semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Pakistan, Kemujuran Menghadapi Corona, dan Keganjilan Sejarahnya

Pakistan barangkali adalah sebuah kemujuran. Pada 28 Maret 2020, terdapat 1.408 positif corona, dengan hanya 11 kasus kematian. Hal ini tentu berbeda secara signifikan dengan Indonesia, yang pada tanggal yang sama, corona telah menjangkiti 1.155 orang, dengan korban meninggal sebanyak 102 orang.
Padahal, jika dibandingkan dengan Indonesia, ekonomi Pakistan jauh di bawah, utang luar negeri tinggi, inflasi melonjak, gairah ekonomi rendah, serta kelemahan permanen infrastruktur kelembagaan ekonomi.
Secara budaya, Indonesia dan Pakistan ada kesamaan, seperti yang dilansir oleh BBC News, kasus pertama di Pakistan adalah Shaadat Khan, yang saat itu baru pulang dari umroh, celakanya, dia telah melakukan pesta syukuran dengan mengundang 600 orang. Hanya saja, setelah itu pemerintah Pakistan melakukan karantina ketat terhadap desa si korban. Tak lama setelah itu, pemerintah melakukan rapid tes ke 46 orang yang ada di desa tersebut, 39 diantaranya positif, dan 2 rekan sedesanya juga terinfeksi pasca kembali dari tanah suci. Di samping itu, pemerintah juga belum melarang warganya untuk melaksanakan shalat jumat. Spiritualitas/agama masih prioritas di sana.
Hingga 27 Maret, Pemerintah Pakistan baru melakukan tes terhadap 6000 warganya, dengan jumlah penduduk yang sangat banyak, yaitu 207 juta penduduk. Pemerintah pun belum melakukan lockdown, mengingat begitu banyak pekerja dan masyarakat kecil yang akan kesulitan keuangan jika lockdown berlangsung.
Jika dipikir-pikir, Pakistan ini, secara mental berada di bawah Indonesia, tapi terkait corona, bangsa campuran Bengali dan Punjab ini terbukti jauh lebih tangguh.
Bisa dibayangkan, setelah Saya membaca catatan panjang "Cerita dari Pakistan" dari Thariq Ali, intelektual sosialis dari negeri yang melahirkan sosok Muhammad Iqbal itu, perjalanan Pakistan sangatlah miris.
Pakistan lahir secara caesar pada 1947, dari syak wasangka para bangsawan dan tuan tanah yang berkumpul dalam Liga Muslim, organisasi yang menampung aspirasi ummat muslim di India. Orang-orang dalam perkumpulan ini, agak takut jika saja India merdeka, yang di bawah kepemimpinan Partai Kongres dan berarti didominasi oleh ummat Hindu, ummat muslim (tuan tanah) tidak akan mendapatkan tempat untuk memperkuat ekonomi mereka.
Mohammed Ali Jinnah pun demikian, entah kenapa, pengacara brilian ini, yang dielu-elukan sebagai duta persatuan Muslim-Hindu, akhirnya keluar dari Partai Kongres pada tahun 30-an, dan mengikuti insting perkumpulannya melalui Liga Muslim. Liga Muslim sendiri adalah settingan Inggris untuk mengimbangi perkembangan Partai Kongres yang lahir lebih karena kejengkelan-kejengkelan. Inggris mendekati tokoh-tokoh muslim, serta bangsawan-bangsawan dari bekas kerajaan mughal yang sudah melemah, dan mendorong Raja Muda Aga Khan, Kepala Komunitas Ismaili untuk menjadi pimpinannya. Menurut Thariq, terdapat perbedaan signifikan antara Partai Kongres dengan Liga Muslim, Partai Kongres melawan dengan cara-cara pembangkangan massal, tamsil-tamsil kuno berhasil diformulasi kembali oleh Gandhi untuk membangkitkan semangat perjuangan orang-orang di pedesaan. Sedangkan Liga Muslim tetap bertahan pada retorika dan argumentasi untuk melawan Inggris.
Jinnah sebenarnya adalah seorang kosmopolitan dan lebih berpikir sekuler. Ia lebih menginginkan ummat Muslim mendapat tempat/wilayah tersendiri dari negeri India, semacam federasi. Ia pun pernah diusulkan oleh Gandhi, untuk menjadi perdana menteri pertama India untuk menghalangi pecahnya anak benua, namun usulan Gandhi ditolak oleh pembesar-pembesar Kongres.
Jinnah dan sebagian besar ummat muslim di India, termasuk Iqbal adalah orang-orang yang selalu merindukan kejayaan Islam di masa lalu, tepatnya kekhaisaran Mughal, yang lamat-lamat hancur dan kemudian bekerjasama dengan Inggris untuk menghipnotis para petani-petani miskin. Kemudian orientasi mereka beralih ke Turki-Istambul. Mereka membayangkan ummat Islam memiliki negeri-kerajaannya sendiri. Meski, pada akhirnya, perpecahan negeri ini menimbulkan petaka, 2 juta penduduk mati sia-sia akibat kerusuhan berbasis agama, Hindu dan Muslim. Memaksa orang-orang bermigrasi, berpisah dengan tetangga-tetangga mereka yang berbeda agama.
Liga Muslim pun mempimpin Pakistan dengan persiden pertama adalah Jinnah. Lalu, ujian pertama negeri itu ketika berlangsung pemilihan propinsial pertama pada 1954. Perwakilan Liga Muslim kalah telak di Provinsi Bengali, Pakistan Timur. Partai Komunis memenangkan 4 dari 10 posisi menteri provinsi yang diperebutkan. Itu pun komunis dari keturunan Hindu. Ummat hindu di Bengali tak banyak yang melakukan migrasi waktu kerusuhan agama berlangsung. Di samping itu, kursi dewan provinsi yang diperoleh oleh orang-orang komunis mencapai 26, dua kali lebih banyak dari Liga Muslim. Namun, 2 bulan kemudian, pimpinan pusat membubarkan parlemen Pakistan Timur, tidak lama setelah pemerintah menandatangani perjanjian pakta militer bilateral Pakistan dengan Amerika Serikat.
Bukan hanya itu, Partai Komunis Bengali pun dilarang, dan orang-orang komunis digelandang, pabrik-pabrik yang dikuasai komunis digarongnya. Demokrasi pun lumpuh. Jalan yang ditempuh mau tak mau melalui tindak otoriter. Di bawah instruksi Amerika, pada 1958, Jenderal Ayyub Khan menjadi penguasa de facto di Pakistan. Pun selama 10 tahun kepemimpinannya, demokrasi mati, yang subur hanyalah perkumpulan-perkumpulan separatis agama, diantaranya Jamaat-e-Islami pimpinan Maulana Abul Ala Maududi. Jemaat ini menjadi core ortodoksi agama di Pakistan. Sejak Partai Komunis dihancurkan, orang-orang ini mengalihkan perhatiannya untuk memberangus sekte agama yang lain, seperti Ahmadiyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad.
Pada 1969 jahannam Ayyub Khan dijatuhkan oleh rakyatnya sendiri. Gerakan-gerakan revolusioner berbiak kembali dari kampus-kampus, melebar hingga ke pabrik-pabrik. Dokter, pengacara, hingga pelacur turun ke jalan menuntut demokrasi. Ayyub mundur, rakyat ke luar ke jalan menari-nari. Zulfiqar Ali Buhotto pun naik ke pucuk pimpinan. Mantan berbagai menteri ini dan pernah dipecat oleh Ayyub, dengan masa muda yang brilian, ia pernah kuliah di Universitas California, Berkeley, serta beberapa kali menjadi utusan Pakistan di dewan-dewan PBB. Pemikiran revolusionernya pun begitu menghasut, bukunya yang berjudul Myth of Independent dibaca secara rakus oleh pemuda-pemuda progresif Pakistan.
Namun, lagi-lagi, gairah itu tak berlangsung lama, berbagai blunder pun terjadi dan mengantarkan Pakistan ke gerbang duka. Dhaka, ibukota Pakistan Timur bergejolak, elit nasionalis bengali sudah muak dengan elit-elit Pakistan. Liga Awami (Partai Nasionalis Bengali) di Dhaka mendominasi perjuangan, sebagian orang-orang kiri tak begitu bergerak, karena melihat persahabatan yang baik antara Ayyub dengan China.
Banjir darah kembali terjadi beberapa saat setelah pemilihan umum partai. Liga Awami menang 90 persen di Pakistan Timur. Mestinya, Syeikh Mujibur Rahman, memimpin kabinet, sebagai pemenang Pemilu, namun lagi-lagi hal ini tidak disepakati oleh Yahya Khan (pimpinan militer). Zulfiqar bimbang dan lebih memilih bersekutu dengan Yahya. Pun kelanjutannya, pasukan-pasukan Pakistan menyerang secara brutal Pakistan Timur, mereka telah disuntikkan doktrin sentimen ras, bahwa orang Bengal adalah orang yang baru saja beralih masuk Islam, darah Hindu masih mengalir di orang-orang itu.
Tentara merangsek masuk ke kampus, mereka menembaki mahasiswa seperti menembak itik. Halaman rumput dipenuhi obat merah. Tentara memasuki asrama wanita, mereka diseret ke jalan-jalan dan diperkosa. Katanya untuk memutus gen Hindunya. Mujibur Rahman di tangkap dan dipenjara.
Dunia mengutuk, Amerika dan Cina mengancam Pakistan secara lain. India turut membantu, mengusir tentara Pakistan dari Bumi Bengali. Bangladesh lahir.
Rakyat di Punjab takjub, namun tak berbuat apa-apa, chauvinism menguasai pikiran kota itu. Mereka tak dapat menolak apa yang telah diputuskan oleh pujaannya, Zulfiqar Bhutto. Penguasa yang bimbang itu pun melakukan kesalahan yang lain, ia menunjuk Zia ul-Haq untuk menjadi jenderal Besar Pakistan. Ia tak menyangka bahwa Jenderal yang mempunyai loyalis hingga ke batas-batas, yang pengalaman militer sangat banyak, mendukung Inggris di Hindia Belanda dan membantu Pangeran Husein Yordania bebas dari Palestina. Tujuh tahun pemerintahan sosialisnya berhenti, ia dikudeta oleh Jenderal Zia. Bukan hanya itu, peti mayatnya pun disiapkan oleh Jenderal yang dalam 10 tahun pemerintahannya didukung total oleh negeri Paman Sam.
Ziaul Haq mematikan demokrasi, tapi menyuburkan pesantren-pesantren. Pada rentang 1977-1989 telah terbentuk jejaring pesantren hingga ke pelosok. Dana pendirian pesantren ini sebagian besar dari bantuan Amerika, berkat sentimen perang dingin. Amerika menginginkan, alumni pesantren yang berjumlah ribuan itu dapat menyeberang ke Afganistan, membantu Amerika untuk mengusir Soviet dan menumbangkan rezim Komunis Najibullah. Menjadi persoalan berikutnya, ketika rezim komunis tumbang di Afganistan. Pendanaan bisa saja distop. Hal ini betul-betul terjadi. Sehingga nantinya, orang-orang ini, yang tergabung dalam Thaliban dan telah menguasai Afganistan melakukan misi balas dendam kepada bekas tuannya, Amerika.
Ziaul Haq mati bersama beberapa jenderalnya. Pesawat yang ia tumpangi meledak secara tiba-tiba. Kekosongan kekuasaan ini kembali dirayakan oleh Rakyat Pakistan. Benazir Bhutto, anak dari Zulfiqar Bhutto, berhasil memikat hati rakyat Pakistan. Slogan-slogan yang ia umbar mengembalikan memori masyarakat mengenai retorika Zulfikar, pabrik untuk rakyat, tanah untuk rakyat. Namun lagi-lagi, kepemimpinan Benazir dianulir oleh Presiden Farooq Legari dengan tuduhan korupsi dan pemanfaatan wewenang oleh suaminya, yang juga menteri penanaman modal, Asif Zardari. Menteri itu ditahan meski dengan bukti-bukti dan saksi yang minim.
Setelah kalah, Benazir mengasingkan diri ke London, dan baru kembali lagi pada 2007. Tak lama setelah kampanye untuk partainya (Partai Rakyat Pakistan) untuk menghadapi pemilu 2008, ia ditembak dan akhirnya meninggal.
Partai Liga Muslim di bawah kepemimpinan Nawas Sarif kembali berkuasa pasca Benazir. Namun, tak lama kemudian terjadi lagi gejolak internal. Kudeta militer berlangsung untuk menurunkan Presiden. Nawas Sarif menunjuk Perves Musharaf sebagai pimpinan militer, yang berbuah simalakama. Kudeta militer berlangsung lagi, dan menjatuhkan Nawas dan mengangkat Musharaf.
Begitulah cerita negeri Pakistan hingga di Musharaf, yang penuh gejolak, penuh dinamika. Namun, dinamika ini hanyalah mengganti/regulasi elit, namun masyarakat tetap hidup berkekurangan. Langkah-langkah progressif untuk mensejahterahkan rakyat selalu terhenti oleh kudeta militer dan anasir-anasir dari luar. Pun langkah-langkah itu tidak begitu massif, lantaran elit masih dihinggapi semngat korupsi dan mementingkan diri sendiri. Agama pun menjadi bius masyarakat, selain itu juga menjadi penyangga ekonomi. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, Pakistan dirawat dengan baik oleh Amerika untuk kepentingan perang dingin.
**
Kembali ke Indonesia. Sejarah kita jauh berbeda dengan perjalanan panjang Pakistan. Bangsa kita direbut secara terhormat, melalui perjuangan berdarah-darah para pejuang kemerdekaan. Para birokrat-birokrat kita, diawal-awal hidup sederhana, dan pantang korupsi. Pemimpin Indonesia, Soekarno pun sangat dipuja-puja oleh rakyatnya, hingga rakyat di belahan bumi yang lain. Termasuk rakyat Pakistan, dimana Thariq Ali muda merelakan jauh-jauh bersepeda untuk mengibarkan poster "Welcome Anti-Imperialis Soekarno", ketika Soekarno melawat ke Pakistan tahun 1960.
Apa yang salah dengan penanganan birokrasi kita, hingga ketika diterpa bencana corona, kita seperti kelabakan dan lambat bergerak.
Apakah sisa-sisa semangat revolusioner 45 dalam melawan musuh Jepang dan Belanda tenggelam begitu saja, di hadapan opurtunisme Orde Baru selama 30 tahun? Atau kah memang ini adalah benih kemandulan raja-raja/bangsawan-bangsawan lama, yang dikangkangi dan menjadi kaki tangan Belanda selama berpuluh-puluh hingga beratus-ratus tahun?
Pakistan berhasil menekan jumlah kematian, dengan carut marut ekonomi yang justru jauh di bawah kita, dengan budaya kongkow-kongkow melebihi kita. Apakah kita tidak dapat melaju menekan kematian, minimal seperti Pakistan, yang begitu mujur di hadapan wabah corona.
                                Muhammad Ali Jinnah




2 komentar:

cherryblossom mengatakan...

Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
dimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802

Yaudah mengatakan...

AJOQQ agen jud! poker online terpecaya dan teraman di indonesia :)
gampang menangnya dan banyak bonusnya :)
ayo segera bergabung bersama kami hanya di AJOQQ :)
WA;+855969190856

Pakistan, Kemujuran Menghadapi Corona, dan Keganjilan Sejarahnya