semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Problematika Tidak Berkesudahan Petambak Tradisional

"Johan Melali, liu tepukin", begitulah bunyi pepatah Bali, yang berarti main yang jauh, banyak menemukan. Semakin kita menekuni sesuatu, semakin luas ruang jejak kita, semakin terbukalah kenyataan. Fakta, realitas, entitas, hanyalah persoalan waktu. Lama atau cepatnya, pasti akan tersibak.
Pertambakan, baik itu ikan, udang, maupun rumput laut, secara metode tidak beda jauh dengan pertanian. Makanya, mereka biasa juga disebut sebagai petani ikan, petani udang ataupun petani rumput laut. Mereka merencanakan sesuatu, mencakar dalam pikirannya mengenai tahapan-tahapan yang harus ditempuh serta cara memperoleh bahan-bahan baku untuk sebuah produksi tambak. Dalam rentang waktu tertentu, maka dapatlah diperkirakan jumlah laba yang bisa diperoleh. Lalu, berapa dana yang bisa diinvestasikan untuk siklus berikutnya.
Namun, Kadang, bahkan boleh dikata sering, apa yang direncanakan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Peta pikiran tidak sesuai dengan peta realitas. Dan, hal ini tidak lagi bersifat musiman, seperti yang dahulu dikenal sebagai musim paceklik. Saat - saat ini, paceklik kadang datang tanpa diundang dan tanpa diperkirakan sebelumnya.

                          Foto : Nizar Fahrezi

Makanya, kita perlu lihat baik-baik apa latar belakang dari kenyataan - kenyataan ini?
Hal pertama yang perlu kita tekankan bahwa praktek budidaya di Indonesia, tidak bisa hanya melihat unit per unit, tapi harus dilihat secara keseluruhan dalam satu kawasan atau inter kawasan. Petambakan ibarat tubuh, ketika jari kita lecet, maka yang merasakan sakitnya bukan jari kaki saja, tapi semua tubuh merasakan itu. Tambak bukan lagi tambak, tapi sudah pertambakan. Dimana ada pembuluh darah berupa saluran-saluran air, ada nutrisi-nutrisi yang dibawanya menuju organ-organ tambak. Nutrisi-nutrisi ini pun dapat terkendali dan tersedia, jika ekosistem mangrove, lamun dan karang dalam kondisi sehat.
Kedua, dengan pemahaman kawasan, berarti masing-masing individu harus bertanggungjawab atas prakteknya, agar tidak melampaui batas-batas daya dukung kawasan-alam. Individu bukan lagi menjadi individu yang bebas se bebas-bebasnya, tapi individu yang menurunkan hasratnya, praktek dalam koridor tertentu, menuju hadirnya menang bersama/win-win solution.
Berarti, idealnya masing-masing petambak harus menerapkan metode budidaya sesuai dengan kondisi kawasan. Namun, dalam prakteknya masih banyak kendala yang dihadapi. Hal pertama, konsep tradisional berupa budidaya dengan cara panen - tebar tanpa perbaikan lahan terlebih dahulu, yang diterapkan selama ini tidak lagi sesuai dengan perubahan-perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan disumbangkan oleh banyak hal, praktek budidaya semi intensif, intensif, supraintensif yang sampai sekarang tidak menerapkan instalasi pengelolaan limbah. Kian lama, kian bergeser praktek ke arah sana, yang disertai pula peningkatan modal atau masuknya modal baru yang ingin menggali untung lebih banyak lagi.
Petambak tradisional, jika ingin bertahan harus merubah strateginya dengan menerapkan perbaikan lahan dan manajemen tambak lainnya, seperti manajemen benur, manajemen air, manajemen pakan. Dan hal ini tidak bisa hanya dilakukan oleh satu orang saja, tapi harus dilakukan oleh semua petambak tradisional dalam satu kawasan. Namun, hal ini tampaknya sulit bagi para petambak tradisional. Padahal itulah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk perbaikan produktivitas. Walaupun mereka telah mengganti komoditas dari udang windu ke vannamei, yang mana vannamei lebih tahan lama, lebih cepat tumbuhnya, putaran uang lebih cepat, namun, dengan bergumulnya limbah-limbah, pembusukan kawasan hanya tinggal waktu.
Kenapa petambak tradisional yang saya amati susah untuk merubah manajemen budidayanya? salah satu faktor utama karena mereka terlalu sibuk, satu orang petambak harus mengawal 4 - 7 tambak, dengan sistem yang semakin meningkat, yaitu tradisional plus. Petambak kehilangan fokus untuk mengawal masing-masing unit, pikiran, waktu, tenaga terbagi-bagi demi mengejar akumulasi dari semua tambak yang mereka kelola.
Kenapa tambak harus mengerjakan banyak petak tambak? Sebab, mereka tidak punya lahan produksi sendiri, mereka mengerjakan tambak orang lain, mereka menyewa lahan. Hanya dengan mengerjakan banyak petak, pengeluaran atau konsumsi keluarga bisa tertutupi. Selain itu, mereka juga harus menutupi ongkos sewa lahan.
Seandainya, para petambak mengelola lahannya sendiri. Dengan sendirinya manajemen tambak yang dianjurkan selama ini melalui pelatihan-pelatihan, penyuluhan-penyuluhan dapat mereka terapkan, sehingga produktivitas tambak mereka otomatis dapat mengalami peningkatan. Lahan tambak juga dapat direstorasi dengan sendirinya, karena asas kepemilikan mendorong para petambak untuk memperbaiki konstruksi tambak miliknya. konstruksi tambak baik, berupa saluran air, pematang, maupun kedalaman/ketinggian air, cukup menentukan dalam perbaikan kualitas budidaya.
Berikutnya, jika kondisi ini sulit diubah karena sudah mendarah daging dalam struktur sosial kita atau jika ditempuh harus melalui pendarahan sosial terlebih dahulu, jalan berikutnya adalah manajemen modal. Para petambak membutuhkan modal sebagai basis lanjutan setelah basis material lahan. Dengan adanya modal, mereka bisa menunggu, menanti, dan tidak terburu-buru. Tidak gali lubang tutup lubang. Namun, modal harus diiringi dengan pendampingan perencanaan usaha, pendampingan untuk peningkatan model produksi. Dan lain-lain. Untuk itu, sangat dibutuhkan kegiatan usaha sosial berupa mikro kredit atau model bank petambak untuk mengatasi persoalan modal ini.
Berikutnya adalah perbaikan konsep yang berarti mensasar aspek kognitif. Hal ini dapat dilakukan pelan-pelan melalui lembaga kelompok tani, melalui diskusi-diskusi budidaya, melalui sekolah - sekolah tambak. Perbaikan kognitif juga bersifat resiprokal, koordinasi - eksperimentasi antara manusia dan alam.
Demikianlah ulasan mengenai petambak tradisional dengan basis lahan sewa. Tentu berbeda dengan yang berbasis pekerja atau buruh/sawi. Yang lebih kompleks lagi persoalannya.
Lalu, ada pepatah lain, boleh main jauh, tapi, jika terlalu jauh, hati-hati saja jangan sampai tidak tahu jalan pulang.. 




0 komentar:

Problematika Tidak Berkesudahan Petambak Tradisional