semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Nelayan Lampu Malam

 

Pada 19 Agustus 2023, seorang kawan yang bekerja di salah satu pabrik Ikan di Alor mengajak untuk bertemu. Ketemulah kami di sebuah café kecil yang buka setelah pukul 18.00 wita. Ia membawakan saya daging perut ikan tuna sirip kuning, yang nantinya diolah menjadi coto tuna oleh istri saya. Asli enak banget. Pengganti itu, saya menyerahkan buku Gerundelan Peristiwa 2, ternyata dia tukang baca buku juga. Wah. Cocok sudah. 
 

Teman itu mengabarkan kalau beberapa nelayan Lembata yang ia ajak melaut-menangkap ikan di perairan Alor itu cekcok dengan nelayan lokal Alor. “bahkan hampir dipanah oleh nelayan-nelayan di sini,” katanya. Haduh, ada apa? Nelayan-nelayan itu diketahui menangkap ikan tuna dengan menggunakan lampu malam. Lampu yang bertengger di sisi kanan dan kiri bodi kapal/perahu yang biasanya kapasitas 1 ton dengan mesin ‘dalam’ dengan kekuatan 30 PK, lampu berjumlah enam dengan cahaya yang terang untuk memancing ikan. Akhirnya,tujuh kapal itu yang sebenarnya sudah dapat izin dari otoritas perikanan setempat, dengan kelengkapan surat-surat operasional tangkap, diusir dan pulang dengan palka/coolbox kosong.
 
Saat itu, saya tidak bisa memberikan saran, tapi saya berfikir untuk menelusuri fenomena ini. Kebetulan, selama beberapa hari di akhir Agustus saya bersama Yanto Zainudin ada tugas untuk membantu pelengkapan legalitas Pas Kecil nelayan di Pantai Kokar, Kelurahan Adang. Jadilah saya memperoleh informasi sedikit demi sedikit.
 
Saya bertemu dengan Muhammad Bakar, nelayan muda yang mulai beralih menjadi penangkap tuna malam, yang tentu menggunakan lampu. Dia tergiur dengan kemudahan menangkap tuna dengan penggunaan lampu ini. Saat itu, 21 Agustus 2023, ia kebetulan ada di rumahnya, siang hari, tampaknya baru bangun. Dua hari sebelumnya ia ada di perairan sekitar selatan pulau Tereweng. Hasil lumayan, bisa memperoleh 7-9 ekor. Hasil melimpah itu, karena di perairan Tereweng tak banyak yang menangkap tuna malam. Selain itu karena bulan gelap. Jika bulan terang, maka mereka umumnya menangkap di perairan Kokar atau bisa sampai 40-50 mill ke utara di sekitar laut Flores. Mereka menangkap di rumpon milik orang Bugis, yang dilakukan pada menjelang siang hingga menjelang sore. Pada mancing siang ini pun tak hanya menyasar tuna berukuran besar, tapi juga cakalang, dan ikan tuna kecil atau baby tuna, biasa disebut di Alor dengan Blang Kuning.
 
Muhammad Bakar bilang penggunaan lampu ini sudah dua tahun dipraktikkan oleh sebagian nelayan. Dengar-dengar, yang pertama kali menggunakan adalah nelayan Kabir, nelayan Kokar sepertinya belajar dari sana. Memang, lampu LED dapat menarik plankton, ikan-ikan kecil, hingga menarik ikan besar seperti tuna, yang biasa ditangkap nelayan berukuran 80-100 kilogram. Nelayan menangkap dengan menggunakan pancing ulur (handline) atau pancing tuna, dengan komponen berupa gulungan tali pancing, mata pancing, pemberat, layang-layang, dan tombak.
 
Mereka biasanya melaut pada pukul 15.00 wita dengan 6-7 bodi/perahu motor dan tiba di lokasi Selatan Tereweng pada lepas magrib. Di Kokar terdapat dua pola, pertama rombongan penangkap tuna ikut bersamanya bos atau perwakilan pengepul tuna. Mereka biasanya menetap di lokasi penangkapan hingga habis bulan gelap. Kapal pengepul ini yang memfasilitasi kebutuhan para nelayan, berupa es balok, bahan bakar, dan konsumsi dalam kegiatan operasional. Ikan yang ditangkap, langsung dikumpulkan oleh pengumpul tuna di lokasi atau dibawa ke daratan terdekat untuk ditangani. Kemudian ada yang langsung diolah, dengan memotong kepala dan memisahkan daging dari tulang serta memotong ekornya. Kemudian perwakilan pengepul segera melarung ikan itu ke Pantai Kokar untuk segera ditangani. Kepala dan tulang biasanya dijual terpisah dengan harga murah pada kampung-kampung di sepanjang jalan atau papalele/pengepul lokal di daratan dekat lokasi penangkapan. Sedangkan pola kedua, bos memberikan uang kepada nelayan untuk penyediaan kebutuhan operasional, tapi konsekuensinya, setelah ikan tertangkap, tidak boleh lama di coolbox kapal, satu dua hari harus segera pulang untuk membawanya ke pengepul untuk ditangani.
 
Muhammad Bakar sepertinya tidak peduli dengan komentar nelayan-nelayan lain, mengenai dampak dari penggunaan lampu pada pancing malam. “Bagaimana tidak ikut, hasil lebih banyak,” katanya optimis. Sejak November 2022, hingga pendalaman data dasar nelayan Kokar pada Maret 2023, sudah sering terdengar keluhan nelayan tentang penggunaan lampu malam ini. Keluhan ini datang dari nelayan tuna siang hari serta nelayan rumpon yang biasanya beroperasi subuh hari. Kata mereka, sejak adanyan nelayan tuna malam, hasil tangkapan tuna menjadi berkurang.
 
Begitu halnya saat kegiatan diskusi perikanan tangkap pada 29 Agustus 2023 di Kantor lurah Adang. Beberapa nelayan bersuara lantang untuk meminta otoritas perikanan mencarikan solusi terhadap nelayan tuna malam. Hasil penangkapan mulai menurun, mereka curiga karena penggunaan lampu di malam hari. Kata seorang nelayan, dulu juga pernah seperti itu, terdapat sebuah Perusahaan menggunakan lampu malam di rumpon yang jaraknya tak jauh dari Pantai Kokar, selama dua tahun hasil tangkapan nelayan menurun. Kata nelayan yang lain, lampu malam mempengaruhi tingkah laku ikan, ikan yang biasanya berenang di area-area tertentu di sekitar rumpon orang Bugis atau di sekitar perairan Pantai Kokar ke arah laut Flores, menjadi berkurang. Dan memang, ada beberapa nelayan yang juga menangkap ikan tuna malam di lokasi yg berdekatan dengan nelayan tuna siang.
 
Kata Muhammad Bakar lagi, kita menangkap di area yang kurang penangkap tunanya, yaitu di Selatan Tereweng, atau jika bulan terang, kami menangkap ikan di jalur biasa dengan nelayan tuna siang. Lokasi cukup jauh dari para penangkap tuna siang. Selain itu, kata pengumpul tuna, ini memang banyak orang protes, tapi kita sama-sama nelayan Alor, sama-sama mencari hidup. Ya, saya bertanya ke nelayan lain lagi, katanya, kita sebenarnya mencari jalan keluar, kalau pemerintah bisa atasi ini atau buat keputusan, kami akan mengikut. Cuma memang, kasus penggunaan lampu malam ini belum menjadi pembicaraan yang serius di sektor perikanan Alor.
 
Sebagai orang luar, yang ditugaskan untuk sementara mendampingi nelayan dalam mengurus administrasi legalitas nelayan, hanya dapat mendengar dan menghayati polemik ini. Kasus ini pun sudah didengar secara langsung oleh otoritas setempat, semoga mereka dapat menanggapi hal ini segera. Penggunaan lampu pun sejauh ingatan saya, belum begitu diatur oleh pemerintah serta secara akademik belum diukur dampaknya terhadap ekosistem perairan maupun ketersediaan Sumber Daya Ikan (SDI), yang menjadi perhatian pemerintah lebih pada penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti pukat harimau, penggunaan bom dan bius atau potas, yang dapat merusak terumbu karang.
 
Penggunaan lampu ini, saya tiba-tiba teringat dengan tulisan Florence Durney, seorang antropolog dari Arizona University US sewaktu meleiti di Lamalera pada 2017, tentang penggunaan mesin motor pada perahu pendamping perahu penombak paus sperma di Lamalera, Lembata. Penggunaan mesin motor menjadi polemik dalam citra Lamalera yang disebut tradisional. “Lah, kalau sudah menggunan mesin, berarti sudah modern,” kata stakeholoder yang tidak terlalu mengikuti perkembangan secara mendalam pada kehidupan masyarakat pemburu Paus Lamalera. Kalau sudah pakai mesin, berarti legitimasi adat dan tradisional jadi luntur, yang berarti mereka harus mengikuti perintah Pemerintah untuk tidak menangkap Paus. Tapi, menurut mereka, penggunaan mesin tidak menjadi serta merta mereka meninggalkan tradisi, itu lebih pada adaptasi terhadap perubahan jaman. Mereka lebih kompak dalam penyerapan teknologi, menimbang jumlah kru dalam perahu yang semakin berkurang, biasanya 10-12 orang, tersisa 7-8 orang saja, penggunaan mesin sangat membantu mendorong perahu dengan tenaga terbatas. Sebagian anak muda merantau ke luar pulau Lembata untuk mencari penghidupan lebih baik. Belum lagi mereka harus betul betul efektif dalam menangkap, penggunaan motor membuat penangkapan lebih efektif, mengingat zaman ini tuntutan semakin besar untuk penyediaan beras, listrik, gas, hingga biaya sekolah anak.
 
Adanya teknologi baru atau teknik baru pun tidak mendorong suatu komunitas tertentu merubah kebiasaan hidup, atau untuk kasus nelayan mengubah cara menangkap ikannya. Seperti pada komunitas nelayan Pulau Pura, Kab. Alor. Dalam jurnal Florence Durney juga “The Cost of Adaptation: A Comparative Study of Marine Protected Area Planning and Small Scale Coastal Communities in Eastern Indonesia”, menyebutkan komunitas nelayan Pura berhasil berkomitmen bersama untuk mempertahankan cara-cara menangkap ikan para pendahulu, seperti memasang bubu/perangkap dari anyaman bambu serta kegiatan menombak ikan. masih banyak nelayan komitmen tidak menggunakan jaring, karena akan berkonsekuensi pada komunitas terumbu karang yang mengelilingi Pulau Pura. Tapi, sebagian nelayan muda mulai ada yang coba-coba menggunakan jaring. Nelayan pun kompak tidak menggunakan bom, karena para tetua mereka sudah melihat sendiri dampak dari penggunaan bom, yang terjadi di area penangkapan ikan wilayah lain di Alor, yang rusak terumbu karangnya, dan tak memberikan kesempatan bagi ikan untuk memijah atau bertelur. Menurut nelayan Pura, ikan karang berupa kerapu, kakap, dan juga belut akan keluar dari persembunyiannya, ketika ada kepulan telur ikan yang dimakan oleh ikan-ikan kecil, sehingga ikan-ikan terumbu turut menghampiri. Dengan demikian mereka dapat dengan mudah menombak, atau ikan-ikan itu kemungkinan masuk ke dalam perangkap bubu.
 
Respon terhadap teknologi menjadi berbeda-beda, jika nelayan Lamarela dan Pura bergantung pada perairan sekitarnya, maka nelayan Tuna Kokar tidak begitu bergantung, tapi dapat menangkap ikan hingga jauh, ke Selatan Tereweng dan utara Pantai hingga 50 mil. Sehingga, masing-masing respon memiliki akar penjelasan kebudayaannya atau disebut sebagai jawaban terhadap teka-teki kebudayaan.
 
Lantas seperti apa masa depan perikanan tuna Kokar dengan kehadiran atau beralihnya sebagian nelayan menjadi penangkap tuna menggunakan lampu? Jujur saya tidak tahu. Jawaban dari fenomena ini bergantung pada komitmen komunitas nelayan untuk mendiskusikan soal ini secara berantai, tentu dengan keterlibatan pemerintah, dan pihak-pihak yang peduli dengan nasib nelayan.
 
28 September 2023
 

 
 




0 komentar:

Nelayan Lampu Malam