semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Minum Kopi di Paradox

 Siang itu, 6 Februari 2023, setelah menikmati Makanan Padang Persada, kami menuju hotel. Dalam kepalaku ada yang berbisik, “baiknya langsung cari tempat ngopi saja, waktu di Kupang sempit”. Makanya, setelah duduk-duduk, berbaring-baring tidak jelas selama satu jam. Saya pun turun ke lobby untuk memesan grab car, dan menuju tempat ngopi, nah, lucunya, nama tempat kopi ini sedikit unik, yaitu PARADOX.





Saya memesan es kopi volcano yang terdapat campuran gula merahnya, sengaja saya memesan ini untuk menuntaskan rindu saya dengan es kopi bakuteman Maros, atau es Koja Kopi Setia Makassar, sepertinya rasanya tak jauh-jauh amat. Saya pun mengingat pertama kali ke sini, waktu diajak Miko Raharjo, Project Leader WWF LSS yang berdomisili di Kupang, pada suatu malam yang dingin, tanggal 25 Oktober 2022 lalu. Saya kaget melihat suasananya, di samping ada MCD, dan di belakangnya ada Ramayana. Bayangan saya soal Kupang agak di belakang, ternyata sudah jauh ke depan. Saya pun berbicara dalam hati, ‘tinggal di wilayah ini hingga sepuluh tahun, saya pun rela’. Kebutuhan-kebutuhan sekunder saya untuk santai, ngobrol, bakalan terpenuhi. Tidak begitu berbeda dengan Makassar, justru lebih baik, karena jalanan belum begitu se-macet Makassar.

Saya ngobrol banyak dengan teman-teman, yaitu Vika dan Mas Haries, walaupun mereka tetap bekerja di depan laptop. Saat itu, saya tidak membuka laptop, dan membiarkan diri saya mengalir untuk mengomentari ini itu, seputar organisasi dan pergaulan orang-orang di dalamnya.

Tiba-tiba, setelah berjam-jam duduk dan ngobrol, muncul suatu pertanyaan, barangkali pertanyaan ini lahir karena perbincangan sudah mentok, sehingga lebih sebagai pemantik saja. “Tahu tidak apa arti Paradox?” Yang ditanya hanya senyum-senyum. Kemudian, saya mencoba menjelaskan, sambil membayang-bayangkan penjelasan para suhu waktu masih berstatus mahasiswa di Unhas, tentang paradox itu sendiri.

“Para artinya di pinggir, dan dox dalam artian ini adalah doxa artinya kebiasaan-kebiasaan umum. Jadi paradox adalah di pinggir kebiasaan/kelaziman umum,” jelasku. Saya mengambil contoh yang agak lucu, dengan menyebut nama teman kami yang jika disuruh a kerja b, disuruh c kerja d, nah itu bisa disebut paradox. Haries dan Vika tampak terhibur dengan penjelasan itu. Maka, jadilah istilah paradox muncul, ketika ada yang aneh-aneh, selama 3-4 hari di Kota Kupang, dengan kode, itu ‘paradox’ mas idam.

Kemudian saya merenung-renungkan lagi pekerjaan mengurus hal-hal yang berbau kehidupan masyarakat pembudidaya rumput laut dan nelayan belakangan ini. ‘Hemm.. ternyata cukup banyak paradox’. Salah satu paradox yang paling hits yaitu munculnya Peraturan Gubernur tentang tata niaga Perikanan tahun 2022, yang dalam salah satu pasalnya melarang produk kering rumput laut untuk keluar dari NTT.

Di sisi paradox-nya, sebab sudah menjadi kelaziman bagi kita sebagai mahluk zaman pasca reformasi, pasca perang dingin, pasca Bush, pasca pertarungan sengit Jokowi-Prabowo untuk membiarkan berlangsung sebuah proses tukar menukar, jual beli secara bebas, dengan taat pada asas hukum penawaran dan permintaan. Nah, kenyataannya, perusahaan yang membeli rumput laut hanya boleh beberapa saja, bisa dihitung jari, pun harus berdomisili atau membangun gudang di NTT.

Hemm.. Namanya juga paradox, berbeda dengan yang lain, pastilah memiliki motif-motif tertentu. Yah, kita maklum saja, barangkali dengan cara itu, pemerintah provinsi bisa memperoleh pemasukan lebih jelas, sistematis dan terukur, dengan embel-embel bahwa peraturan ini akan memperjelas data, sekaligus membantu peningkatan harga rumput laut di kalangan pembudidaya. Hanya saja, perlu diukur lagi, apakah peraturan ini juga bernasib baik bagi masyarakat tapak? Yang bermandi air laut tiap harinya, sembari bermandi keringat lantaran terik, oh, betapa lengketnya.

Berbicara paradox, barangkali kita sering menemuinya sehari-hari. Keanehan-keanehan lantaran berbeda dengan yang umum, atau mungkin berbeda dengan budaya asal. Seperti misalnya, saya yang berdarah Sulawesi, tentu sudah tercebur dalam kehidupan a la Sulawesi Selatan, dengan kelaziman-kelaziman umum di sana. Mungkin saja, karena itu terdapat keganjilan-keganjilan ketika berhadapan dengan situasi di luar Sulsel. Saya pun barangkali menjadi paradox di tempat-tempat yang baru.

Nah di sini, NTT, tepatnya di Alor, ada istilah baru yang populer saat ini, yaitu ‘Alor ini Pak’. Seakan-akan, boleh dikatakan, jika terdapat yang di luar, di pinggir, itu tidak masalah, karena ini adalah Alor.

Sehingga, kelaziman-kelaziman umum dalam berkomentar, dialog, mengolah tuntutan, kadang-kadang mengalami retret oleh karena pertimbangan-pertimbangan kekeluargaan, status sosial, harga diri, atau bisa pula bermakna positif dengan adanya mediasi-mediasi sosial, unsur-unsur kekerabatan yang meredem konflik-konflik terbuka. Pun secara kontradiktif, konflik menjadi diolah di dalam, suatu jejaring, yang bagi orang luar terkesan berputar-putar.

Saya tertarik dengan komentar Pendeta Gerrit Singgih Singgih walaupun dengan konteks yang lain, bahwa budaya gengsi/malu sebaiknya dikurangi (dikoreksi). Sebab, kadang-kadang, rakyat kecil harus berkorban untuk sebuah gengsi kampung atau kelompok (atau elit) bisa bertahan. Maka, katanya lagi, orang-orang kecil itu akan menjadi sapi perahan dari kekuatan-kekuatan struktur kuasa yang tidak kelihatan (invisible). Wah, legit juga komentarnya yah…

Esok harinya, Selasa, 7 Februari 2023, setelah kami beres-beres persiapan pelaksanaan Sosialisasi Ecosystem Approach to Aquaculture (EAA) di level Provinsi NTT, kami mencari coto Makassar. Kami menemukannya melalui informasi di google. Suasananya mirip warung makan coto di Makassar, penerangan yang kurang, meja kayu dengan terpal, dan kursi plastik. Saya mencicipinya, ternyata sesuai harapan, dagingnya lembut, saya mencoba membanding-bandingkan. Sepertinya coto di Kupang ini tak kalah hebat dengan coto di tempat aslinya.

Sehabis makan, saya duduk di pinggir warung sambil menikmati es pisang ijo (khas Makassar lagi). Di depan saya ada Ibu-ibu, bilang, makan di dalam saja. Saya bilang, di luar saja Bu. Ternyata ibu itu adalah pendiri warung coto ini, yang saat ini dikelola oleh anaknya. Ibu ini adalah eks penduduk kota Dili Timor-timor dulu yang aslinya dari Takalar Sulsel, yang mengungsi ke Kupang saat referendum. Kata pemilik warung coto, daging di kupang bagus-bagus, daging sapi lokal, sedangkan katanya, daging sapi yang digunakan warung coto di Makassar kebanyakan daging impor. Wah, begitu ya Bu. Pantas dagingnya enak banget.




0 komentar:

Minum Kopi di Paradox