Sebelum meninggalkan Alor, Rabu, 15 Mei 2024 itu, saya menyempatkan diri untuk ziarah ke makam Sultan Alamudin, yang bertempat di Pulau Sika, pulau kecil tak berpenghuni yang dekat dengan Bandara Mali, Kab. alor.
Saat itu juga diskusi panjang dengan juru kunci makam, yaitu Bapak Onesimus La’a, yang juga menjadi sahabat Dugong/Mawar yang berkeliaran di perairan Mali.
Banyak cerita tentang sosok Alamudin atau Alamuddin, atau Alaudin ini. Versinya pun bukan satu, ada yang mengatakan dia datang ke pantai Mali hanya kepalanya saja, ada yang bilang sudah bentuk fisiknya, ada yang bilang dalam bentuk gaibnya yang tiba bersama sebongkah kayu.
Makam ini salah satu makam yang dikeramatkan, dan tentu banyak cerita tentang kasus-kasus berkenaan dengan makam ini. Seperti kisah berkembangnya budidaya padi yang kemudian musnah, kisah peperangan dengan orang gunung, kisah tragedi dan kematian. Kata Bapa Onesimus, ”Desa Mali dulu namanya Pamali, tapi tahun 70-an diganti jadi Desa Mali. Itu karena makam ini”.
Saya sendiri jauh sebelumnya sempat mengucap dalam hati untuk ziarah ke makam ini sebelum meninggalkan Alor. Dua kali sebelumnya gagal, pertama saat wisata Dugong pada Januari 2024, rencana awalnya langsung ke Makam, tapi pihak kapal tidak berkeinginan ke sana. Kedua, ketika tanam mangrove di Pantai Mali, saya berfikir akan menyeberang ke Sika untuk tanam Mangrove di dekat makam.
Lantaran itu, saya sudah putus asa karena tidak ada kesempatan ke makam, lantaran hari-hari sebulan sebelum meninggalkan Alor cukup banyak kesibukan. Nah, beruntung, pada hari terakhir kegiatan Centre of Excellence Untrib-WWF dilaksanakan di Pulau Sika. Jadilah saya ada sempat ke sana, walaupun sempat tertinggal perahu lantaran terlambat sekian menit. Akhirnya menumpangi perahu yang mengantar makanan ke sana.
Sesampai di Pulau yang sudah ramai oleh peserta pelatihan, Bapa One memberikan saya kunci makam, jadilah saya berlama-lama di makam sembari membacakan salawat dan surah surah pendek. Kata Pak One, Sultan Alamudin ini dulunya adalah murid Sunan Kalijogo, dan merupakan ulama dari Kerajaan Menanga, yang terletak di Lamakera, Pulau Solor. Kerajaan Menanga sendiri adalah benteng Islam dari Portugis yang sudah menancapkan pengaruhnya hingga ke Flores Timur, Larantuka.
Ketika kembali ke daratan Mali, saya kembali menumpangi perahu yang membawa panci dan peralatan makanan. Dalam perjalanan, perahu oleng seperti ditabrak benda keras sehingga bergetar hebat. Ternyata perahu ditabrak oleh Mawar-Dugong, Mawar lalu berenang mengikuti perahu dari belakang, sebelum menyelam dan hilang. Saya pun senyum-senyum tipis, barangkali beginilah cara Alor untuk melepas dan melambaikan tangan. Selamat pulang dan bertugas di tempat yang baru.
Malamnya kami pun meninggalkan Alor dengan menumpangi Tol Laut 108 menuju Lewoleba.
0 komentar:
Posting Komentar