semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Cina, Corona dan ‘Lompatan Jauh Ke Depan’

Negeri Panda boleh dikata berhasil mengatasi virus Corona. Strategi yang digunakan pun tidak main-main. Pertama, menahan 11 juta warga Wuhan untuk tinggal di rumah, begitu halnya warga daerah lain di Provinsi Hubai. Kedua, mobilisasi 42.000 dokter dan perawat ke Provinsi Hubai yang tenaga medisnya mulai kewalahan. Ketiga, memaksa warganya untuk mengenakan masker, yang tentu masker itu disediakan oleh Pemerintah. Serta menyediakan alat detektor pemeriksa suhu tubuh, jika suhu tubuh berada di atas 37,3 derajat celcius, maka petugas langsung melakukan tindak isolasi. Tiga strategi ini dilansir dari media Kompas.com (22/3/2020).

Apa yang dapat dipetik dari cara Cina? Tentu sudah banyak yang menjelaskan hal itu. Utamanya, hal-hal yang beraroma teknologi dan teknik penguasaan/rekayasa manusia melalui kontrol ketat negara. Tapi, apa yang perlu kita lihat? Apa yang mendasari pembangunan teknologi itu? dan apa yang mendasari pembangunan manusia yang sedemikian massif itu?

Kishore Mahbubani, dalam bukunya 'Asia Hemisfer Baru Dunia' menggambarkan itu dengan bagusnya. Katanya, Mao memang gagal dalam mendorong kemajuan ekonomi Cina, hingga tahun 1978, masyarakat Cina begitu terpuruk dan terseok-seok di hadapan barat, meski beragam industri dan infrastruktur pertanian telah dibangun. Kimia-kimia antara Hasrat dan tanggungjawab, antara mengikuti perintah dan kata hati belum selesai di level warga. Hingga rakyat dalam kondisi loyo-loyo di hadapan pekerjaan, sebab berat dan ringannya pekerjaan, dibayar dengan harga yang sama.

Tapi, apa yang dicanangkannya pada 1958, dengan 'Lompatan besar jauh ke depan' atau 'the great leap forward' justru menjadi kontraproduktif. Di satu sisi menghasilkan ekonomi yang kian terperosok dan pelecehan terhadap hak asasi manusia (karena pemaksaan kehendak yang berlebih kepada kalangan professional kota), tapi di sisi lain, generasi tua Cina jauh lebih kuat mentalnya lantaran di waktu mudanya diajak atau diajar hidup menderita di desa-desa. Pun selain itu, penduduk-penduduk desa, yang sebelumnya terkungkung oleh pikiran-pikiran feudal selama berabad-abad, mengalami revolusi pikiran akibat ideologi kerja yang didorong oleh pemuda-pemuda Mao. Bahwa setiap orang dapat maju, setiap orang adalah setara. Tiba-tiba di era berikutnya, para petani menjadi tertarik untuk merubah hidup, berbondong-bondong sekitar 150 juta orang meninggalkan cangkulnya di sawah dan memilih mengangkat palu  di kota-kota industri.    



Makanya, pasca meninggalnya pemimpin besar revolusi Cina, Mao Tse Tung pada 1976, ketika Deng Xiaoping merebut pimpinan tertinggi PKC (Partai Komunis Cina) pada 1977, Politik Pintu Terbuka yang diusung oleh Deng sebagai titik balik dari Politik Tirai Bambu dengan mudah memperoleh sambutan. Meski beberapa tahun setelahnya, Deng sempat menghadapi gonjang-ganjing oleh pukulan terakhir kader fanatik Mao, yaitu pada 1983, ketika partai Kun Chang Tang yang masih memiliki 40 juta anggota aktif melakukan pembersihan pada unsur-unsur kanan. Tapi, hal-hal seperti itu dengan cepat berlalu, apalagi ketika kaum muda Cina mulai lebih mencintai celana jeans dibandingkan poster Mao.

Meski begitu, pragmatisme Deng Xiaoping dengan anekdot, “tak peduli kucing hitam atau kucing putih, yang penting dapat menangkap tikus” tak menghalangi hirarki politik. Di Cina, liberalisasi ekonomi tidak beriringan dengan liberalisasi politik. Tuan-Tuan Cina tak mau begitu saja menyerahkan diri pada musuh, ibarat tikus pasrah pada kucing. Cina belajar banyak dari kasus Uni Soviet, Deng Xiaoping dkk tak mau mengulangi kebodohan Gorbachev, dengan glasnot dan prestorika-nya telah membuat Uni Soviet ambruk, baik secara politik maupun ekonomi.     

Sosialisme masih punya tempat di sini, bergandengan tangan dengan pasar bebas. Negara sebagai pengatur atau regulator untuk agenda bisnis, dan juga agenda melawan musuh negara. Corona adalah musuh negara. Negara memanfaatkan betul prangkat-prangkat teknologi untuk mengontrol tindakan warganya (panopticon). Mekanisme otokrasi inilah yang memperoleh momentum untuk menonjolkan diri, negara bukan hanya memperoleh bargaining untuk menjadi kuat lantaran situasi, tapi memang sudah menjadi habitus dan corona adalah salah satu medan juang untuk mengukur efektivitasnya.    

Hirarki politik ini tampaknya tidak hanya merupakan warisan dari komunisme Cina, tapi, barangkali sudah mengakar lebih dalam di berbagai kekaisaran Tiongkok di masa lalu. Polemik dan pendarahan pernah terjadi di Tiannammen pada 1989 dimana 1 juta anak muda berkumpul untuk memperingati lesunya kebebasan dan kematian Hu Yaobang, tapi saat ini barangkali sudah mulai dinikmati oleh kaum muda China. Barangkali, sejarah berdarah-darah sejak pemberontakan Boxer terhadap Beijing, perang candu, invasi jepang, revolusi kebudayaan hingga Tiannammen itu, warga Cina, apalagi anak mudanya sudah muak, hingga dimulai tahun1990-an kisah Cina menjadi lebih damai. Termasuk pada kekuasaan. Kematian Deng Xiaoping pun menjadi momentum haru pada dekade itu, se haru dekade berikutnya, saat Cina memimpin Olimpiade 2008. 

Anak muda di tahun 1990-an dengan mudah memperoleh akses terhadap pendidikan, terhadap pekerjaan, terhadap pelajaran Bahasa asing, dan kemungkinan kerja-kerja di perusahaan outsource milik Amerika, milik Korea Selatan, bahkan milik Jepang. Hal ini terus bekerjaran begitu saja, sejak Zhao Ziyang berpelukan dengan Ronald Reagan pada 1984, dihadapan para pemirsa televisi negeri Paman Sam. Atau sebelumnya, sejak Hu Yaobang menjadi tamu perdana Menteri Yasuhiro Nakasone di Tokyo pada 1983. Urusan sejarah adalah urusan sejarah (Cina pernah dibantai oleh Jepang/Peristiwa Nanking), tapi ekonomi tetaplah urusan ekonomi.    

Seperti yang dikisahkan Thomas L Friedman dalam The world is Plat, bahwa pada tahun 2004, ia menyempatkan diri ke Dalian, yang merupakan lembah silicon RRC. Di sana, anak-anak muda Cina begitu antusias untuk mengikuti kursus-kursus Bahasa Jepang, sebab, sudah cukup banyak industri Jepang yang meminta tenaga outsourcing dari Dalian ini. Membantu memproses data dari jarak jauh, membantu menghitungkan pajak jarak jauh, Cina tampaknya mengejar ketertinggalannya dari lembah silicon sungai Indus, yaitu di Bangalore, India.

Kata Friedman, kota itu dipimpin oleh mantan pimpinan universitas, yaitu Xia Deren, Cina sangat pandai memberikan jabatan sebagai penghargaan. Warisan meritokrasi Cina di jaman kekaisaran masih berakar kuat di kota itu. Saya pikir meritokrasi ini adalah salah satu kunci. Seperti diceritakan lagi oleh Mahbubani kembali, bahwa meritokrasi ini cara Barat, tapi jauh sebelumnya sudah dipraktikkan oleh para Kaisar Cina, dengan memperkenalkan sistem ujian nasional untuk merekrut pegawai-pegawai potensial untuk bekerja di istana.

Meritokrasi ini menjadi nampak lagi di masa Zhu Rongji, pasca Deng Xiaoping, dimana Zhu menantang PKC untuk memperbaiki sistem perekrutan personel dan organisasi. “Kita harus membawa demokrasi ke dalam aturan main dan berani mempromosikan dalam jajaran pemimpin baru, orang-orang yang secara public diakui oleh massa sebagai sosok yang kuat dan gigih, serta mencatat banyak prestasi politik”. Zhu ingin menerapkan meritokrasi berbasis kinerja.

Kontras dengan Uni Soviet, yang anggota politbironya rata-rata berusia 70 tahun, PKC pelan-pelan menurunkan umur rata-rata anggota politburo. Umur rata-rata pada kongres ke-12 tahun 1982 adalah 72 tahun. Menurun di kongres ke-16 tahun 2002 menjadi 60,6 tahun. Bahkan di tahun 1997, anggota politburo serentak mengundurkan diri ketika menginjak usia 70 tahun. Sedangkan di komite sentral, rata-rata sudah diisi oleh pendatang baru, dimana 98,6 persennya telah mengenyam penddidikan tinggi.

Tentu, meritokrasi tokoh-tokoh politik maupun publik ini sangat menentukan dalam pengambilan keputusan. Mesin perintah telah dipegang oleh orang-orang yang tepat. Lantas, bagaimana di negeri Indonesia? Khususnya dalam penanganan korona? Apakah pos-pos jaga pada garda terdepan pertempuran melawan korona di pimpin oleh orang yang tepat? Saya sendiri kurang tahu, atau mungkin lebih tepatnya kurang yakin. Tapi memang, secara umum, kita berbeda jauh dengan PKC dalam hal pemilihan pemimpin di masyarakat. Walaupun sudah ditempuh melalui jalur demokrasi, kadang-kadang pemimpin yang dipilih bukanlah yang terbaik. Pun setelah adanya pemimpin, tim-tim kerja yang dibentuk pun masih bernuansa feodal, karena berbasis koneksi, keluarga, dan balas budi. Intinya, semangat birokrasi kita masih melekat unsur-unsur feodal yang merusak. Berbeda dengan Cina yang belajar dari peristiwa-peristiwa besarnya, justru di Indonesia, semangat feodal justru kian tumbuh setelah pembantaian massal 1965.

Kembali lagi ke Cina, memang terdapat perkembangan dahsyat. Anak muda Cina sudah menikmati hidup di apartemen dan mendapat gaji tinggi. Namun, mereka menghabiskan waktunya untuk mengejar uang untuk membayar cicilan rumah dan ongkos gaya hidup mereka. Tak terdapat lagi pemikiran tentang reformasi politik, apalagi tentang bahaya perusakan lingkungan dan kehidupan sosial yang kian lama tidak merata.

Berdasarkan dokumentasi National Geografic edisi khusus China tahun 2008, sungai kuning atau yang dikenal sebagai Huang Ho, yang dahulu begitu disakralkan oleh penduduk Cina sebagai lambang jiwa bangsa, kini sudah menjadi kian buruk lantaran tercemar. Kini, di tengah-tengah meroketnya ekonomi Cina, air sungai kuning justru sekarat, dan tentu menjadi tragis ketika Cina ke depannya akan mengalami krisis air.

Untuk itu, dapat dikatakan bahwa betul juga Cina berhasil mengalahkan Corona, karena system otokrasi dan meritokrasinya, yang dimulai dari Politik Pintu Terbuka, serta didukung oleh mental kerja revolusi kebudayaan. Tapi Corona hanyalah salah satu musuh, masih terdapat musuh-musuh lain yang akan menjadi buahsimalakama pembangunan, yaitu air yang tercemar, polusi udara, pencemaran pertanian oleh pestisida dan pupuk kimiawi, penipisan gletser.

Untuk musuh-musuh yang semakin mengancam itu, Saya tidak tahu apakah Cina akan berhasil seperti saat melawan Corona.

**
Terbit di website rumah-kecil.com 



1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

Yaudah mengatakan...

AJOQQ agen jud! poker online terpecaya dan teraman di indonesia :)
gampang menangnya dan banyak bonusnya :)
ayo segera bergabung bersama kami hanya di AJOQQ :)
WA;+855969190856

Cina, Corona dan ‘Lompatan Jauh Ke Depan’