semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Hawa dan Ular

Pada Minggu malam, 23 Maret 1924, ketegangan mulai bocor secara halus, pada sebuah Gereja Gereformeerd di Schinkel, Amsterdam, Belanda. Saat Pendeta J.G Geelkerken menjelaskan peristiwa Hari Minggu ke III dari Katekismus Heidelberg dengan bahasa yang datar, sebagian peserta terlihat menguap. Penjelasan teologi yang rumit kadang membuat para jemaat mengantuk. Tapi, seorang peserta pria, yang bernama Marinus, seorang pegawai bank, tiba - tiba duduk begitu tegang. Ia tersentak dengan logika berfikir Pak Pendeta. "Tidak ada ular yang benar - benar bercakap dengan hawa di Taman Eden".
Marinus dengan canggung melaporkan logika itu ke dewan gereja. Memang, pasca itu J.G Geelkerken dipecat. Tapi, buih - buih pikirannya sampai di tepi-tepi. Jemaat yang sebelumnya hidup damai dalam sebuah kisah penciptaan. Dengan sepenuh keyakinannya akan kebenaran peristiwa Hawa yang memetik buah pohon pengetahuan, lantaran digoda oleh ular, pun terusik.
                               Istimewa                            

Tiba - tiba terjadi perdebatan di mana - mana, bukan hanya oleh para terpelajar, yang memang dididik oleh ruang - ruang diskusi dan komunitas retorika teologi pada kampus rakyat (Vrije Universiteit - VU), tapi juga oleh orang awam. Bahkan, menurut Geert Mak dalam buku "Abad Bapak Saya", saat itu suami dan istri gelisah dan terbakar dalam satu bantal. Perceraian bisa saja terjadi, karena perbedaan pendapat.
Orang - orang mulai saling curiga satu sama lain, apakah betul si anu tidak percaya dengan ular itu. Narasi ular, sudah menjadi suatu dasar kepercayaan pada wahyu, pada alkitab, pada kata - kata yang tertulis. "Mana mungkin tidak ada ular yang bercakap dengan Hawa? Padahal itu tertulis dengan jelas di Katekismus Heidelberg", kata orang - orang. Sulit memang, keyakinan pada Wahyu secara literer, adalah api yang menerangi rohani, yang jika itu tak betul, api itu padam. Segala sesuatu menjadi gelap.
Cerewet rohani merebak, membius orang - orang, untuk saling menyerang hingga berhari - hari, berbulan - bulan, sampai kebosanan itu datang menyapa sendiri. Sampai - sampai, pada sebuah terbitan dengan lucu menggambarkan sebuah sikap seorang pendeta Aalders', "Saya mau berbicara dengan kalian sepuluh hari lagi atau setelah tiga tahun tentang pohon - pohon, namun hari ini tidak ada yang lain kecuali ular dan perkataannya".
Para pendeta Gerefoormerd terpecah, meski kaum yang percaya ular yang menggoda lebih besar. Sahabat - sahabat putus hubungan. Banyak dari mereka menjalin ikatan emosional saat - saat kuliah, seperti yang dialami oleh Catrinus Mak, pendeta muda lulusan VU, yang tiba-tiba menghianati kawan - kawannya yang lebih percaya pada doktrin baru Geelkerken. Catrinus adalah salah satu aktivis kristen yang tergabung dalam majalah Woord en Geest, bersama Jan Buskes, Cor Man, dan Evert Smelik. Rata - rata, pendeta muda yang tergabung dalam pendukung Geelkerken dipecat oleh otoritas Gerefoormerd, yang kedepannya membentuk suatu kamp rohani tersendiri, bernama Hersteld Verband.
Catrinus, yang juga bapak Geert Mak, tidak nyaman dengan kumpulan pemberontak teologi itu, tiba-tiba hari-harinya menjadi panas, dan segala sesuatu menjadi rumit. Ia sebenarnya orang yang penuh kasih, yang lebih peduli pada aktivitas penggembalaan dibandingkan retorika teologi. Untuk itu, atas dasar alasan - alasan kenyamanan, dia meninggalkan teman - teman kritisnya, lebih memilih menjadi gembala bagi para jemaatnya yang taat di Brielle dan Tinte.
Namun, lantaran provokasi, ia turut menikam pisau kawan-kawannya dari belakang, melalui perang tulisan dalam brosur ataupun buku, tentang argumen teologis, alkitab dan ular, tentang solidaritas kita dengan Adam, tentang dosa sebagai tindakan yang belum selesai. Tapi, hal ini dibalas dengan tikaman pisau pula dalam argumen Evert Smelik dalam Woord en Geest. "Kesimpulan yang kacau dan fantastis, pdt Mak, dengan keseriusan penuh ingin menyesuaikan diri dengan keadaan".
**
Kita tahu seturutnya, kita tahu, Belanda saat ini adalah negeri yang sudah demikian bebas, yang kadang - kadang di luar batas imajinasi liberal kita sebagai orang biasa di Indonesia. Dan, tentu, masih banyak warga Belanda yang percaya pada Hawa dan godaan Ular. Dan mungkin, sikap percaya adalah sikap yang patut, sikap yang bijaksana, lantaran melahirkan konsekuensi - konsekuensi moral Kristen yang anggun.
Kita di Indonesia, belakangan terakhir juga tampak terjebak dalam logika harfiah-literer dan versi lawannya, yang lebih bersifat interpretasi. Seperti kasus bendera tauhid vs bender HTI.
Perang teologi wong cilik yang terjadi di Belanda tahun 1920 -an, hidup kembali di Indonesia kini, pada tahun politik, tapi saya tidak tahu ujungnya.. Mungkin hanya seperti busa. Seperti busa - busa di laut. Yang menguap ditelan waktu.




0 komentar:

Hawa dan Ular