semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Gun

Seperti bola basket, semakin ditepuk, semakin mental.
Mungkin begitulah karakter Gunawan Mashar, ketika ia jatuh, ia tak berhenti, ia hanya mundur. Ia tak lengah. Tapi menunggu.
Gun, yang malang melintang sebagai wartawan, sejak berstatus mahasiswa hukum Unhas, berkiprah di koran kampus identitas, detik.com, hingga Gosulsel, ia tak jengah memberi interupsi. Bukan sekadar tanda koma, tapi, ada eksplanasi di dalamnya, ada pijar - pijar.
Gun yang saat ini lolos menjadi komisioner KPU Makassar, setelah beberapa kali terlangga, sejatinya wartawan tulen. Apa yang disebut tulen? darah dan dagingnya bergumuruh ide - ide, gagasan - gagasan, bagaimana membangun jurnalistik yang baik. Bagaimana menghasilkan tim yang kompak. Bagaimana mendidik jurnalis - jurnalis muda, yang tidak sekadar cakap, tapi juga unggul dari segala lini.
Boleh dikata ia bukan sekadar wartawan, ia adalah sosok yang punya dedikasi (dedication of life). Ia ingin melakukan sesuatu. ia punya kehendak. will. Seperti kata Soekarno, -- de will tot leven -- kemauan untuk hiduplah yang menggerakkan. Kemauan untuk merubah sesuatu. Jika Soekarno menyerap betul nationalisme, dan menjadikan dirinya sebagai corong nationale wil, maka Gun, pun sebagai manusia, sudah sedang menjajaki jurnalisme wil, dengan humanisme gest sebagai dasarnya.
Awan - awan putih itu melintas - lintasi zaman, hinggap di setiap waktu. Saya pun kecipratan waktu dididik menjadi jurnalis, saat magang di identitas. Alur didikannya terang. Metode yang mendaki, dari sekadar berjalan, kemudian berlari kecil, lalu berlari kencang, hingga melompat. Mulai dari metode wawancara, metode investigasi, metode profiling. Pemahaman mengenai deskripsi di awal - awal, saya peroleh dari Gun, "bagaimana menggambarkan putihnya seorang gadis? coba bayangkan seorang gadis putih sedang minum. lalu ketika ia minum wine, di lehernya tampak kemerahan".
Saya membaca tulisan Gun tentang sosok Gengish Khan dalam buku Halimah dari Pidie, Gengish yang tiarap badannya di hadapan musuh, di lereng - lereng tebing, tapi meninggi akalnya. Kehadiran pikiran dan keteguhan mental, tak lain adalah bentukan cerita - cerita sang Ibu tentang sosok kepahlawanan.
Ia pun selalu bercerita tentang sosok ibu dalam keluarganya, yang ibarat seperti Arsula dalam cerita Seratus Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marques. Sosok yang menaungi, yang rasional, yang hanya dia satu - satunya yang tidak terjerumus dalam kekonyolan - kekonyolan hidup, dalam pesona, getar dan ilusi negara, maupun pengetahuan. Ia seperti logos, diantara sehimpun bocah - bocah yang senang bermain api.
Sedangkan Ayahnya, adalah sosok yang menginspirasi, menjadi cermin bagaimana ia harus bergaul dengan kedua anaknya. Sang Ayah sejatinya seorang manusia, yang memperlakukan anak - anak sebagaimana mestinya, yang punya imajinasi, punya keinginan, punya dunia kecilnya sendiri.
Dan, ketika ia mempunyai anak, yang sudah dua. Gambaran ayahnya ia hidupkan kembali. Ia menjadi Ayah bagi anak-anaknya. Pasca menikah, ia meninggalkan Jakarta (Markas hidup glamour). Memilih hidup bersama keluarga kecil, bermain, membagi hidup, menjadi pandu. Ia menderita sebentar, tapi kesulitan dalam hidup itu tersapu oleh keceriaan dua buah hatinya, Chani dan Abi, yang memanggilnya sebagai Yayyah.
Katanya lagi, kalau kita sudah punya anak, berarti kita sudah selesai. Yang menjadi pemeran utama bukan lagi kita, tapi adalah anak kita. 
**
Hingga saat ini, Gunawan adalah senior yang enak diajak ngopi, asyik diajak curcol. Saat ngobrol dengan Senior satu ini, gagasan bisa jadi banyak. Pikiran bisa mekar. Apalagi jika membahas tema film. Ia adalah gudangnya.
Sepanjang pertemanan saya, Gun adalah sosok yang konsekuen. Ia punya dedication of life. Semoga saja, ketika menjadi komisioner KPU. Gun tidak berhenti menjadi manusia. Masih bisa diajak ngopi. Masih ada waktu untuk diskusi buku sastra. Masih bisa diajak makan bubur ayam. Dan masih bisa diminta filmya.






0 komentar:

Gun