semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Salakan dan Pertemuan-Pertemuan

Angin malam menyapa kami di Pelabuhan Kota Salakan, Banggai Kepulauan, Jumat, 28 Juni 2024. Turun bersama kami tiga koper, tiga boks pakaian, lima paket dalam kardus, serta sebuah tas jinjing besar berisi buku, dua tas ransel dan sekarung beras. Beruntung, pemindahan barang-barang ini dari Pelabuhan Rakyat Luwuk ke Pelabuhan Salakan hanya dengan ongkos buruh, tak banyak, Rp. 250.000 totalnya.

Di Salakan kami menetap di sebuah kamar kos yang terletak di tengah tanjakan dari pinggir laut. Ketika membuka pintu belakang, tampak rumah-rumah di antara lembah dan bukit. Apalagi subuh atau malam hari, lampu-lampu rumah tampak indah serupa kunang-kunang. Di depan rumah, kami dapat melihat langsung laut di bawah bukit, beserta delta yang berjejer rumah-rumah gantung (di atas air di pinggir laut) milik orang Bajo.

Mulanya kami berpikir untuk memasang AC, tapi angin laut dan angin dari gunung secara bergantian melewati pintu kami, jadilah kami hanya membeli kipas angin kecil, lantaran Ahimsa terbiasa menggunakan kipas angin ketika di rumah Alor.

Kami mulai terbiasa, pagi hari berjalan menuruni tanjakan untuk membeli ikan di bale-bale pinggir jalan, tak jauh dari kamar kos. Rupanya, saban pagi perahu motor nelayan sandar di dekat situ, kemudian ibu-ibu menjual beragam jenis ikan, ikan kadompe atau selar tampak dominan, bersama ikan layang dan ikan teri. Punya uang Rp. 10.000, kita sudah dapat mengantongi 5-7 ikan kadompe.

Sementara untuk membeli sayur, kami harus ke pasar. Minggu pertama kami bolak-balik pasar menggunakan bentor (becak motor), di dalam bentor, selalu muncul perasaan istimewa, serupa wisatawan yang diantar keliling kota. Setiba di pasar, kami pun menemukan kangkung dengan batang yang besar, barangkali kangkung rawa dan harga tempe yang dua kali lipat harga tempe Alor. Sepertinya sayur di pasar ini banyak didatangkan dari daratan Luwuk Banggai.

Setiba di Salakan, ternyata Blue Alliance juga sudah menyiapkan kantor, letaknya tak jauh dari kamar kos. karena itu setiap hari kerja saya bolak balik kantor dengan berjalan kaki. Lumayan berjalan melandai turun kemudian melewati pendakian menuju jalan Tokoluan menuju kantor. Pernah satu kali bolak balik, mengharuskan saya tidur sebentar, karena tiba-tiba pengen tidur. Kantor kami tampak rapi, baru saja selesai dicat. Pemandangan di depan kantor juga tak kalah indah, sebab terletak di dataran tinggi, sebagian kota Salakan bersama hamparan laut dapat kita saksikan.

Minggu, 6 Juli 2024, saya bersama istri dan anak-anak mengendarai motor ke Desa Ambelang, ke rumah gantung milik Erni Aladjai. Sekitar 25 menit setelah jalur dua kota, melewati tebing yang rimbun. Dari sini saya menduga sisi bukit Pulau Peleng masih banyak yang dirimbuni pepohonan alami, di samping tanaman perkebunan seperti cengkeh, cokelat dan pala, sedangkan pepohonan kelapa pada lahan dekat pantai.

Senang bisa bertemu dengan Erni, setelah sekian lama. Dia tampak hidup bersahaja bersama buah hatinya, Welang, di sebuah rumah gantung kecil pinggir pantai, dekat Teluk Ambelang. Di situ juga ada kak Cupe, suami Erni, yang baru beberapa bulan datang dari Jakarta. Kami pun berbincang hangat, seputar orang laut, tepatnya orang Bajo. Apalagi di rumah itu ada buku "Orang Bajo" karya Francois Robert Sacot.

Kata Kak Cupe, orang tua orang Bajo tidak lagi serius mengajarkan anaknya mencari hidup di laut. Anak-anak dibiarkan sekolah dengan baik untuk masa depan yang lebih cerah di darat. "Kenapa begitu?" tanya saya. Kak Cupe bilang, orang tua Bajo sudah merasakan sulitnya hidup sebagai orang laut. Mereka berharap hidup anak-anaknya jauh lebih mudah.

Kak Cupe memperkenalkan saya dengan Ato, seorang penangkap kepiting Desa Ambelang yang juga orang Bajo. Berbincanglah kami bertiga. Mulanya tentang kepiting bakau, Ato rutin memasang bubu atau perangkap kepiting di pinggir-pinggir pepohonan bakau, berangkat pukul 09.00 atau 10.00 dan kembali pukul 14.00-15.00. Biasanya dengan sekeranjang kepiting. Beruntung, ia dapat hidup dari kepiting, yang penjualannya lancar di Kota Salakan. Sepertinya cukup untuk menghidupi istri dan ketujuh anaknya.

Sejak sembilan tahun lalu, Ato rutin menanam bibit bakau di Teluk Ambelang, "Orang Burung Indonesia (LSM) sudah pigi lihat," kata Ato. Karena itu, ia biasa diundang ke Salakan untuk bicara tentang kehidupan Orang Bajo di laut.

Saya penasaran dengan kehidupan Ato sebelum mencari kepiting. Ternyata penuh lika-liku. Ato di tahun 80-an akhir hingga 1991 masih aktif mengebom ikan. "Bagaimana tidak, orang-orang tua di sini juga seperti itu. Ada juga yang sudah putus tangan karena bom," kata Ato. Saat itu, ia masih muda, sekadar ikut-ikut orang mengebom. "Bagaimana tidak, satu kali mengebom kita bisa dapat uang sampai 13 juta," ujarnya. Ato mengebom perairan daerah terumbu yang banyak ikan kakap dan ikan baubara/ikan kue-nya. "bom diletakkan sekitar tiga depa sebelum dasar, di situ efeknya bisa ke atas, bawah dan samping," ungkapnya.

"Sebenarnya kita takut-takut juga, karena biasa ada patroli. Cuma kami ada kode, sehingga selalu selamat dari patroli," kata Ato.

Selepas dari itu, Ato ikut kapal penangkap teripang dari Pulau Barang Lompo, Makassar. Lama ia berprofesi sebagai penyelam untuk mengambil teripang, hingga di perairan NTT dan batas Australia. Ia menyelam hanya dengan bantuan kompressor untuk bernafas. "Dari tujuh orang rekan penyelamnya, cuma saya yang masih hidup. Saya juga pernah mengalami keram pada kaki, tapi cuma satu minggu sudah sembuh," kata Ato.

Ato lanjut cerita pengalamannya menjadi buruh sawit di Nunukan. Ternyata ia korban human trafficking-penjualan manusia. Karena ia bekerja dengan upah sangat rendah. Karena itu, ia bersama adiknya dan enam rekan lainnya lari dari perkebunan dengan hanya memakan beras mentah sepanjang perjalanan.

Ato banyak cerita, dan bakalan banyak lagi jika saya bertemu lagi dengannya nanti. Seperti kisah penemuan benda-benda pusaka, yang coba nanti saya gali. Pertemuan dengan Ato ini menjadi pintu pembuka pertemuan saya dengan Orang Bajo beserta cerita-cerita yang terkait dengannya, termasuk kisah pengebom ikan, yang tentu masih marak di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut. Beruntung saja Ato berhasil lepas, lantaran sudah menemukan entitas bisnis yang tepat, yaitu berjualan kepiting bakau, di samping kepeduliannya untuk menanam mangrove selama 9 tahun terakhir. Alasannya sederhana, dengan adanya hutan mangrove, kepiting juga bertambah banyak.

Pengeboman ikan sudah dimulai sejak tahun 1980-an, bahkan mungkin sejak 1970-an. Itu juga dikatakan seorang Bajo yang saya temui di Desa Bongganan. Ia juga sudah pensiun sejak 2012, lantaran bahan baku bom jualannya berupa pupuk matahari itu digunakan temannya untuk mengebom ikan, namun meledak dan temannya meninggal di tempat. Ia berhenti karena trauma. Tetangga rumahnya juga saat itu meninggal lantaran bom meledak saat dibuatnya di dalam rumah.

Saya sempat menanyakan apa alasan orang Bajo melakukan pengeboman ikan? Ia cuma bilang, itu cara yang paling cepat untuk mendapatkan uang. Orang Bajo katanya belajar dari pendatang Bajo dari daerah lain yang kemudian menjadi pengumpul di daerah situ. "Coba perhatikan di Bongganan ini, penjual-penjual tidak ada orang Bajo, rata-rata orang Buton atau Bugis," katanya. Uang dari penangkapan ikan langsung dipakai belanja di warung dan untuk menyiapkan makanan porsi lengkap dari hari ke hari, kemudian uang habis. "Orang Bajo terbiasa makan dengan banyak lauk," ujarnya. Ia pun mengkonfirmasi, pola pikir umum nelayan, kalau ikan masih bisa diperoleh esok hari, maka hasil tangkapan hari ini habis juga di hari ini, sederhananya begitu.

Malam itu kami makan besar, Kak Wahyu belanjar ikan segar di pasar, lalu dibakar oleh teman kami bernama Sam. Ikut pula seorang muda Bajo, yang dipanggil ustad, ia sudah gabung dalam Jamaah Tabliq. Sepertinya kehidupan mabok-mabok sudah ia tanggalkan.

Menurut paman itu, cara menangani pengebom ini harus dengan pendekatan hukum, sebab rata-rata orang takut ditangkap. Dan memang sudah banyak yang berhenti karena trauma atau sudah ditangkap.

Kisah berbeda saya dengar dari Amran, pegiat wisata pengamatan burung di Patukuki, Kecamatan Peling Tengah, Jumat, 12 Juli 2024. Amran ini adalah salah satu anak muda pejuang lingkungan di Bangkep, ia sengaja membeli lahan untuk dibiarkannya menjadi hutan. Ia takut jika dibeli orang lain, akan lahan akan dijadikan kebun. "Jika jadi kebun semua, burung-burung akan tidak terlihat lagi," kata Amran, yang juga salah satu champion Burung Indonesia.

Di kampung Amran, terdapat seorang nelayan yang mantan pengebom ikan, tapi sejak 2020 sudah menjadi penentang bom ikan dan ditakuti oleh perusak laut. Ia disapa Om Ua. Ia berubah sejak menjadi anggota Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dan disadarkan oleh pihak desa Kayu Bunga.

Sepertinya, dari kisah-kisah kecil ini, banyak jalan menuju kesadaran dan perubahan prilaku, ada yang melalui perasaan bersalah dan trauma, ada yang sadar setelah tergugah gerakan agama, ada yang sadar dengan bujukan aparat desa dan pemberian peran, dan mungkin juga ada yang sadar setelah ditangkap. Meski begitu, kata rekan kantor, ada juga yang tak sadar-sadar, walau sudah pernah di penjara.

Memang, tantangan terbesar pengelolaan laut di kawasan Perlindungan Laut Banggai (Banggai Kepulauan dan Banggai Laut) ini yaitu ancaman perusakan oleh pengebom ikan serta pembius ikan. Menurut Om Hero, Blue Alliance, pengelolaan laut tidak akan efektif jika ancaman terhadap laut tidak berkurang. Itulah sebabnya, perlu dibentuk komite perlindungan laut dengan melibatkan jajaran pemerintahan provinsi Sulawesi Tengah hingga ke level desa.

Demikianlah cerita saya selama bergaul di Salakan dan melakukan tes drive ke Ambelang dan Patukuki. Bertemu orang-orang hebat, baik dari kalangan LSM seperti Blue Alliance dan Burung Indonesia, serta tokoh-tokoh masyarakat seperti Ato dan Amran.

Selamat datang di Kota Salakan, Banggai Kepulauan. Jadi turut bangga jaga Bangkep. 

 


 





0 komentar:

Salakan dan Pertemuan-Pertemuan