semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Induk Udang yang Mati

Kematian yang tak direncanakan, selalu saja mengejutkan. Begitu halnya dengan berita kematian 150 induk udang windu betina dan 50 pejantan asal pesisir Kab. Aceh Timur, Prov. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pada 26 November lalu. Dalam perjalanan Aceh Timur - Medan - Jakarta - Makassar.
Induk udang ini rencananya akan dipelihara oleh tiga pengusaha perbenihan di Sulawesi Selatan, satu di Takalar, satu di Barru, dan satu di Pinrang. Ketiga - tiganya, adalah penyedia benur udang windu dengan kualitas baik. Ketiga - tiganya punya reputasi, punya nama yang harum di pengindraan dan ingatan petambak udang windu skala tradisional di Sulawesi Selatan.
Seperti perbenihan udang windu asal Pinrang, PT. Benur Bagindo Utama (BBU), yang dikelola oleh Pak Ujang. Beberapa kali Ujang dibujuk oleh pengusaha hatchery lain untuk segera beralih memelihara benur udang vannamei. "Saya sudah membenihkan udang windu selama 16 tahun. Saya tetap bertahan di udang ini. Petani masih membutuhkan udang windu," kata Ujang. Ia seperti Ronin, yang berjuang di tengah jutaan hambatan.
Pada siklus pertama musim penebaran ini, Ujang tak bergeming terhadap persoalan udang windu. Ia menerima takdirnya. Sejak Oktober, induk udang yang dia peroleh bermasalah. Dari 77 ekor induk udang windu yang ia pesan, yang bertahan hidup hanya 25 ekor. Dan, pada tanggal 26 November lalu, induk yang ia pesan ke pengumpul induk di Aceh, bersama dua hatchery lainnya di Sulsel, ikut mati dalam perjalanan.
Hingga saat ini ia tetap mengupayakan memproduksi benur windu. Tentu, masih banyak petambak menunggu dengan sabar benur dari belaian tangannya. Petambak tak mau beralih. Mereka sadar, bahwa benur Pak Ujang dapat bertahan di tambak - tambak mereka. Benur Pak Ujang, dengan induk udang dari Acehnya itu, selama 16 tahun ini telah menjadi cinta bagi petambak - petambak di Pinrang.
Namun, Induk udang itu datang dalam kondisi mati. Sebelum memperoleh asuhan yang sempurna dari empunya. Apa ada yang salah?
Kita tampaknya mulai kehilangan rasa kasih pada sang Induk. Induk udang yang ditangkap di laut yang dalam itu, yang menempuh perjalanan hingga lebih dari 20 jam melalui darat dan udara, mengalami penyiksaan yang dalam, mati dalam kondisi tercekik, kehabisan oksigen.
Pihak otoritas, dan yang bertanggungjawab mengantar induk induk itu, membiarkan induk - induk itu kehabisan nafas, tanpa melakukan tindakan apa pun.
Pihak penerbangan, tidak memiliki empati pada mahluk hidup, tidak memprioritaskan induk - induk itu masuk ke kargo pesawat lebih awal. Mereka lebih peduli pada benda mati. Padahal, induk udang ini, mengandung telur udang windu, yang nantinya akan menjadi benur. jutaan benur dari 150 induk itu akan mengisi petak - petak tambak masyarakat pesisir kita, yang jika hidup dengan normal, dapat menempati 6000 hektar tambak.
Tampaknya, yang kita butuhkan bukan sekadar kerja rutin atas nama profesionalitas, tapi juga kepekaan. Dengan rasa peka ini, kita dapat antisipasi semua kemungkinan - kemungkinan buruk. Kita dapat mulai dengan belajar untuk berkomunikasi dengan baik, antara penyedia induk, pihak kargo, dan pihak bandara. Dengan perasaan mendalam itu pula, kita menyiapkan fasilitas repacking (pengepakan kembali) di bandara, jika saja terdapat hambatan - hambatan dalam penerbangan.
**
Kematian induk udang Aceh ini, juga menjadi peringatan bagi kita, para pegiat udang di Sulsel, untuk mulai membangun diri sendiri. Mulai melihat potensi - potensi induk yang ada di perairan Sulawesi Selatan.
Agar, induk udang mati itu tidak mati dengan sia-sia. Matinya menjadi pelajaran bagi kita untuk membenahi induk kita. Membenahi lingkungan tempat induk - induk udang kita bermukim.

                       
Foto : istimewa




0 komentar:

Induk Udang yang Mati