semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bincang - Bincang di Pematang Tambak

Kemarin, Saya ke Takalar Lama, Kecamatan Mappakasungguh, untuk melihat ulang kondisi budidaya rumput laut gracilaria di musim hujan. Sampai di rumah Dg. Mangung, Ketua Kelompok, tempat kami biasanya berdialog tentang cara - cara budidaya rumput laut yang baik, Saya istirahat sebentar. Lumayan, dua jam lebih berkendara motor, pantat pegal, betis terasa kaku.
Dg. Mangung juga masih di tambak, dia sementara "kasih naik" gracilaria alias panen. Tak lama kemudian, Dg. Mangung datang. Setelah diskusi sebentar, kami pun sepakat untuk berjalan - jalan melihat tambak.
Saya menyempatkan bertanya, sambil berjalan di pematang, "Daeng, kenapa belum dipake itu plastik UV? Padahal sangat cocok digunakan sekarang. Hujan sedikit - sedikit, tidak perlu maki repot - repot ke tambak untuk pergi lihat dan pungut lagi rumput lautta," kataku.
"Anu Pak Idam, kencang angin," kata Dg. Mangung.
Saya tiba - tiba tersentak. Sebelumnya, saya tidak betul - betul membayangkan angin akan menghantam plastik, yang secara pertimbangan logika, dapat mengatasi kendala pengeringan di musim hujan. Dengan rumah plastik UV, rumput laut akan cepat kering, selain itu, ketika hujan, rumput laut tersebut tetap aman karena terhalangi plastik.
"Atap seng saja pak, bisa terbang," Lanjut Dg. Mangung. Kata - kata ini semakin tajam dan membongkar.
Perbincangan itu mendorong saya untuk menghitung kembali pertimbangan angin. Supaya tetap ada solusi, diantara angin, plastik uv, musim hujan, dan pengeringan.
Lalu, saya bertanya lagi, "kenapa tidak ada yang membantu bapak untuk mengeringkan rumput laut?"
"Pekerja rumput laut lagi kerja bibit padi Pak," Ucap Dg. Mangung. Sehingga, sebagian petambak lebih baik menunggu para tukang panen datang dan membantu, dibanding bekerja untuk panen sedikit demi sedikit.
Lalu, Dg. Mangung melanjutkan, lebih baik menunggu cuaca bagus saja. Kalau masih hujan sedikit sedikit seperti ini, pekerja panen juga kerjanya tidak maksimal, dan lebih banyak hari yang digunakan. Dan jika begitu, lebih banyak ongkos yang akan dikeluarkan.
Saya memaklumi, tapi saya juga membayangkan kerja teman saya di tempat lain, yang sedang merancang alat panen rumput laut. Alat panen ini sudah dicoba prototype-nya di tambak Takalar Lama, dan sudah dinamai sendiri oleh Dg. Mangung, sebagai Alpar (alat panen rumput laut). "Jadi, di Takalar sudah dua yang punya alpar, satu bupati, satu kelompok samaturu," canda Dg. Mangung.
Saya bicarakan hal ini, bahwa jika alat panen berfungsi dengan baik. Kita tak perlu lagi menunggu para pekerja panen. Dan waktu bisa lebih singkat, serta kita lebih hemat tenaga. Dg. Mangung manggut - manggut.
Dalam hati bertanya - tanya, bagaimana nasib pekerja panen? saya pun mengalami kebuntuan untuk pertanyaan jenis ini. Tapi, saya juga berfikir, bahwa alat panen adalah keniscayaan sejarah.
Di pertigaan pematang, kami bertemu lagi dengan Dg. Ngewa yang sedang mengeringkan rumput lautnya. Saya bertanya, berapa harga rumput laut sekarang? Tena baji?"
"Tena, singkamma ji harga na," kata Dg. Ngewa.
"Susah tong di', petambak ka mau tong hidup," kataku.
"Iya Pak, kalau mau mati, lama meka terjun ke sungai," timpal Dg. Ngewa.
Jika dibayang - bayangkan, kondisi masyarakat pekerja di desa ini, terbagi dua, semi proletar dan proletar, sebagian adalah petambak yang memiliki lahan, namun dengan komoditas yang dihargai sedikit. Bersamaan dengan petambak ini terdapat pekerja, yang memperoleh hasil dari bagi dua hasil panen rumput laut. Penghasilan sangat bergantung dengan kuantitas dan kualitas rumput laut dan harga rumput laut. Berikutnya adalah proletar murni, yaitu pekerja panen, yang malang melintang antar petak tambak. Memungut rupiah demi rupiah dari hasil angkut gracilaria dari atas tanah ke atas pelampung gabus/styrofoam.
Para petambak dan pekerja ini sangat bergantung pada produksi rumput laut, yang sangat bergantung dari kondisi cuaca dan kualitas air tambak. Dalam setahun, jika manajemen tambak betul - betul baik, mereka dapat panen hingga tiga kali, dengan hasil 1 - 1,5 ton/petak/hektar.
Dengan jumlah 1 ton, jika hanya dihargai Rp. 3.500 - 4.500, maka hasil kotor sekitar Rp. 3,5 - 4 juta persiklus, yang jika dibagi dengan biaya produksi tersisa 1,5 - 2 juta. Nah, jika dibagi lagi antara pekerja dan pemilik tambak (50 - 50), pekerja hanya memperoleh satu juta rupiah dalam dua bulan untuk tambak satu hektar. Berapa banyak petambak yang hanya memiliki atau mengolah lahan satu hektar atau kurang? saya kira sangat banyak.


Dengan begitu, petambak tidak punya kesempatan untuk menghasilkan akumulasi. Surplus ibaratnya seperti menunggu godot. Tak kunjung datang.
Belum lagi akses pasar yang belum moncer betul. Di samping kendala psikologis petambak, yang masih takut - takut untuk beralih ke pembeli lain, yang harganya lebih baik. Mereka cemas, jangan-jangan, ketika pindah ke pembeli lain, gracilarianya tidak lagi diambil oleh pembeli sebelumnya.
Tapi secara umum, apakah permasalahan harga ini lebih karena tidak bekerjanya hukum pasar ataukah memang ada unsur - unsur yang disengaja.
Apakah gudang - gudang di Cina dan Jepang sudah penuh? Karena itu, mereka membeli seadanya saja, sehingga dapat memengaruhi harga bahan baku? Ataukah ada rentang harga yang jauh antara harga petambak dengan harga di level industri maupun level konsumen? Apakah karena terlalu banyaknya orang pengen ikut campur, sehingga dari level produsen hingga level konsumen, keuntungan sudah dibagi - bagi.
Saya pun bertanya - tanya, siapakah yang menyuarakan kesulitan mereka? Apakah ada badan khusus yang memerhatikan suara petambak ini? Lalu, kenapa petambak tidak dapat bersatu untuk menyuarakan kondisinya sendiri?




0 komentar:

Bincang - Bincang di Pematang Tambak