semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Mencermati Hari Koperasi Secermat-Cermatnya

Tulisan ini sudah terbit di website Khittah.co

Rabu kemarin, Bung Asratillah telah menulis pokok-pokok koperasi dan tokoh di balik hari koperasi di Indonesia, tepatnya diperingati setiap 12 Juli.
Hari Koperasi harus dicermati se cermat-cermatnya. Kooperasi dalam kawah berfikir Bung Hatta haruslah berangkat dari persatuan rakyat, dari kemauan rakyat untuk bekerjasama, bukan diendors dari luar ataupun dari atas.
          foto : istimewa
Untuk itu, koperasi dapat terwujud melalui proses dialektika yang kompleks dalam masyarakat itu sendiri, yang jika digali, ada dasar-dasarnya dalam masyarakat kita. Masyarakat kita terkenal dengan sikap tolong menolongnya, bantu membantu, bahasa Jawanya Gotong Royong.
Dalam diri masyarakat kita sudah terinstal dengan sendirinya mental kooperatif. Dengan modal seperti itu, masyarakat Indonesia sangat potensial mengembangkan ekonomi kerjasama ini, bahkan jika prosesnya setara, akan sama perkembangannya dengan koperasi-koperasi yang tumbuh sumbur di Jepang, CIna, hindia dan negara-negara yang mengusung solidaritas ataupun kekeluargaan dalam prinsip hidupnya.
Mental kooperatif ini pun tetap bertahan di tengah penindasan yang bertubi-tubi dari penguasa Kolonial Belanda dahulu kala. VOC maupun Hindia Belanda berupaya keras untuk menekan gejala-gejala yang menunjukkan persatuan, apalagi yang berbau persatuan ekonomi. Makanya, muncul kebijakan untuk menutup pintu kepada kemungkinan pertumbuhan ekonomi pribumi, dan lebih memberi tempat kepada para kapitan-kapitan dari bangsa nomor dua, yaitu etnis Cina dan Arab. Meski demikian, di permulaan abad 20, persatuan ekonomi pribumi tumbuh subur, di bawah panji-panji Sarekat Islam maupun sarekat-sarekat lainnya. Yang memproklamirkan istilah sama rata sama rasa, berdiri di atas kaki sendiri.
Beragam sarekat itu menuntut ruang yang lebih luas untuk pengorganisasian ekonomi, di samping kebebasan berpendapat melalui media massa maupun berbicara di ruang terbuka lewat forum-forum publik. Maka, bermunculanlah kerjasama-kerjasama ekonomi dari beragam profesi, baik itu pengusaha batik, koperasi guru, koperasi pegawai, koperasi supir.
Kenyataan-kenyataan ini begitu mendominasi gerakan revolusioner menuju kemerdekaan Indonesia. Makanya, Bung Hatta, yang belajar ekonomi di negeri Belanda selama sepuluh tahun, menganggap koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia. Bung Hatta juga, dengan melihat dan mengambil perbandingan-perbandingan ideologi yang begitu marak di Eropa, tidak menapikan pentingnya pertumbuhan ekonomi, yang tentunya akan turut mensejahterahkan rakyat banyak.
Hanya saja, condong ekonomi kita kemana? Apakah mendahulukan kepentingan bersama dan ditempuh melalui usaha bersama, yang disebut koperasi? Ataukah memberi kebebasan kepada para pemilik modal untuk membuka usaha dan menerapkan sistem kapitalisme yang lebih berorientasi individual? Suasana awal hingga pertengahan abad 20, mendorong banyak orang untuk menerapkan konsep ekonomi sosialis, sebab, seperti kata Soekarno, konsep ekonomi apalagi yang cocok bagi bangsa yang terpuruk oleh penjajahan selama 350 tahun dengan begitu banyak orang miskin? Pada awal-awal Negara ini tegak, pemerintah memang memberi peluang kepada pemodal – pemodal besar untuk berkiprah, tapi sekadar untuk menstimulasi ekonomi rakyat, yang saat itu sedang digodok untuk segera tumbuh.        
***
Namun, kenapa koperasi di Indonesia seakan-akan terseok-seok? Koperasi diandaikan sebagai barang rongsokan, mobil tua yang berjalan pelan dan sering mogok. Koperasi tertinggal jauh dibandingkan badan usaha lain, semisal CV, UD, PT. dll.
Model usaha kita cenderung berasal dari modal sendiri, yang akhirnya mendorong kita untuk mengumpulkan modal melalui usaha keras, modal dua atau tiga orang, serta modal yang berasal dari dukungan dari bank. Konsep usaha kita kebanyakan dari alam berfikir sendiri, yang kita pelajari di universitas, di sekolah bisnis, ataupun melalui pengalaman kerja di bidang usaha tertentu. Dalam batok kepala kita terselubung cita-cita untuk membangun usaha sendiri, dengan konsep sendiri, modal sendiri, dan nanti akan dinikmati sendiri pula atau hanya oleh lingkaran kecil kita saja.
Lalu, kita menengok koperasi, kita menengok kerumitan-kerumitan. Kerumitan pertama adalah bagaimana mengajak orang untuk bekerjasama, bagaimana membangun kepercayaan kepada orang lain yang kita ajak kerjasama, bagaimana mendorong orang untuk tidak hanya memedulikan diri sendiri, tapi mulai menaruh kepercayaan kepada orang lain untuk bekerjasama. Bagaimana menyusun konsep bisnis secara bersama, berbasis ekonomi setempat, yang memang sudah mengakar dalam.
Di sinilah dibutuhkan kepemimpinan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat pada sistem kolektif, mengembalikan harkat martabat mereka bahwa mereka mampu membangun usaha bersama, bukannya dieksploitasi lagi secara bersama-sama. Sebab, dalam praktek kita entah dimulai dari kapan, lebih banyak menekan tumbuhnya ekonomi bersama dan lebih memberi peluang kepada politik ekonomi per-konco-an. Institusi-institusi, tepatnya institusi politik dan pemerintahan kita, belum bisa menjadi wasit dan pemandu yang baik untuk menumbuhkan ekonomi koperasi itu sendiri. Adapun lahir koperasi, tapi tidak dikelola secara professional, malah menjadi lahan oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan sepihak.
Tugas kita adalah mengaktifkan kembali genetik yang tidur, hormon yang mengendap dalam sendi-sendi kehidupan bersama rakyat. Bukannya meninabobokkan dengan sistem feodal, yang hanya mengambil, bertukar tangkap, dengan harga yang pas. Para petani, nelayan, pembudidaya, tidak lagi hanya menjalankan tugas sejarah dengan patuh, yaitu mengolah lahan, memproduksi, mencangkul – mencangkul. Biarkan lah mereka tumbuh dan berkembang, mengolah lahannya, memproduksi produk, mengemasnya, menjualnya. Dan itu dilakukan secara bersama-sama.
Semoga Arwah Bung Hatta dan para pejuang koperasi bersama kita di Hari Koperasi ini.




0 komentar:

Mencermati Hari Koperasi Secermat-Cermatnya