semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Nelayan dan Titik Balik Perubahan

 

Selepas ibadah sholat Jumat, (19 Juli 2024), saya dan Idham Farsa mengunjungi rumah kenalan yang merupakan seorang Bajo Bongganan, yang terletak dekat Pasar Salakan, Banggai Kepulauan. Mulanya kami hendak ditemani seorang wartawan setempat, namun dari pagi belum balas watshapp. Setelah memarkir motor honda, dan berjalan menuju jalan gantung, kami berpapasan dengan penghuni rumah. Ia pun mengajak kami ke halaman belakang rumah gantungnya, di situ kami duduk-duduk sambil memandang laut.
 
Belum lama berlalu, datang dua warga lain, yang tampaknya baru pulang dari masjid. Kami pun memulai basa-basi pengantar obrolan. Seorang diantaranya, tampak lebih senior, mengira kami petugas pemerintah bidang perikanan, ia pun mulai gerundel kalau nelayan di kampung itu jarang mendapat perhatian pemerintah, nelayan kesulitan karena sarana perahu kecil dan daya tangkap ikan yang terbatas, dan kalah saing dengan nelayan-nelayan pendatang dari ‘selatan’.
 
Kami menunggu dan mendengarkan, hingga mereka tahu, kalau kami datang hanya untuk ngobrol, bukan untuk menjanjikan sesuatu. Perbincangan pun menjadi lebih santai. Mulanya kami mendiskusikan perbedaan antara Malaysia dan Indonesia, kebetulan satu diantaranya pernah merantau di Malaysia, selama tujuh tahun. “Di Malaysia itu tanah perkebunan dikelola negara, sehingga orientasinya tidak sekadar mencari untung, tapi juga untuk mensejahterahkan penduduknya,” katanya. Saat itu, tahun 2000-an, orang bekerja satu hari digaji sekitar Rp. 75.000, sementara di Banggai masih seputar 10.000. Begitu jauh bedanya. Nilai uang antara Malaysia dan Indonesia yaitu 1 banding 3 atau 1 ringgit sama dengan Rp. 3000. Sejauh pekerja migran pintar menyimpan uang, pasti bakalan membawa uang banyak saat kembali ke Indonesia.
 
“Waktu pulang, setiap malam anak muda di sini saya traktir minum. Saya bangun rumah, lalu menikah, itupun uang tidak habis,” katanya. Saya terkesima mendengarnya. Begitu kontras, saya melihatnya saat itu dengan mengenakan gamis, potongan celana cingkrang, ada tanda hitam di dahi. Cerita berlanjut tentang ‘minum-minum’. Nelayan yang lebih muda (usia sekitar 35 tahun) angkat bicara, ia baru saja tobat dari alkohol, sekitar enam bulan lalu. Tapi ia masih tak dapat dihubungi, lantaran tidak memiliki handphone, akibat tergadai akibat terdesak untuk mabuk. “Saya mulai suka mabuk karena ada penyebabnya. Tidak ada manusia yang jahat, cuma keadaan yang membuat orang menjadi begitu,” ujarnya. Ia kecewa dengan teman pimpinan tempatnya berdinas, dan merasa dunia tidak seadil yang ia pikirkan. Ia pun frustasi dan memberontak. Saya pun tiba-tiba teringat film Joker. Ia baru berhenti minum, setelah mengikuti ajaran Jamaah Tabliq, dan mulai membagi orientasi, tidak sekadar orientasi dunia, tapi juga orientasi akhirat. Ceramah-ceramah ustad-nya sepertinya betul-betul tertancap di kesadarannya.
 
Lanjut lagi penghuni rumah bicara, “Saya berhenti minum pada usia 38 tahun. Kejadiannya tiba-tiba saja,” katanya. Ia termenung setelah mendengar ucapan sahabatnya yang juga nelayan saat duduk-duduk ngobrol, untuk memperbaiki diri sebelum usia 40 tahun. Kata-kata temannya itu ia renungkan terus, hingga ia akhirnya memutuskan untuk berhenti minum. Sebelumnya, ia tak lelah-lelah mengkonsumsi ‘cap tikus’ dan lain-lain, bersama teman-temannya sesama buruh pelabuhan dan lingkungan nelayan Bongganan. Akhirnya ia tersadar, sampai kapan begini terus, akhirnya ia mencoba untuk keluar dari lingkungan itu dengan cara pergi merantau. Di perantauan itulah ia berhenti minum dan mulai berbenah diri. Sepulang dari perantauan, ia mulai aktivitas baru, yaitu sebagai loper-pembawa/pembagi koran, sembari tetap melaut di perairan tak jauh dari rumahnya sebagai nelayan Bajo.
 
Jadilah hari itu, saya mendengar pengakuan-pengakuan, serta cerita titik balik. Di samping masih ada juga kawan yang turut mendengar di situ dan akhirnya terkapar tidur, lantaran malam sebelumnya pesta ‘cap tikus’. Tampaknya, setiap orang bakalan menemukan titik baliknya sendiri-sendiri. Cerita di Bongganan, titik balik biasanya pada usia 35-40 tahun.
 
Saya mencoba menarik hubungan antara kebiasaan minum, karouke, gaya hidup konsumtif dengan belanja-belanja tak perlu di warung, dengan kegiatan penangkapan menggunakan bom ikan ataupun pembiusan ikan, serta peracunan ikan, dan mungkin juga tindak kriminal lain seperti konsumsi obat-obat terlarang.
 
Seperti cerita nelayan itu, berhenti dari minum-minum, berhenti pula ia dari kegiatan menjual bahan baku bom ikan, 12 tahun lampau. Kegiatan minum-minum dan gaya hidup konsumtif menguras dompetnya, dan mengharuskannya untuk mencari uang dengan cara cepat. Belum lagi saat itu, ia memiliki lebih dari satu istri. Betul-betul harus putar otak untuk memperoleh uang. Ia juga trauma lantaran temannya sesama nelayan meninggal karena badan hancur oleh bom ikan. Sedangkan nelayan yang lebih mudah, berhenti minum, dan menggantikan rajin beribadah di masjid. Dia menggeser solusi dari rasa frustasinya, dari mabuk sebagai obat, menjadi ibadah sebagai obat. Meski kata nelayan yang lain, sangat sulit untuk keluar dari situasi itu, jadi tidak bisa langsung, tapi secara setahap demi setahap.
 
Saya pun mulai menghayal, fenomena pengeboman ikan, pembiusan ikan, peracunan ikan dengan bahan tak sesuai dan merusak lingkungan itu mirip dengan kebiasaan mabuk-mabuk ini. Untuk bisa keluar dari krisis, orang harus mengakui terlebih dahulu kalau ia sedang berada dalam krisis. Ia harus sadar bahwa ia sedang bermasalah. Saya teringat Om Hero dari Blue Alliance pernah bilang, kita harus mengakui dulu kalau pengeboman ikan itu adalah masalah. Jika orang-orang tidak melihatnya sebagai masalah, maka kita tak dapat keluar dari krisis sumberdaya alam laut ini.
 
Saya membaca buku UPHEAVAL, karya Jared Diamond, tentang bagaimana negara mengatasi krisis. Di situ dijelaskan metode psikiater Dr. Erich Lindemann dalam menangani para penyintas kebakaran Cocoanut Grove yang mengalami stress. Memang, ia juga bilang kalau hal pertama, orang yang mengalami krisis harus mengakui secara sadar kalau ia sedang bermasalah. Kemudian ia harus menerimanya sebagai tanggungjawab pribadi. Tidak melimpahkan semua kesalahan dan kekecewaan pada orang lain ataupun pada sistem. Orang harus diajak untuk memikul tanggungjawab untuk menyelesaikan masalahnya. Bukan dengan menjadikan diri korban dan lari dari masalah. Baru setelah itu dapat dibuatkan pagar, untuk identifikasi dan menggambarkan masalah yang harus diselesaikan. Jika tak dibuatkan pagar, orang akan melihat dirinya sepenuhnya bermasalah dan tak dapat berdiri dari kelumpuhan. Di sini akan kita tahu, apa yang harus dibuang dan diganti dengan cara-cara baru. Nah, setelah itu, pasti pelan-pelan akan diajak keluar, baik dengan cara mencontoh orang-orang lain yang berhasil keluar dari persoalan yang sama, atau juga dengan memperkuat dukungan dan bantuan pihak-pihak lain, memperkuat diri dan membangun diri dengan wawasan dan keahlian baru. Tentu butuh ketekunan, ketahanan mental, jujur terhadap diri sendiri, serta bebas dari hambatan-hambatan struktural.
 
Hari semakin larut, warna keemasan mulai tampak diufuk, kami pun memohon pamit dari perbincangan. Kami pun kembali dengan kepala pusing.








0 komentar:

Nelayan dan Titik Balik Perubahan