semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Mengunjungi Lima Desa Budidaya Rumput Laut Alor

Sehari sebelumnya, 24 Januari 2023, bertemulah pihak-pihak yang dianggap memiliki kewenangan dan kepentingan dengan rumput laut (Seaweed). Mereka bersama-sama menyimak penuturan tentang Sustainable Livelihood, sebuah konsep yang ditawarkan oleh Yayasan WWF Indonesia. Amriana, aquaculture specialist, memaparkan sekilas, tentang kemestian area budidaya rumput laut berada di Kawasan resmi, aktivitas budidaya yang tidak merusak alam, serta memastikan rantai pasok serta kegiatan betul-betul menguntungkan masyarakat. Pada sehari itu, muncul letupan-letupan polemik, justru antara elemen pemerintahan sendiri.




Pada Rabu, 25 Januari 2023, kami terlebih dahulu ke Desa Pante Deere, lokasi ini tak jauh dari Pulau Sika, wilayah perairannya tempat seekor dugong bermain-main. Di sana kami bertemu dengan Pak Simson, ia menghubungkan kami dengan para pembudidaya, yang jumlahnya tak banyak, hanya sekitar 25 orang. Tempat kami bercakap-cakap berada di atas pasir putih, di bawah pohon Kosambi, di situ sudah disediakan beberapa kursi.

Kami pun baru tahu, ada kelompok, yang isinya dalam satu kelompok adalah satu keluarga mini, yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Rata-rata anggota kelompok-keluarga ini adalah 5 orang. Simson mengatakan, pola itu akan mencegah munculnya konflik sosial, benturan-benturan antar orang dalam kelompok. Sepertinya, daerah ini yang sedikit mendapat bantuan berupa tali pada masa awal berbudidaya. Panjang tali rata-rata 45 meter, dengan jumlah bentang antara 120 hingga 210, jika kita hitung luas area budidaya perunitnya, antara 0,3 hingga 1,6 hektar. Metode budidaya yang digunakan yaitu rawai atau longline, hal ini disebabkan pantai langsung berbatasan dengan ‘kolam’ yang dalam, hingga 7 meter.

Rumput laut diperkenalkan di Pante Deere antara 2006-2007, oleh seorang akademisi dari Kupang, yaitu Ismawan Tallo. Sepertinya pada tahun ini juga rumput laut dikenal di lokasi-lokasi lain Kab. Alor, seperti Aimoli, Bana, Pulau Lapang, Pulau Kangge, hingga Marica dan Wolu. Kira-kira, fenomena apa di Indonesia pada 2006-2007 itu, sehingga rumput laut meledak di mana-mana, hingga melingkupi kepulauan Alor-Pantar. Saya mengingat, pada 2006-2007, sebagai mahasiswa perikanan Universitas Hasanuddin, saya lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kuliah dan, mempelajari dasar-dasar akuakultur sembari aktif di beberapa organisasi, tapi saya melewatkan satu momen penting penyebaran rumput laut ke seluruh Indonesia.

Selain diperkenalkan oleh Ismawan, pembudidaya area ini juga memulainya dengan bantuan bibit dan tali dari pemerintah. Sepertinya, pemerintah Alor memberi fokus perhatian pada 20-25 pembudidaya yang rentan ini. Pada musim bagus di Desember-Maret, masing-masing unit budidaya dapat menghasilkan 200-400 kg, tapi pada kemarau, produksi menurun hanya 20-50 kg. Kendala lain yang dihadapi di Pante Deere, yaitu pemasaran. Tak banyak pembeli lokal di area itu, sehingga memberi kesan monopoli. Harga rumput laut saat itu, tidak lebih dari Rp. 23.000, sementara di daerah lain, dapat mencapai Rp. 30.000.

Besoknya, 26 Januari 2023, kami, dalam hal ini saya, Ana, Vika, Yanto, Yusrin (yanto dan Yusrin pemuda Asli Alor) mengendarai kapal penumpang berbahan kayu, dari Pelabuhan Kalabahi ke Desa Baranusa, Kec. Pantar Barat. Subuh betul kami stand by di pelabuhan, saat meninggalkan Pelabuhan, kapal berjalan santai. Kami dapat menatap-natap terjal bukit, rumah-rumah penduduk, hingga air yang memutar di pertemuan air di perairan Pulau Kecil. Perahu tiba-tiba berbelok tajam, karena di depannya ada pusaran-pusaran air. Itu pun menjadi kejutan-kejutan kecil bagi saya pribadi.
Kami tiba pukul 10.00 wita, diantar dengan mobil pick up untuk menyimpan barang di sebuah penginapan kecil dekat pantai.

Dengan pick up lagi kami menuju rumah makan, yang mungkin bisa dihitung jari di desa ini. Saat itu saya memesan fanta susu untuk minumanya, karena kepengen yang segar-segar. Setelahnya, kami naik perahu motor tiga dek lagi ke Pulau Lapang, pulau rumput laut, perjalanan ke sana menempuh kurang lebih 1 jam.

Sebelum berlabuh, kami terlebih dulu ke Kawasan rumput laut untuk mengambil gambar, rumput laut jenis sacol, yang diikat di bentangan tali sepanjang 30 depa atau 45 meter, dengan luas dalam satu unit agak kecil, dari 0,01 hingga 0,05 ha. Tapi, jumlah unit di daerah ini sangat banyak, mungkin ada antara 700 hingga 1000 unit budidaya rumput laut.

Pada siang itu, kami melihat kesibukan pembudidaya, ada yang mengangkut rumput laut dari perahu ke daratan, ada yang bergotong royong melepas rumput laut dari tali dengan system tarik di celah bambu dan ada yang menggunakan kaki dan tangan, ada yang mengeringkan rumput laut, ada yang mengikat bibit. Tak ada penduduk yang berleyeh-leyeh. Pulau yang berbatu karang itu, yang pasir-pasirnya telah ditutupi oleh tikar trochus, menjadi hjau oleh rumput laut. kita tak dapat mengajak mereka untuk ngobrol, lantaran sibuknya. Tubuh mereka berkeringat, dan wajah mengkilat.

Penampilan tidak menjadi penting, yang utama seberapa banyak uang yang akan dihasilkan dari budidaya rumput laut ini.

Menjelang sore, kami pun mengajak sebagian dari mereka untuk duduk-duduk dekat Gudang yang kurang terawat. Ana menanyakan satu persatu isi kuisioner, sementara jawaban pembudidaya menjadi hiruk pikuk. Pulau Lapang menjadi lokasi paling produktif di Kabupaten Alor. Diperkirakan terdapat 500 hingga 1000 orang yang beraktivitas di pulau ini. Mulanya, pulau ini tak berpenghuni, sejak rumput laut populer, pembudidaya dari desa-desa sekitar (Baranusa, Blangmerang, Kabir, Bana, hingga dari Merica) datang berbondong-bondong untuk membangun rumah sementara di pulau ini. Sehingga, terbentuk satu bangunan persaudaraan antar kampung, demi penghidupan dari sumber mata pencaharian yang sama, yaitu penjualan rumput laut.

Dalam satu hari saja, di hari itu, barangkali tersedia stok hingga 3-4 ton. Bagaimana tidak, dalam dua perahu yang saya lihat mengangkat sekitar 3,5 ton basah, yang dikonversi ke rumput laut kering sekitar 500 kg. Sayangnya, dalam kondisi melimpah ini bertolak belakang dengan permintaan pemeritah provinsi NTT, yang berdasarkan Pergub 39 tentang tataniaga, rumput laut NTT tak boleh keluar dari NTT. Sementara, para pembudidaya hanya menginginkan uang dari hasil budidaya, yang mereka peroleh dari pengumpul-pengumpul yang sebelumnya telah dimodali oleh perusahaan atau orang besar dari Sulawesi dan Surabaya.

Mau bagaimana lagi, aturan ini belum didukung oleh perangkat lapangan/level tapak. Mestinya, pabrik yang diajak kerjasama oleh pemerintah itu turun membangun jejaring ke level bawah, dan membeli sesuai dengan harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadinya, aturan ini membuat masyarakat bingung, dan para pelaku bisnis terpaksa main kucing-kucingan. Belum lagi harga yang ditawarkan pengumpul lokal boleh dikata cukup tinggi, yaitu Rp. 29.000-Rp. 30.000/kg kering.

Sore menjelang malam, kami meninggalkan pulau Lapang, pulau yang betul-betul memberi harapan bagi ekonomi masyarakat pesisir. Hasil dari rumput laut ini akan mereka tabung, dan bisa jadi akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sepanjang tahun. Sebab, lepas dari Maret, produksi akan menurun, lantaran lepasnya musim hujan menuju musim kemarau. Produksi rendah di musim kemarau hanya digunakan untuk bertahan hidup ala kadarnya, serta digunakan untuk penyiapan bibit secara terus menerus, agar ketika masuk ke musim hujan, rumput laut Kembali produktif dan dapat menghasilkan uang dalam jumlah melimpah lagi.

Besok pagi, 27 Januari 2023, kami melanjutkan perjalanan lagi, kali ini dengan mengendarai mobil hilux. Perjalanan melewati jalanan tanah bercampur batu dan kerikil, sehingga sepanjang jalan ke Desa Kayang, Kecamatan Pantar Barat Laut. Perjalanan ke desa itu menempuh waktu sekitar 1 jam. Kami duduk-duduk, sedikit terjepit, terguncang-guncang sepanjang jalan. Kesusahan ini ditutupi oleh pemandangan Alor yang indah, bukit-bukit di sebelah kiri, sementara hamparan laut sebelah kanan. Pulau Batang mengintai dari jauh, bayang-bayang Kepulauan Lembata tampak samar di depan. Kami tiba di rumah Pak Desa, meyimpan barang, dan langsung bergerak lagi menggunakan perahu katinting, untuk menyeberang ke Pulau Kangge.

Perahu tak sampai di daratan Pulau Kangge, mengharuskan kami turun, berjalan di sela-sela karang. Haduh.. belum lagi karangnya masih cantik-cantik. Setiba di rumah seorang POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas Perikanan), yaitu Pak Rahmat, kami duduk-duduk di bawah pohon. Pak Rahmat mengejutkan kami, dengan mengatakan bahwa rumput laut sudah tak ada di Kangge. Budidaya rumput laut menghilang sejak 2020, dan berkurang sejak 2019. Katanya, penyebabnya karena rumput laut diserang hama gerombolan ikan baronang dan juga ikan kulit pasir (Surgeon fish). Ikan-ikan ini menyerang/memanjat hingga pinggir pantai, yang disisakan hanya tali-tali saja. Akibatnya, puluhan orang sudah merantau ke Kalimantan, Malaysia dan Sulawesi Tenggara. Sumber penghidupan utama sudah lenyap, entah sampai kapan. “60 persen pembudidaya rumput laut sudah meninggalkan Pulau Kangge untuk merantau,” kata Rahmat.

Di Kangge ini, kita tidak usah bicara harga, rumput lautnya saja sudah tidak ada. Masyarakat sementara mencari penghidupan dengan mencari ikan di laut, serta berkebun di ladang. Tapi, hal itu betul-betul hanya untuk bertahan hidup. Belum lagi, bagi Bapa dan Mama yang anaknya sementara kuliah di Jawa, semakin sulit lagi hidupnya. Mantan pembudidaya yang sudah tak tahan, terpaksa merantau. Kejadian ini tidak hanya di Kangge, tapi juga di seberangnya, yaitu Desa Marica dan Wolu.

Di Marica, masih tersisa beberapa puluh pembudidaya, sementara di Wolu, rumput laut lenyap. Rumah-rumah singgah pembudidaya di daratan desa Wolu menjadi tak berpenghuni, suasananya menjadi desa mati. Kami berjalan kaki cukup jauh menyaksikan rumah rumah itu. Penghuninya sudah kembali ke rumah asalnya di bukit, bersusah-susah Kembali untuk berkebun jagung dan ubi.

Masalah hama ikan ini agak rumit, karena ikan-ikan tersebut memang hidup di habitat lamun dan karang. Ikan baronang memakan makroalga, makroalga ini memang banyak di area karang, mikroalga, hingga lamun. Rumput laut termasuk makroalga. Keberadaan rumput laut mungkin telah menyebabkan habitat lamun menjadi berkurang, atau menurut seorang responden, beberapa orang melakukan pemindahan batu-batu karang untuk dijadikan lokasi budidaya.

Mungkin karena itu, Wallahu alam, habitat lamun yang menjadi tempat makan ikan baronang diokupasi untuk budidaya rumput laut, secara natural melakukan aksi pembalasan, dengan memakan rumput laut barangkali sebagai pengganti lamun. Secara rantai makanan, keberadaan budidaya rumput laut pun akhirnya menyediakan stok pangan bagi Ikan Baronang dan Ikan Kulit Pasir, sehingga memicu genetik mereka untuk surplus dan memperbanyak diri.

Saya bertemu dengan Pak Mahmud (79) di Dusun Marica, Desa Kayang, esok harinya, 28 Januari 2023. Mulanya Pak Mahmud memohon maaf, ia bilang, hama rumput laut ini karena tingkah pembudidaya juga, yang rakus dan tidak menyisahkan barang sedikit rumput laut untuk dimangsa ikan.Mestinya, rumput-rumput laut yang jatuh/patah itu dibiarkan terbawa air kemudian dimakan ikan. Tapi, rumput laut yang patah itu diambil oleh pembudidaya untuk dikeringkan. Mahmud menambahkan, bahwa pembudidaya kurang berbagi rezeki, sehingga kena tuah. Saya cukup terkejut dengan jawaban tersebut, terasa mistis, dan di luar nalar. Tapi, untuk kasus-kasus seperti ini, kita tak dapat menyempitkan sudut pandang, justru perspektif dibuka selebar-lebarnya, dengan segala pengertian, baik ilmiah maupun yang bersifat spiritual. Bagi saya, alam punya hukumnya sendiri-sendiri, manusia bukan penentu jalannya nasib alam, tapi karang, lamun, ikan-ikan juga turut mengambil andil.

Hal-hal ini terus membayangi pikiran saya, walau sedikit terhibur dengan kegiatan snorkling sore hari saat masih di Pulau Kangge, serta mengunjungi Wetupati setelah wawancara di Dusun Merica. Kangge dan perairan sekitarnya adalah surga yang malu-malu. Kita tak akan menemukan tempat seindah ini selain di Kangge.

Pada 29 Januari 2028, kami meninggalkan Desa Kayang, dengan menumpangi mobil truk untuk perjalanan ke Baranusa, kemudian dilanjutkan dengan perahu motor 3 dek, untuk menelusuri sisi pulau menuju Desa Kabir, dari Kabir kami menumpang mobil pick up ke Desa Bana. Di Bana ini kami menyambangi rumah Pak Darsono. Saat itu Darsono sedang berada di laut. Memang, menurut keterangan istrinya, orang-orang desa banyak yang ke laut. Hari-hari rumput laut melimpah di Bana, juga desa samping-sampingnya, yaitu Munaseli dan Pindai.

Kami melakukan wawancara di kumpulan orang yang sedang mengikat bibit. Wajah-wajah mereka sumringah dengan hasil rumput laut Bana, berbeda sekali dengan wajah-wajah warga Pulau Kangge pada dua hari sebelumnya. Rumput laut pun tumbuh subur di sepanjang pantai tiga desa (Munaseli, Bana, Pindai), di habitat lamun. Kita berdoa, semoga kesuburan ini dapat berlangsung setiap tahun, pada bulan-bulan penghujan.



Pada magrib hari itu, kami Kembali ke Kalabahi, dengan menumpang perahu penumpang dari Munaseli ke Alor Kecil. Terlihat di kejauhan awan gelap, betul, di perjalanan perahu menerjang ombak. Puji Syukur kami dapat tiba dengan selamat.

Pengalaman menjelajah, selama lima hari di desa-desa pesisir Kab. Alor, tidak akan terlupakan.



Ditulis pada 4 Februari 2023




0 komentar:

Mengunjungi Lima Desa Budidaya Rumput Laut Alor