semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Sawah Adat

Tiga hari ini saya berada di lingkungan petani, khususnya di dua desa adat di Enrekang, Sulawesi Selatan. Sebenarnya tujuan saya ingin belajar dari mereka tentang pengelolaan kawasan adat, yang ditandai dengan adanya tokoh adat, kelembagaan adat, kawasan adat, nilai - nilai khas, aturan - aturan serta asal usul masyarakat adat.
Tadi pagi, saya mencoba untuk turut terlibat dalam kehidupan mereka. Ikut menanam padi, sekaligus belajar menjadi pendengar. Begitu banyak informasi yang diperoleh saat wawancara sekaligus bercocok tanam. Hal ini menjadi menarik, karena saya ikut bersawah di antara petani yang masih menerapkan sistem pertanian kolektif berbasis adat Pasang. Warga pasang masih mempertahankan aturan - aturan leluhur dalam penentuan siapa dan dimana masing - masing warga dapat menggarap lahan (tidak ada warga pasang yang tidak memiliki tanah), bagaimana mekanisme pembagian hasilnya, yang umumnya dapat dinikmati secara bersama.
Namun, sekuat - kuatnya adat, masih terdapat kegelisahan - kecemasan di dalamnya. Kegelisahan anak - anak muda terkait aturan penanaman padi, yang sejak dahulu ditentukan oleh pemangku adat. "Jika kami tak mengikuti aturan, takutnya terjadi bencana. Akibat perlakuan satu orang, dapat berdampak pada banyak orang," Kata Achmad, petani Desa Pasang. Rata - rata mereka takut untuk melanggar petuah adat.
Meski ada satu dua pemuda yang mencoba untuk menanam terlebih dahulu ketika sudah ada air, mereka mendahului petunjuk dari pemangku adat. "Sudah ada yang tak mematuhi adat, yaitu mereka yang sudah sekolah di luar," lanjut Achmad.
**
Di satu sisi adat menjadi perekat masyarakat untuk selalu hidup harmonis dengan alam, serta hidup selaras sesama ummat manusia. Di sisi lain, adat dianggap sebagai penghambat gerakan produktivitas padi. Di satu sisi adat terus menerus menyegarkan pengetahuan warisan leluhur melalui pesan - pesan yang disampaian melalui upacara adat, di sisi lain telah banyak berdatangan informasi - informasi baru, yang dirasa lebih cocok dibanding pemahaman adat.
Selain itu, terdapat persoalan transformasi pengetahuan dari orang tua ke anak muda. Pengetahuan adat terinstalasi di orang tua, namun ketika orang tua meninggal, pengetahuan bisa jadi ikut ke alam baka bersama orang tua tersebut? Bagaimana anak muda dapat mencerna pengetahuan yang sumbernya dari Ilahi tersebut? apalagi pengetahuan harus diturunkan ke anak kandung atau ada hubungan genetik. Telah terdapat posisi adat yang tidak diisi oleh warga Pasang, lantaran tidak ada generasi berikutnya yang ingin memikul beban penentu/pengambil keputusan, lantaran kurangnya pengetahuan Ilahi yang mereka punya. Sehingga, hingga kini, belum ada yang berani memegang posisi penentu tersebut.
Permasalahan berikutnya adalah begitu berbedanya saat ini dan belakangan terakhir, tentang kondisi iklim. Cuaca sudah sulit ditebak. Orang orang tua masih berpangku pada pengetahuan pengetahuan leluhur, sedang saat ini bergejolak fenomena perubahan iklim. Pergeseran musim akibat pemanasan global juga mendatangi desa Pasang. Seperti apa pengetahuan leluhur mampu merespon persoalan iklim yang gonjang ganjing ini?
Bagaimana itu dapat didamaikan? Seperti apa masyarakat adat Pasang, Enrekang, dapat menemukan format yang tepat agar dapat melalui bentang waktu yang semakin lama semakin kencang? Apakah Masyarakat Pasang dapat bertahan di antara pengetahuan - pengetahuan baru? Apakah generasi muda dapat meneruskan pesan - pesan leluhur mereka, sembari tetap menerima tools - tools baru dari pengetahuan modern?
Melihat fenomena itu, saya kira adalah baik jika kita mengambil prinsip Nahdatul Ulama (NU) tentang tradisi, yaitu melanjutkan tradisi yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Al-Ma’ruf ‘urfan ka al-Masyrut Syartan : hal baik yang sudah dikenal secara kebiasaan diterima seperti halnya syarat.
Semoga dapat kembali lagi ke Desa Pasang, dan turut menikmati hasil padi yang saya turut tanam. "Orang yang ikut menanam akan ikut menikmati hasil tanam," kata Saharuddin, penggarap lahan.
"Tiga bulan ke depan, datang ki Pak, untuk ikut panen," lanjut Pak Sahar.
Saya jawab, Insya Allah Pak..

21 Januari 2019






0 komentar:

Sawah Adat