semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Ibrahim Malik: Cermin Tidurnya Kesadaran di Hadapan Hasrat


Mencuatnya kasus Ibrahim Malik kembali menghantam kesadaran kita. Seorang terpelajar, panutan kaum muda, yang riwayat perjalanannya ke negeri-negeri asing telah membuat iri ribuan pemuda-pemudi di Indonesia, itu telah melecehkan intelektualitasnya di hadapan hasrat. Saya membayangkan, begitu banyak pemuda yang tak menyangka, bahwa idolanya, seorang hafidz, motivator, dan pria yang tampan dan terlihat baik hati, ternyata di balik topeng malaikatnya, tersembunyi monster yang siap menerkam siapa saja.

                                  Sumber : tirto.id

Saya mengikuti perkembangan kasus ini dengan rasa was-was, sebab begitu dekatnya kebaikan dan keburukan. Saya membayangkan orang di sekitar saya, yang mungkin terlihat alim, barangkali menyembunyikan sisi-sisi kelam, dan mungkin saja telah memasang perangkap di sana sini. Saya membayangkan pula, korban-korban telah banyak berjatuhan, dan tak ada alat yang dapat mendeteksinya, korban-korban ini dagingnya telah bernanah, tulangnya telah keropos dirasuki darah, lantaran menyimpan kisah buruk, bersentuhan secara kasar dengan sosok-sosok yang sebelumnya dianggap mirip nabi.

Lantas, kenapa Ibrahim Malik bisa senekat itu? Dan seakan-akan tidak peduli/cemas terhadap dampak dari prilakunya? Baik bagi dirinya maupun bagi korban-korbannya? Hal ini memaksa saya untuk membuka buku karya Jean-Paul Sartre, yang berjudul: Seks dan Revolusi. Buku ini sudah bertahun-tahun saya beli, tapi baru kali ini saya berhasrat untuk membacanya.

Buku tersebut merupakan salah satu bagian dari karya terkenalnya, Being and Nothingness (1943), yang bercerita soal hasrat dan tersumbatnya kesadaran di hadapan tubuh. Sartre memulainya bermain-main dengan pertanyaan apakah itu hasrat seksual? Apakah hasrat ini merupakan akibat dari keberadaan organ seksual, seperti yang dibahas oleh pakar-pakar yang lain? Ataukah hasrat ini melibatkan seluruh tubuh sebagai totalitas, sedangkan kelamin hanyalah benda pasif yang tumpul yang siap bersentuhan dengan yang lain (the others), agar ia dapat merasakan tubuhnya sendiri (for itself), yang juga diperuntukkan untuk ada bagi orang lain (being-for-others)? Sartre pun memunculkan pertanyaan retorik, lantas kenapa anak-anak dapat pula memunculkan hasrat seksual di tengah belum matangnya fisiologis organ seksual dan kenapa orang tua masih memiliki hasrat seksual yang besar dimana kekuatan genitalnya yang kian menurun? Dengan begitu, Sartre berpendapat bahwa hasrat seksualitas adalah struktur penting bagi sang ada-bagi-diri-sendiri-bagi-orang-lain.

Lantas, apakah Ibrahim Malik telah menunjukkan iktikad untuk mengada untuk dirinya dan orang lain, melalui hasrat seksualitasnya, yang secara ontologis ada begitu saja dan kita tidak tahu dari mana ia berasal? Saya pikir, tindakan merengkuh badan perempuan, menindihnya di tembok, menyentuhkan kelaminnya diperut perempuan, dan ejakulasi di situ, tak lain adalah sebuah subjektivitas yang berupaya untuk memenuhi tubuhnya, bukan sekadar pemuasan kenikmatan. Sayangnya, tidak disertai cara-cara, yang membangkitkan hasrat orang lain. Ia hanya merasakan dirinya sendiri, di hadapan kenyataan-kenyataan yang mendatanginya. Sesuatu datang kepadanya, dengan tiba-tiba. Kesadaran pun sekadar menjadi horizon, menjadi latar dari situasi pemenuhan hasrat, yang barangkali bersifat transendental.

Seperti apapula kondisi hasrat, dimana kesadaran hanyalah latar dari kenyataan? Sartre mengibaratkannya serupa air yang keruh. Kesadaran yang ibaratnya air yang jernih, kemudian kejernihan itu tiba-tiba diperkeruh oleh kehadiran sesuatu yang tidak dapat diketahui, tak dapat diraba, lalu unsur-unsur pengeruh ini pun menjadi penyumbat bagi kesadaran itu sendiri. Kita pun dapat bereksperimen mengenai hal ini, ketika kita didatangi oleh hasrat, apakah kita dapat berkompromi, ataukah menjadi kaki tangan dari hasrat? Saya tidak tahu, seperti apa dalam diri Ibrahim Malik, yang diantara sekian banyak prestasinya, yang menunjukkan bahwa beliau jenius, dapat begitu terlena dan bertekuk lutut di hadapan hasrat. Mungkinkah kepintaran, intelektualitas tak selaras dengan kesadaran? Lantas, ilmu agama sebagai benteng kesadaran digunakan untuk apa?

Hasrat pada dasarnya dapat dipenuhi secara normal, ketika kita menggunakan tangan kita dengan hati-hati saat membelai tubuh perempuan secara lembut, dalam artian untuk membangkitkan hasrat. Sehingga, ketika hasrat bangkit, tubuh terbuka, kenyataan akan hasrat itu pun menjadi positif, lantaran adanya kita dapat bertemu dengan adanya orang lain. Tapi, hal pertama yang mesti disepakati, apakah hasrat kita tidak melanggar otoritas seseorang, untuk membuka diri, dan membiarkan tumbuhnya hasrat dan membiarkan kesadarannya tertidur.

Tuan Sartre telah menjelaskan esensi dari hasrat, di luar dari tafsiran normal, seperti gairah atau tindakan menuju pemuasan diri. Namun, pertanyaan tentang kenapa Ibrahim Malik demikian berani untuk mengumbar nafsunya secara beruntun di hadapan fans-fansnya atau orang-orang yang dianggap di bawah kendalinya, masih menyisakan tanda tanya. Pertanyaan ini barangkali masuk dalam arena psikologi.

Dari postingan-postingan beliau di Instagram, menampakkan diri sebagai orang bijak dan memberi petuah, ia sekaligus secara terus menerus mempertontonkan kehebatan atau prestasi yang ia peroleh. Ia selalu seorang diri, dengan latar tempat-tempat yang berbeda. Siapa yang tak kagum? Saya membayangkan pujian-pujian mengalir deras, ekspresi kekaguman pun terpancar dari wajah-wajah sumringah junior-juniornya, apalagi bagi lawan jenisnya. Kemenangan-kemenangan ini memang membuat jumawa, dan beliau berada di atas angin. Kira-kira, dalam kondisi seperti ini, apakah tidak mungkin ia memanfaatkan situasi untuk hasratnya yang lain? Di samping hasrat intelektualitasnya. 

Kitab suci dihafalnya, apakah tidak mungkin jika kerja kerasnya untuk menghafal itu lebih sebagai dorongan untuk berprestasi, need for achievement kata David McClelland? Jika seperti itu, tindak penghafalan kitab suci mungkin saja hanya dianggap sebagai instrument, semacam embel-embel untuk menambah citra diri.  

Soal ini, Saya teringat wejangan Abdul Rahman Wahid (Gusdur) dalam bukunya Islam Kosmopolitan, bahwa inti dari pengajaran Islam adalah mengerahkan kita menjadi insan kamil, dengan nafsu-nafsu yang baik atau Nafsu Almutmainnah, bukan menjadi budak dari nafsu-nafsu jahat atau Nafs Allawwamah. Nafsu yang baik itu kita peroleh jika akal berada di atas nafsu, ibarat mitos boraq, kita dapat naik ke atas, jika kita dapat mengendalikan boraq, tali kekang sebagai metode aku sadar untuk mengendalikan unsur-unsur hewan dalam diri kita.         


10 Mei 2020



1 komentar - Skip ke Kotak Komentar

Yaudah mengatakan...


main poker dengan banyak penghasilan
ayo segera hubungi kami
WA : +855969190856

Ibrahim Malik: Cermin Tidurnya Kesadaran di Hadapan Hasrat