semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kanjeng Dimas

Fenomena Kanjeng Dimas bukan hal aneh di Indonesia, apalagi di Jawa. Hal itu telah terwariskan dari generasi ke generasi, sejak Jawa masih hutan gelap gulita, lalu ladang pertanian, hingga timbul jalan raya dan bangunan-bangunan di sisi-sisinya. Justru, hal-hal seperti itu, menjadi jawaban dari sedemikian persoalan hidup yang mereka hadapi. Orang-orang kita sedari dulu percaya tuyul, untuk menjawab kenapa seorang pedagang telur yang dahulu biasa-biasa saja, dengan cepat menjadi kaya. Orang-orang kita percaya ada dedemit di dalam kakus, yang dapat menyebabkan orang tiba-tiba demam tinggi. Orang-orang kita dari dulu percaya ada lelembut, yang dapat merasuki seseorang yang sedang kosong, atau biasa kita sapa dengan kesurupan. Lantas, Kenapa kita mesti kaget kenapa banyak orang percaya Kanjeng Dimas menggandakan uang?  

                                                     
                                               Foto : istimewa

Hal itu harus kita terima sebagai warisan leluhur, dengan cara pandang yang kritis, melibatkan semua piranti pengetahuan kita. Apalagi hal-hal seperti ini, relevan dengan keyakinan kita pada yang mistik, yang halus, yang bersifat metafisika. Sejauh ini tidak ada yang keliru. Sepanjang, hal-hal tersebut dapat membantu kita untuk menganalisa persoalan yang kita hadapi dalam keseharian kita. Kita pun sadar, bahwa kebenaran adalah apa yang umum, apa yang saat ini beredar, yang kita terima dari kecil. Itulah kebenaran.

Dapat kita katakan bahwa yang dilakukan oleh Kanjeng Dimas adalah praktek magi, yang akar-akarnya dapat kita telusuri hinggal awal-awal peradaban. Dengan menggunakan mantra-mantra, yang sumbernya boleh dari mana saja, para dukun memanfaatkan pengetahuannya akan dunia gaib tersebut untuk menguasai situasi. Magi berfungsi untuk menangkis mara bahaya, mempengaruhi daya-daya kekuatan alam, menguasai orang lain hingga membunuh orang lain dengan perantara boneka atau gambar.

Praktek magi ini bertujuan fungsional dan imanen, dia tidak lagi transenden, meski masih ada kaitannya dengan mitos. Dalam praktek ini, mitos, maupun ayat-ayat suci hanya menjadi catatan kaki semata. Tak dapat dipungkiri, dari dulu hingga saat ini, selalu saja ada orang yang mendominasi dan memanfaatkan ilmu-ilmu dewa ataupun ketuhanan untuk kepentingan diri sendiri.

Kanjeng Dimas, mentransformasi lebih jauh, dia tidak lagi berurusan dengan persoalan orang yang membutuhkan kekuasaan, dia tidak berurusan dengan pria yang menginginkan mantra untuk menggaet gadis yang dia impikan, dia berurusan pada jantung kebutuhan masyarakat saat ini, yaitu uang.

Saat ini uang menjadi problem utama kita. Keahlian kita, kecerdasan kita, kekuatan kita, semua ditakar pada seberapa besar uang yang kita peroleh. Selain itu, kita dihantui terus oleh benda-benda, komoditas-komoditas yang harus kita penuhi. Kehidupan kita tersedot untuk memenuhi target-target material, seperti membangun rumah yang lebih baik dari rumah orang lain, membeli mobil, peralatan-peralatan yang sejatinya tidak begitu kita butuhkan dalam hidup.

Akibat tekanan-tekanan itu, selain juga karena kita sudah menerima system kapitalistik itu apa adanya. Banyak diantara kita yang sulit beradaptasi, yang disebabkan oleh warisan kemiskinan, tidak setaranya pendidikan, tidak setaranya kesehatan, dan semakin rendahnya solidaritas sosial di antara kita. Serta kuatnya system dominasi manusia dengan manusia lainnya, yang memanfaatkan komoditas modal, pengetahuan dan tenaga kerja sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan. Hidup kita berputar pada untung, modal, material, dan egoisme-kesombongan. Lantaran itu, dalam percaturan kita ini, ada yang kaya da nada yang miskin, dengan komposisi yang sangat tidak seimbang. Koefisien gini saat ini berada pada tingkat 0,42, dari hitung-hitungan matematis itu memiliki makna bahwa saat ini begitu tinggi kesenjangan ekonomi diantara kita.

Akibat dari itu, banyak dari kita yang putus asa dalam hidup, dan mencari jalan keluar untuk bisa memperoleh uang. Kanjeng Dimas dengan tipu dayanya hadir bak malaikat. Ia memutar uang sedemikian rupa, menggunakan mantra-mantra yang begitu dia kuasai, menciptakan suasana mistik di sekitarnya, dan orang pun percaya bahwa dia dapat menggandakan uang. Praktek Kanjeng Dimas, sejatinya sangat sesuai dengan prinsip kapitalisme, uang untuk uang, modal untuk modal, yang dipermak tanpa proses yang rumit, cukup dengan kata-kata dan ekspresi.

Lantas, kenapa banyak orang kaya yang juga ikut mencoba menggandakan uang? Kita harus pertanyakan sebelumnya, dari mana dia memperoleh kekayaannya, apakah dengan cara yang baik menurut logika saat ini, atau kah juga dengan cara-cara curang yang serba mudah? Jika dia memperoleh kekayaan dari cara-cara licik dan cepat, berarti dia juga dapat dengan mudah percaya pada Kanjeng Dimas, yang dapat memproduksi uang dengan cepat.  

Lalu, kenapa ada orang pintar yang begitu yakin dengan Kanjeng Dimas? Kita perlu pertanyakan apakah kepintarannya itu selama ini konsisten digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat, bermanfaat bagi orang banyak, ataukah kepintarannya itu juga digunakan untuk memperkaya diri atau golongan?

Uang dapat tergandakan dalam psikologis kita, karena kita percaya akan aksi itu, kita percaya pada apa yang kita inginkan. Dalam kondisi itu, kita tidak lagi rasional, pengetahuan-pengetahuan metodelogis, aksi reaksi, sebab akibat dalam ruang dan waktu, tiba-tiba lenyap. Yang menggumuli kita hanya pemahaman magis, bahwa ada kekuatan supranatural yang dapat memproduksi uang sedemikian rupa. Untuk itu, untuk mengembalikan orang – orang seperti ini, tidak perlu mengajak mereka istighfar, tapi ajaklah ia kembali mengingat pengetahuan-pengetahuan ilmiahnya, gali pengalaman-pengalaman rasionalnya bersama orang-orang rasional, dalam hal ini lingkungan intelektual.

Saya tiba-tiba mengingat seorang anak kecil dengan batu di tangannya, dapat menyembuhkan begitu banyak orang. Hingga ia lemah dan sakit meladeni para pasien. Saya pun terbayang para dukun-dukun kampong, mengobati luka warga yang patah kakinya akibat terjatuh dari pohon, hidup sederhana, suka menolong, dan tidak menonjolkan diri.

Makassar, 8 Oktober 2016



0 komentar:

Kanjeng Dimas