semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Rudin Prasong, Lagu Jepang dan Gerakan Islam Alor

 

Beruntung Saya dapat berdiskusi dengan Rudin Prasong, yang biasa kami sapa Ba’i, ucapan lain dari kakek untuk komunitas Masyarakat Alor. Rudin Prasong adalah ayah dari kawan Muallim ‘Chelo’ Prasong. Dia ikut duduk-duduk di di bawah tenda depan rumah, kebetulan tetangga sedang acara lamaran, jadilah orang-orang Kampung Kadelang melingkar-lingkar, bercakap-cakap sambil meneguk kopi dan mencicipi kue dadar, dan juga sirih pinang.
 
Saya mengambil kursi di dekatnya, penasaran saja dengan kedalaman pengetahuannya, selaras dengan rambut putihnya dan kerut menuanya. Percakapan dimulai tentang dua kuburan yang terletak di samping rumah. Betul, saya agak heran dengan dua tumpukan batu karang yang melingkar kecil itu. Kata Ba’i, salah satunya adalah kuburan orang Kristen yang dulu tinggal di sini sekitar tahun 60-an. Ia tewas keracunan setelah memakan kepiting berwarna hitam yang dipungut di pantai, kepiting itu tak selincah kepinting biasanya. Ia tidak tahu kepiting itu tak boleh dimakan. Sedangkan kuburan sebelahnya ia tak tahu, karena sudah ada jauh sebelumnya.
 
“Saya takut jangan sampai mama-mama pasang tungku di situ, itu kuburan,” kata Ba’i. Jadinya saya harus hati-hati memperlakukan kuburan itu, sejauh ini saya dan istri menganggapnya sekadar tumpukan batu. Haduh.
 
Kemudian saya menanyakan umurnya, dia bilang sudah 86 tahun, ia lahir tahun 1937. Katanya ia masih ingat saat Jepang tiba-tiba merayap ke Pulau Alor. “Kalau sudah ada perahu yang didayung oleh orang Jepang jauh terlihat, orang di sini menyuruh semua perempuan untuk lari cepat ke bukit,” jelas Ba’i, yang masih mengingat secara detail, walau saat itu masih berumur sekitar 5 tahun. Mulanya saya tidak begitu serius, mendengar penjelasannya ini membuat saya makin tertarik.
 
Wah, seru juga ini, Saya bisa mendengar langsung pengalaman orang tentang kedatangan Jepang di Alor. Jadinya, Ba’i melanjutkan, di kampung Kadelang ini, tak ada perempuan yang jadi korban. Berbeda dengan kampung-kampung lain, yang sangat banyak jadi korban. Tentara Nippon kita tahu membawa sejarah kelam, utamanya bagi kaum Perempuan, lebih-lebih di Pulau Jawa yang menjadi Jungun Ianfu, atau secara kasar disebut pekerja seks secara paksa.
 
Jadi, Kompeni kata Ba’i sudah lari kocar kacir bahkan saat Jepang belum tiba. Mereka banyak mengungsi ke Australia. Jepang datang dengan santainya, lalu Rudin bercerita kalau dulu ada pesawat bom kertas, suaranya cukup keras. Melemparkan ribuan kertas berjatuhan di Kota Kalabahi. Isinya tentang penguasaan Jepang atas Pulau Alor dan permintaan warga Alor untuk bekerjasama dengan Pemerintah Militer Jepang. Lalu setelah itu, Jepang pun bermarkas di daerah Moru. 
 
Lalu, muncullah eskalasi bagaimana melibatkan orang Alor dalam perang besar saat itu. Anak-anak muda pun mulai bergabung dalam organisasi HEIHO, yaitu organisasi tentara bantu berkebangsaan pribumi nusantara saat itu. Selain itu, banyak orang Alor yang dipaksa bekerja mengangkat drum minyak. “Kalau tidak kerja bakalan dipukul,” kata Ba’i Rudin. Orang-orang Alor pun tidak bisa melawan, mereka tak memiliki senjata saat itu. 
 
Bagi dirinya yang masih kanak-kanak, mulai diajari lagu Jepang. Rudin Prasong masih mengingat lagu “Otete Tsunaide..” yang judul aslinya “Kutsu Ga Naru”. Saya putarlah via youtube di handphoneku lagu tersebut. Ba'i pun menyanyikan lagu itu dengan lirik yang sempurna dengan bersemangat. “otete tsunaide… nomichi wo ikeba… minna, kawai.. kotori ni natte…” Ia juga masih mengingat lagu kebangsaan Jepang, yaitu KIMIGAYO. Lirik lagu itu menancap baik di ingatannya. Barangkali, saat menyanyikan lagu itu, ia mengenang saat-saat ia menonton anak-anak muda baris berbaris di jalan-jalan utama kota Kalabahi. Atau mungkin saja, ia ikut meniru gerakan-gerakan mereka. 
 
Perbincangan lanjut ke tema Islam, saya menanyakan kenapa kampung Kadelang ini mayoritas muslim? Ba’i menjelaskan kalau dulu banyak penghuni awalnya berasal dari Pulau Adonara. Mereka dari sananya sudah Islam. Termasuk leluhur Rudin Prasong. Sementara, islamisasi Adonara sendiri kata Ba’i Rudin berasal dari orang-orang di Sulawesi-Makassar. Ini cerita yang agak berbeda dengan daerah-daerah lain, seperti Alor Kecil, Alor Besar, Alila, Pantar Barat, Pandai, yang proses islamisasinya jauh sebelumnya saat kedatangan Muhtar Likur dan lima ulama Gogo dari Ternate, yang dilanjutkan oleh pedagang-pedagang islam dari Jazirah Sulawesi.
 
Perbincangan terhenti di situ, kemudian lanjut lagi tadi menjelang siang, saat duduk-duduk depan rumah. Ia bercerita tentang ayahnya yang bernama Hamid Prasong, yang juga pengurus Partai Syarikat Islam (PSI) Alor. Saat itu, di tahun 30-an, PSI yang dalam artian ini beraliran putih (PSI Putih pimpinan H. Agus Salim dkk yang didukung oleh pendirinya, Cokroaminoto) banyak bergerak melakukan pengislaman orang Alor. Apalagi setelah kedatangan Abdurrahim Daeng Matorang, aktivis dari Makassar yang tiba di Baranusa dan disambut dengan Tarian Galasoro (tari perang) oleh ummat Islam di sana. Matorang dikagumi oleh Ba’i Rudin, dan juga Bapak Abdurrahman yang juga ada saat kami berdiskusi, karena kecerdasan dan keteguhan prinsipnya. 
 
Kata Abdurrahman, seorang tokoh Kadelang pensiunan mantan Asisten III Pemda Alor, mengatakan bahwa daerah Wolwal dan Maewal sekitaran Kecamatan Moru itu justru di Islamkan oleh PSI. Hanya saja, dilanjutkan oleh Ba’i Rudin, kenapa dulu penyebaran Islam tidak begitu lancar, karena ketatnya kontrol Belanda. Rapat-rapat PSI dijaga dengan ketat. Cukup banyak mata-mata Belanda saat itu. Selain itu, penyebar Islam tak memiliki kendaraan untuk mengabarkan Islam hingga ke atas bukit. PSI saat itu betul-betul berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan paling serius dalam perjuangan mengusir penjajah dari tanah Alor. Makanya gerakan-gerakan mereka selalu dicurigai. 
 
Sebelum kedatangan Daeng Matorang, telah berkembang SI Merah yang bermarkas di Dulolong, yang sebelumnya berpusat di Kalabahi, namun mendapat kontrol ketat dari Kompeni, juga dari dewan adat dan Kerajaan yang agak khawatir dengan aktivitas para radikalis Islam Merah ini. Islam Merah yang dimaksud, yaitu ajaran dari Datuk Batuah, interniran dari Minangkabau, yang mendorong perpaduan ajaran Islam dan sosialisme-marxisme. Kedatangan Daeng Matorang sendiri sebagai agenda “penyadar” SI Merah. Setelah salah satu aktivis Alor datang ke Makassar, yaitu H. Dasing (yang lebih ke SI Merah) melapor keadaan gerakan Islam Alor ke Makassar untuk mencari solusi, yang saat itu bertemu M. Tajuddin Noor (pengurus SI Makassar). Tajuddin khawatir dengan perkembangan SI Merah, makanya diutuslah Abdurrahim Daeng Matorang ke Alor. 
 
Daeng Matorang bersama Ustad Mansyur dari Cirebon dua tahun bermukim di Dulolong untuk penyadaran orang-orang Dulolong untuk bergabung pada SI putih. Namun, Dulolong tidak berhasil dilunakkan, itulah karenanya ia bergeser ke Baranusa. Informasi ini diperoleh dari tulisan Saidi Abdullah Xinalecky di AnyerGlobe, yang berjudul “Sejarah Pergerakan: Api Revolusi dari Pulau Kecil di Timor”.
Lebih lanjut lagi, saya bertanya ke bapa-bapa tua itu, sekarang seperti apa perkembangan PSI? Ba’i Prasong menjawab, sejak orde baru PSI yang menjadi PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dilebur menjadi satu partai Islam, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Gerakan PPP pun pada masa Soeharto selalu dikebiri, seperti cerita di Wetabua, orang-orang di sana justru disuruh memilih di luar Wetabua, yang menyebabkan tetap Golkar lah yang menang di daerah itu.
 
Saya tiba-tiba mengingat percakapan dengan Sabara Nurudin, waktu ia di Alor beberapa hari lalu, kalau banyak orang Kalabahi yang pada pemilu sebelumnya tetap memilih PSII, walaupun sudah tidak mengenal PSII jaman sekarang. Memorinya tentang PSI masih sangat membekas.
 
Akhirnya perbincangan pun selesai, dengan kesan yang mendalam mengenai perjuangan Islam di Alor, yang sepertinya cukup kuat menancap. Dari sini saya mulai mengerti tentang gelombang Islam baru yang dihembuskan oleh PSI, jauh setelah Islam yang dibawa oleh Kerajaan Ternate dan Pedagang Makassar.
 
24 September 2023
 

 





0 komentar:

Rudin Prasong, Lagu Jepang dan Gerakan Islam Alor