semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Menumpangi Tol Laut, Pelajaran Menjadi Orang Biasa

 Malam itu, pukul 20.00 wita, 20 Juni 2023, kami diantar Yanto Zainudin ke pelabuhan lama, Kalabahi Alor. KM Tol Laut Sabuk Nusantara 108 sudah sandar di sana. Bapak Tua, Mama, Kaka, Nyong Nona sudah berbaris naik ke anak tangga. Bushet, kapal sudah tampak penuh dengan penumpang. Kami menuju dek dua tempat kasur para penumpang, sudah tak ada lagi kasur, kami pun turun ke dek satu, beruntung terdapat dua kasur yang masih kosong.


Yanto tampak kecapaian menenteng koper kami, tangan saya pun tegang menggendong Ahimsa sembari memanggul ransel dan menjinjing satu tas kecil. Tak terasa baju basah oleh keringat. Kapal pun akan jalan pukul 01.00 wita, wah, masih lama. Kami pun duduk-duduk di bangku buritan kapal. Nasi ayam lalapan yang dibeli saat perjalanan ke pelabuhan pun kami santap. Angin malam sepoi-sepoi membelai kami.

Setelah santap malam selesai, kami pun ke dek bawah untuk memastikan kasur tidak digunakan oleh penumpang lain. Alhamdulillah, kasur itu dijaga dengan baik oleh seorang penumpang yang berasal dari Atapupu, sebuah pelabuhan yang berbatasan dengan Atambua, Pulau Timor. Ia memang penguasa di deretan kamar tingkat itu, sebab membawa pasukan 9 orang, beserta dos, tas, dan beberapa karung beras. Mereka hendak ke Balauring untuk hajatan keluarga.

Saya pun antri di bagian tiket, haduh, untuk beli tiket pun harus berdesak-desakan. Bagaimana tidak, beli tiketnya pas di atas kapal, itu pun beberapa jam sebelum kapal berangkat. Pas giliran saya tiba, ternyata pelayanan dikhususkan untuk penumpang tujuan Baranusa, mundurlah saya untuk antri saat kapal jalan saja.

Untuk menghibur Ahimsa dan Ashim Swadeshi, kami membacakan mereka buku, sembari mengipas-ngipas mereka menggunakan kertas, lantaran pengap, sebab AC di dek bawah seperti tak sanggup mendinginkan ruangan yang padat manusia, belum lagi sampah menumpuk di tong-tong sampahnya. Aromanya tidak karuan, belum lagi dengan aroma keringat sendiri.. hehe..

Akhirnya, Ahimsa, Ashim dan Mama-nya berhasil tidur, saya pun juga mencoba untuk tidur, dengan berbagi kasur yang ukurannya 1 x 2 meter dengan Ahimsa. Pun akhirnya saya berhasil tidur sejenak di bawah kaki mereka. Kata tetangga "Haduh adek, kenapa tidur begitu".

Orang tak henti-hentinya lalu lalang, saya pun berkali-kali mengelilingi kapal ukurannya sepertiganya kapal Veri ini. Saking seringnya lalu lalang, saya mengenal muka cukup banyak penumpang. Sembari menyapanya dengan paman, bibi, mama, bapa, kaka, kalau berpapasan. Saya mengajak ngobrol beberapa orang, obrolan orang biasa, tentang tujuan, berapa jam sampai, apa agenda di kampung sana, bagaimana kondisi sekarang, saya melihat mereka tampak senang-senang saja berada dalam kapal. Tidur mereka tampak nyenyak. beberapa orang justru memilih di luar dek, sambil duduk-duduk minum kopi, merokok, memandangi laut, ngobrol, atau sekadar menghayal. Bahkan, pada subuh sebelum kapal sandar di Baranusa, saya menikmati petikan gitar kasur di belakang kami, dua anak muda sedang menyanyi lagu-lagu pop Indonesia. Karenanya, bagaimana saya bisa mengeluh akan sampah yang menumpuk dan ac yang kurang berfungsi, saat melihat raut wajah penumpang lain yang tampak santai saja, tampak menikmati perjalanan antar pulau ini.

Kami terbangun subuh hari, kapal sebentar lagi mendarat di Baranusa. Perjalanan semalam itu pun terbayar paginya dengan menyaksikan matahari terbit di balik bukit, tampak mama-mama sedang memancing ikan dengan sampan kecilnya. Terlihat pelabuhan Baranusa, penumpang Baranusa ternyata cukup banyak, tapi cukup banyak juga yang naik ke kapal untuk tujuan Balauring dan Lewoleba, atau tujuan setelahnya di Mananga, atau Naiklu, atau ke tujuan akhir, yaitu Kota Kupang.

Cukup lama kami duduk-duduk di buritan sambil sarapan sisa lalapan semalam, melihat hamparan laut, yang melintasi sisi barat Pulau Pantar, Pulau Batang dan Pulau Lapang yang mengecil, Pulau Kangge yang sudah tak terlihat, hingga kapal menyisir bagian timur utara Pulau Lembata. Dari jauh tampak bukit-bukit gersang sambung menyambung, menghayal sedikit, mirip grand canyon Amerika. Sayangnya, tak lama kemudian saya masuk lagi ke dek, kemudian keluar lagi untuk duduk menghadap ke pulau Lembata yang tak lama lagi tiba di Balauring. Kata tetangga kursi, ibu-ibu yang juga mau ke Balauring untuk agenda pesta, sempat menyaksikan puluhan lumba-lumba melompat di perairan dekat pulau Lembata. Sayang betul.

Kapal tiba di Balauring, kami betul-betul kelaparan tengah harinya. Tak ada juga penjual nasi yang naik ke kapal. Beruntung ada nona yang menjual roti lalu ada bapak yang jual kacang, jadilah kami memakan roti isi cokelat dan kacang itu. Satu jam kemudian kami lapar lagi, akhirnya mau tak mau kami membeli pop mie untuk mengganjal perut. Sebuah pelajaran untuk menyiapkan betul-betul makanan sebelum perjalanan laut via kapal Tol Laut ini. Belum lagi, pasca kami menyedot mie, air botol kami habis. Cukup lama kami menahan haus, hingga saya putuskan membeli air panas di cafe kapal, karena air botolan juga habis.

Kapal akhirnya tiba sore hari di Pelabuhan Lewoleba. Tapi, sayangnya kapal tidak bisa sandar karena ada kapal tol laut lain yang duluan sandar, kata pengumuman, kapal akan sandar pukul 19.30 wita. Wah, kami pun menunggu 2 jam lebih. Menutupi kedongkolan itu, kami menikmati senja Lewoleba yang jatuh di dekat Gunung Api Ile Ape, cahaya kemerahan menyentuh kami.

Kapal pun akhirnya sandar, orang-orang pun turun dari kapal. Lagi-lagi, kami diterjang rasa lapar dan letih. Di pelabuhan, kami menanti mobil jasa antar dari homestay, cukup lama kami menunggu, karena mobil ini ternyata digunakan untuk antar seorang tamu ke Lamalera untuk melihat tulang ikan paus. Huff.. Kami pun tiba di homestay kecil di pinggir kota Lewoleba, kota yang tenang, Ayam lalapan kembali menutup rasa lapar kami. Anak-anak pun akhirnya tertidur dengan hembusan embun dari AC, sebagai bentuk penghargaan dari kecapaian kami duduk dan berbaring dalam kapal tol laut.

Satu pengalaman berharga telah kami lewati, yaitu bertahan menikmati hidup di sebuah kapal Tol Laut yang sangat membantu orang-orang kecil, untuk menyeberangi pulau-pulau besar di NTT. Bisa dibayangkan jika tak ada kapal Tol Laut ini? berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh para penumpang, yang harus menggunakan kapal motor, dari pulau ke pulau. Dengan Tol laut, perorang hanya dikenakan biaya Rp. 8000, kalau pun melewati dua pelabuhan, hanya Rp. 12.000/orang. Kami sendiri hanya mengeluarkan Rp. 60.000 untuk 4 orang (3 orang tiket + 1 bayi) untuk perjalanan Kalabahi-Lewoleba dengan waktu tempuh 15 jam. Begitu terjangkaunya. Apalagi jika tak banyak orang, Tol Laut ini serasa hiburan istimewa bagi rakyat kecil, karena mereka bisa tidur-tidur di dek, sambil menikmati dinginnya ruangan. Belum lagi jika mereka duduk-duduk di luar dek, minum kopi sambil ngobrol, melihat buih air, atau sedang main gaple, sudah merasa berada di surga.

Ya, berada di kapal Tol Laut pada waktu menjelang lebaran idul Adha, kapal penuh rakyat timur negeri ini, menjadi hiburan sederhana bagi kami, kami pun turut merasakan menjadi orang biasa. Mau bagaimana lagi, kami memang sejatinya adalah orang biasa yang belajar menikmati sulit mudahnya semua perjalanan ini. Sungguh ini menjadi pelajaran menjadi manusia yang biasa-biasa saja, yang ternyata susah-susah gampang.










0 komentar:

Menumpangi Tol Laut, Pelajaran Menjadi Orang Biasa