semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Bertahan di Tengah Badai

Saya mengajak istri dan anak-anak berjalan di antara Sonneratia caseolaris di Taman Mangrove Semanting, Sabtu, 6 Agustus 2022. Ahimsa, yang sudah berumur 2,7 tahun pengen banget melihat Bekantan. Ia berjalan paling depan dengan menenteng kedua sendalnya. Barangkali, ada lebih sekilometer ia berjalan sambil melihat ke atas dan ke bawah, "Mana bekantan?"

Saat itu tak tampak bekantan, begitu juga monyet ekor panjang. Meski begitu, kami cukup puas dengan melangkah-langkah kecil tapi berjarak jauh. keringat tumbuh dari kulit, jantung berdebar cakap, dan rasa lelah itu sekalian melepas hari-hari yang pula penuh penat.

Terhitung delapan bulan lebih beraktivitas di Bumi Segah, kota Sanggam. Tak terhitung pelajaran yang tidak hanya dipetik, tapi juga langsung ditelan karena begitu pahitnya. Di kota inilah kita bertindak atas dasar perhitungan yang matang, walaupun banyak juga setengah matang. Di kota ini pula jika kita lambat, kita akan tertinggal, tapi jika terlalu cepat, juga akan terjatuh. Di kota ini menuntut kita untuk berdansa, maju mundur, hentak pelan dan cepat, dengan rima-rima tertentu. Jika kita lurus, akan mudah ditebas seperti batang -batang pisang, jika kita bengkok akan semakin bengkok dan akhirnya tenggelam tanpa makna. Kita harus menjadi seperti rotan, kuat tapi lentur, dan bisa juga dibengkokkan bila perlu, oleh kobaran semangat.

Di kota ini, berkumpul begitu banyak lembaga, bak jamur di musim hujan. Mereka saling mengisi dan menjaga, jangan-jangan ada kutu busuk yang bersembunyi. Menebar bau dan mencicipi darah. Kadang-kadang juga berpisah jalan, karena ini atau karena itu. Solidaritas sosial sesama pekerja sosial di sini begitu cair, seperti es batu yang sudah dari pagi terkena siraman matahari pagi. Bahkan kita dapat menanyakan kembali, apa yang sosial? apakah karena ada perekat/sumberdaya ekonomi yang mendorong orang bergerak dalam dunia sosial? Lantas, apanya yang sosial, lebih pada menolong diri sendiri, ataukah membantu/mendampingi kelompok-kelompok sosial yang tersisihkan?

Sehingga, pertanyaan-pertanyaan fundamental dapat kembali dipertanyakan. Misalnya, motif kelompok-kelompok pendamping kehidupan sosial? Seperti apa mereka memahami sisi dalam pekerjaan mereka? Pernah kah mereka bertanya pada diri sendiri apakah cara-cara mereka sudah tepat ataukah masih terdapat kekeliruan-kekeliruan? Dapatkah mereka membuka ruang untuk alternatif pemikiran? Dan tentu, apakah sebenarnya faktor yang menyebabkan mereka memangku pekerjaan sosial? Apakah karena soal kepedihan dan permasalahan sosial, atau hanya karena untuk sekadar bertanggungjawab dari pemberi dana/donor. 

Keluar dari jebakan dilema antara bekerja berdasarkan metode sosial ataupun berdasarkan metode biasa ala kadarnya yang penting disetujui donor, bisa dilakukan dengan mencari sumber-sumber pendanaan sendiri justru dari para anggota komunitas yang didampingi, misalnya petambak, sumber pendanaan justru dari petambak itu sendiri dari sisihan hasil panen mereka. Kalaupun terpaksa menggunakan dana donor, tidak serta merta garis lurus mengikuti kemauan donor, tapi sebaik-baiknya dalam pelaksanaan program itu sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan komunitas masyarakat. 

Untuk itu, memang diperlukan mental yang kuat untuk bekerja di bidang ini. Harus ada kerelaan yang besar pada dirinya sendiri untuk tulus ikhlas membantu komunitas masyarakat. Jika orang yang bekerja itu masih kepengen hidup nikmat justru dengan memanfaatkan sebesar-besarnya tugas-tugas di masyarakat itu lebih pada kepentingan diri sendiri dan kelompok, di situlah tujuan-tujuan mulia program tercemari. 

Sepertinya, hal-hal seperti ini yang kurang menjadi perhatian, sebab, cukup banyak person/pihak yang bekerja hanya atas dasar pertimbangan ekonomis dan keilmuan semata, sementara dasar pertimbangan tertinggi, yaitu moralitas justru dinafikan. Sehingga, seakan-akan, bekerja dengan masyarakat lebih bersifat bisnis masyarakat, atau lebih kasarnya memanfaatkan masyarakat. Komunitas masyarakat menjadi objek yang dinilai, dipromosikan, dicarikan dana, disumbangi uang, tapi, tidak dengan keseriusan, sehingga tidak juga begitu berdampak bagi masyarakat. 

Karena itu, semakin ke sini, semakin terlibat saya pada kompleksitas dunia lembaga swadaya masyarakat (LSM), semakin sulit kita untuk mempertahankan nilai-nilai moral yang kita peroleh lewat didikan sosial dan juga dari buku-buku. Akhirnya pun kita menjadi demikian kesepian... 

 









0 komentar:

Bertahan di Tengah Badai