semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Anak Kandung Pandemi

 Anggap saja pandemi Covid 19 ini adalah masa kehamilan. Dan mungkin sekarang sedang hamil tua. Entah apa yang akan dilahirkan? Mungkin saja sebuah mesin bajak, yang menginjak-injak tanah, hingga mengeras, lalu terdapat patok, membatasi ruang jejak kita. Mungkin saja burung kenari, yang cerewet, cerita tumpah di warung kopi, di pasar-pasar, tentang apa yang datang dan lari, dalam kehidupan kita.

Kita tak tahu pasti anak kandung pandemi, kita hanya mengikuti hasrat alamiah kita, tinggal di rumah, bekerja dalam kondisi was-was, dalam posisi itu, pikiran liar ataupun terkungkung itu, boleh saja ada hal-hal baru yang muncul. Seperti kerinduan akan sesuatu, mungkin pada kenangan masa kecil, mungkin tentang kampung, yang hidup dalam imajinasi-imajinasi kota kita.

Kampung, saya melihat-lihat tetangga, bunga-bunga berderet di lantai teras, digantung di dinding, kambing-kambing berkeliaran di jalanan, ayam-ayam mematuk-matuk pasir, memakan daun-daun liar. Kita tak bisa lari dari kampung? Apakah betul itu?

Tiba-tiba di masa pandemi ini kita rindu kolam, kita rindu akuarium, rumah kita yang bisu sejauh ini, yang hanya menjadi tempat tidur dan bersenggama, pun ingin mengalir, ikan-ikan dalam akuarium, dengan desiran mesin filternya membantu rumah kita untuk bergema. Tidak hanya itu, rumah di masa pandemi, meminta lebih, tak sekadar ekor ikan yang basah, tapi juga kicau burung, yang bernyanyi. Halaman pun menjadi margasatwa, bersama kodok, jangkrik, lebah, semut-semut, dan tentu nyamuk di malam hari.

Pandemi ini sedang hamil tua, entah apa yang dilahirkannya? Dalam keadaan mengandung itu, orang-orang pun memelihara pepaya, batang kelor pun ditancapkan, ada yang gali lubang untuk tanam pisang, ada yang sekadar cabai dan mentimun, yang bijinya dilempar pada tanah sekenanya.

Orang-orang pun kembali ke rumah. Hidup ceria dalam satu keluarga, entah cemara, ataukah waru, ataukah kelapa. Tapi, ada juga yang tak tahan, lantaran sering di rumah, begitu kewalahan menghadapi anak yang minta diajar, istri atau suami yang minta ditemani bicara, orang-orang ini, yang terbiasa ngobrol bersama teman kantor setiap hari, sedangkan sabtu-minggu menjadi hari keluarga, begitu gelisah, hingga tak tahan dan memilih bercerai.

Rumah yang hidup, beraroma, bukan sekadar tembok-tembok yang bicara, mengingatkan kita pada kampung. Pada kampung-kampung kita, Saya yakin kita pada dasarnya memiliki kampung, orang hidup harmoni dengan alam, orang tua-orang tua kita, ataupun nenek-nenek kita, ataupun lagi leluhur kita begitu menikmati hidup bersama tumbuhan dan hewan-hewan peliharaannya. Mereka tak membutuhkan mall, tak membutuhkan karaoke, tak membutuhkan kolam renang, tak membutuhkan diskotik, untuk mengisi jiwanya. Sebab, jiwanya telah bersatu dengan padi yang ditanamnya, dipupuknya, di airi, dan dipanen dan kemudian dimakan. Bersama telur-telur ayam, yang menetas, lalu dibiarkan bersama induk, dan setiap hari diberinya dedak basah.

Bangun pagi hari bersama matahari, dan pulang ke rumah ketika matahari terbenam. Ataupun pulang balik seharian penuh, pagi ke sawah, siang ke kebun, sore ke empang/tambak ataupun ke kandang, malam bercengkrama dengan seduhan kopi kapal api, disertai rokok kretek, sedulur-sedulur, hingga bahan cerita habis, lalu tidur pulas.

Lalu, pun ketika kita bertanya, siapakah kita sebenarnya? Dapatkah kita menjawabnya dengan fasih?

Pada masa pandemi, yang kondisi hamil tua ini, entah apa yang akan dilahirkannya? Jiwa-jiwa penurut kita yang suka meniru-niru? Merasa pintar karena sudah dapat menggunakan teknologi tinggi? Meski sebenarnya dibodohi oleh komprador-komprador yang telah memetakan bumi, mengkalkulasinya, mengukur untuk ditimbang, dan dibagi-bagi, hingga nantinya, orang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin banyak, sedulur-sedulur.

Ataukah kita kembali ke kampung, atau meski hidup di kota, tapi senang bergaya kampung, menjadikan kampung sebagai identitas resmi kita, menghidupkan gema kampung kembali, menemukan lagi akar kita, identitas kita, walau mungkin saja, apa yang kita cari itu sudah tidak ada, identitas kita itu sudah lenyap, atau sudah berubah, dimana kita hanya mencontoh-contoh saja.

**
Foto : bersama ayam ketawa yang dihadiahkan kakak ipar dari kampung di Podomoro, Luwu Timur.








0 komentar:

Anak Kandung Pandemi