok ikan di dunia dieksploitasi dan ditangkap secara tidak berkelanjutan. Penangkapan yang tidak beretika dan tidak menghargai alam itu terus berlangsung pada setiap bentang pesisir dunia. Bahkan, pelaku eksploitasi yang banyak berasal dari negara maju itu semakin merangsek ke negara-negara menengah dan negara yang pemerintahannya lemah yang memiliki sumberdaya alam melimpah. Mereka menguras ikannya dengan menggunakan teknologi penangkapan yang semakin canggih. Dan sayangnya aktivitas melibatkan pasar global, langsung mengekspor sumber laut utama ke negara-negara maju (Negara Eropa, Amerika Serikat dan Israel). Sedangkan penduduk lokal selalu saja hanya mencicipi sisa-sisa tangkapan yang kandungan proteinnya rendah.      



Itulah sebabnya kegiatan akuakultur perlu didorong sebagai sumber protein alternatif. Saat ini produksi akuakultur telah mencapai 47 persen dari produksi perikanan dunia (FAO, 2012). peningkatan yang hampir 50 persen tersebut kian tumbuh di atas 10% pertahun. Sebagian besar tumbuh di Asia, data menunjukkan bahwa 87 persen produk akuakultur untuk komoditas udang, Indonesia menempati urutan ke empat, setelah Cina, India dan Vietnam. Meski pada 2013 - 2014, produksi udang vannamei di Cina, Thailand, Vietnam dan Malaysia menurun drastis akibat serangan penyakit EMS (Early Mortality Syndrom). Bencana bagi negara-negara tersebut merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk meraup keuntungan di pasaran dunia. Walau secara global telah mengancam ketahanan pangan dan ketersediaan protein berkualitas prima.   

Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi dengan produksi akuakultur terbesar pertama di Indonesia Timur. Dimana produksi budidaya mencapai 2.235.654,8 ton pada tahun 2012 dengan melibatkan 283.915 petani budidaya (udang, rumput laut, bandeng, nila, dll) dan nilai ekonomi sebesar Rp. 5,78 triliun (Data DKP Sulsel, 2012). Namun dalam perjalanannya, aktivitas akuakultur di Sulsel mengalami beragam hambatan, yang paling umum yaitu serangan penyakit pada komoditas unggulan seperti udang windu, udang vaname, dan rumput laut. Gejala kerusakan ini tidak hanya di satu atau dua lokasi, tapi menyebar di hampir setiap lokasi di Sulsel dan menurunkan pendapatan masyarakat. Berlangsung pula konversi ekosistem mangrove yang dimulai sejak 1980-an hingga 2000-an, kemudian dilanjutkan pada dekade belakangan ini sebagai upaya ekstensifikasi pertambakan dimana para petambak terus memperluas lahan budidayanya (mencari lahan baru di daerah-daerah baru, Luwu Timur, Luwu hingga ke Kolaka Sulawesi Tenggara).  

Gejala lain yaitu upaya intensifikasi yang mengerucut pada produksi super tinggi pada lahan sempit untuk komoditas udang. Namun produksi tinggi yang mensyaratkan penggunaan pakan optimal tersebut tidak didukung oleh ketersediaan Instalasi Pengelolaan Limbah (IPAL), yang membuat limbah organik yang berasal dari sisa pakan dan feses udang itu dibuang saja ke laut dan berpotensi menyebabkan kesuburan perairan (eutrofikasi), berefek pada berkurangnya oksigen, munculnya organisme-organisme yang justru merugikan pengguna air untuk tambak lainnya. Di sisi lain, 93% aktivitas budidaya perairan mengandalkan air pasang surut dari muara sungai dan laut lepas, yang tentu saja akan terkena dampak meningkatnya bakteri negatif di laut berupa rusaknya kualitas air dan menurunkan jumlah produksi. 

Penyebab munculnya penyakit dan berbagai permasalahan di atas dideteksi bukan karena lemahnya faktor teknis dan metodis, tapi juga terkait dukungan politik dan legal formal (hukum), pengelolaan kelembagaan sosial, dukungan sarana prasarana dan pendampingan penyuluh, dukungan pasar, serta dukungan politik yang memberikan kewenangan pada masyarakat untuk mengeksplorasi metode-nya sendiri dalam perbaikan perikanan, yang biasa disebut dengan istilah Community Based Management.

Melihat hal tersebut, Pemerintah harus memikirkan perbaikan kualitas penyedia bahan baku, baik itu nelayan, pembudidaya, dan petani secara umum. Bukan lagi dimotivasi oleh kepentingan jangka pendek, yang selalu berbau putaran ekonomi cepat dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja, seperti eksportir. Sebab sungguh ironi bagi petambak kita yang telah bertahun-tahun berproduksi, namun tetap mengalami kendala terkait kualitas produksi dan pemenuhan standar hidup layak. Memang, perlu ada metode pembelajaran dan pendampingan khusus agar mereka dapat memetakan persoalan dan mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.

Lebih dalam dari itu, kerusakan lingkungan akibat aktivitas eksploitatif tersebut lebih berurusan dengan cara berfikir kita terkait sumberdaya alam itu sendiri. Cara pandang yang semena-mena, memandang laut sebagai sumber yang bebas untuk dipreteli, lautdan pesisir sebagai objek pemuasan nafsu manusia, hanya mementingkan spesiesnya sendiri dan telah memusnahkan serta mengurangi jumlah spesies-spesies lain.

Sebelum kita terlalu jauh melangkah. Lebih baik kita bersama-sama memupuk kesadaran bahwa spesies lain itu juga mempunyai hak untuk hidup, hak untuk berkembang dan meneruskan generasi. Itu dapat dimulai dengan cara mengurangi prilaku boros kita dalam mengonsumsi pangan. Mulailah hidup hemat dan penuhi hidup dengan makna, bukan dengan materi yang pada akhirnya akan membuat hidup menjadi membosankan.

Akhir paragraf, kita pun menghimbau kepada pasar-pasar luar untuk tidak selalu memprovokasi nelayan kita untuk menguras ikan-ikan di laut. Apalagi mengeksploitasi dengan cara yang merusak lingkungan, seperti penggunaan bom dan racun, serta penangkapan spesies yang rentan. Mulailah fokus untuk membeli ikan-ikan yang ditangkap secara ramah lingkungan, serta pada usaha-usaha alternatif pemenuhan pangan, yang berasal dari budidaya perairan. Kemudian, distribusi protein tinggi itu diharapkan bisa lebih merata, penduduk Indonesia yang jumlahnya 250 juta ini apat dengan mudah menikmati sumberdaya protein tinggi, ikan-ikan karang, udang, ikan-ikan sungai, agar lebih bervariasi dari yang sebelumnya hanya tempe, tahu dan sebutir telur ayam.  






0 komentar:

Budidaya Perairan, Alternatif Pemenuhan Pangan dan Tantangannya