semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

“Kita Memang Sudah Tertinggal Jauh, Tapi Kita Akan Mengejar…”

 

Catatan Konsultasi Publik Komite Pengelolaan Perikanan dan Pesisir Lestari (PELARI) – Bagian 1
 
Begitu kata Dr. Ferdy Salamat, pimpinan Komite PELARI dan juga Kepala Dinas Perikanan Banggai Kepulauan. Komite mulai bekerja dan bergerak cepat. Sejak dideklarasikan ke jajaran pemerintahan Banggai Kepulauan pada 13 Agustus 2024 lalu, komite ini sudah berkeliling untuk bertemu dan berdiskusi dengan pimpinan kecamatan, kepala desa dan kelompok-kelompok nelayan dan pengolah ikan se Banggai Kepulauan. Ferdy Salamat membawa rombongan dinas perikanan yang berjumlah 17 orang mengelilingi Pulau Peling, dalam rentang 2 minggu di Agustus lalu, untuk bertemu dan berdiskusi dengan seluruh aparat pemerintahan di 12 Kecamatan, 133 aparat desa pesisir, dan 144 kelompok nelayan dan pengolah perikanan.
 
Saya pun turut serta, bersama motor Honda Revo Fit, saya menyusul rombongan lantaran terlambat bangun pada Rabu, 28 Agustus 2024. Untungnya tiba di Sambulangan, kota Kecamatan Bulagi Utara, tepat pukul 09.00 Wita, setelah 2 jam perjalanan. Tamu-tamu yang terdiri atas kepala-kepala desa dan perwakilan nelayan Kecamatan Bulagi dan Bulagi Utara sudah terlihat ngobrol dan merokok di gerbang dan halaman Gedung BPU yang berdekatan dengan Kantor Camat Bulagi Utara.
 
Konsultasi Publik Komite hari itu cukup panjang, bagaimana tidak, 25 kepala desa Bersama 28 perwakilan kelompok nelayan berkumpul dengan masing-masing pertanyaan di kepalanya. Setelah Ferdy Salamat menyelesaikan pokok-pokok pikiran Komite PELARI, tentang belum sistematisnya rencana pengeololaan perikanan, masih maraknya pengeboman ikan, pembiusan ikan, peracunan ikan, kondisi terumbu karang yang tersisa diperkirakan hanya 30-20% saja dalam kondisi baik, masih maraknya sampah plastik terbuang ke laut, ikan yang semakin sulit diperoleh, serta ekonomi dan kehidupan masyarakat nelayan. Ferdy mengajak kita untuk memikirkan kembali persoalan-persoalan yang masih melilit kehidupan para nelayan dan pelaku perikanan Banggai Kepulauan.
 
Para undangan merespon dengan acungan tangan, bertanya dan mungkin lebih bersifat menanggapi dan menunjukkan sikap. “Kita harus bangun komitmen untuk melindungi ekosistem laut. Perikanan kita sudah berwarna merah, berarti sudah sakit. Bagaimana cara menyembuhkan yang sakit? Yaitu menghentikan pengeboman,” terang Robby Pania, Pejabat Kepala Desa Meselesek, Kec. Bulagi. Merni, Kepala Desa Omuli, Kecamatan Bulagi Utara seperti bertanya suram. “Dari lima penghasil ikan, Omuli salah satunya. Dulu ikan banyak, tapi sekarang sudah kurang atau tidak ada? Ini pertanda apa?” kata Merni. “Bagaimana kita melindungi terumbu karang jika masih banyak yang menggunakan bius untuk menangkap ikan hias di Kayo Bunga,” tanya Wisraim Kuamano, Kelompok Lamoan Kayu Bunga. Sementara Mustafa dari Kelompok Pomenggon Desa Bolubung, mengharapkan adanya solusi mengenai ketersediaan es untuk menjaga kualitas ikan layang (malalugis) hasil tangkapan rumpon nelayan. Sejauh ini para nelayan rumpon bahkan memperoleh es dari Kota Luwuk.
 
Ferdy menjawab satu persatu pertanyaan, tentu dalam tulisan ini tidak dapat menulis semua pertanyaan peserta. “Kita harus bangun komitmen, ini bukan tugas saya saja, tugas kita semua. Kita jangan sampai mendengar kisah yang sama dengan perikanan Morowali, eksosistemnya sudah rusak, sehingga nelayannya sudah berubah,” kata Ferdy. Hero Ohoiulun dari Blue Alliance Indonesia (BAI) sebagai moderator kegiatan yang turut didukung oleh BAI, juga mengatakan, “Jika kita komitmen untuk menghentikan pengeboman ikan, saya yakin ikan dapat kembali banyak seperti semula, sebab siklus hidupnya pendek.
 
Selain penangkap ikan, desa-desa pesisir Kecamatan Bulagi dan Bulagi Utara juga penghasil rumput laut. Beberapa penanya mengeluhkan mengenai kemungkinan pencemaran laut yang menyebabkan rumput laut terkena penyakit dan mati, bahkan seorang yang saya wawancara, mengatakan beberapa warga mengalami gatal-gatal setelah berendam air laut. Menurut Ferdy, hal ini perlu ditelusuri secara mendalam dan kita tidak boleh menuduh secara langsung pihak atau Perusahaan yang menyebabkan kegagalan panen budidaya rumput laut. Ferdy pun meminta tim komite untuk melengkapi rencana kerja komite terkait program rumput laut.
 
Hari mulai petang, pertemuan pun ditutup. Panitia dari Dinas Perikanan dan kami dari Blue Alliance pun bergerak ke arah selatan bagian barat Pulau Peling, tepatnya di Desa Lumbi-Lumbia, Kecamatan Buko Selatan. Di pertengahan jalan, kami singgah sebentar untuk menikmati beningnya alam Danau Poisupok di Desa Lukpanenteng. Tim Dinas Perikanan memanfaatkan kesempatan ini untuk berfose di atas perahu wisata di permukaan danau Poisupok. Tim pun tiba menjelang malam di Lumbi-Lumbia, yang sedang memadamkan listrik.
 
Kamis, 29 Agustus 2024, berkumpul perwakilan kecamatan Buko, Buko Selatan dan Bulagi Selatan, perwakilan 35 desa yang ada di tiga kecamatan tersebut, serta 18 kelompok binaan dinas perikanan di Kantor BPU Desa Lumbi-Lumbia. Pukul 09.00 Wita sudah terlihat tamu-tamu membentuk lingkaran-lingkaran kecil sembari ngobrol, ada yang hanya jongkok atau bersandar di tembok sembari menghisap rokok. Kegiatan pun dimulai kurang lebih 09.30 Wita.
 
Ferdy pun mengulangi materi yang ia sampaikan di Sambulangan, sehari sebelumnya. “Salah satu tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk menggali isu-isu seputar pengelolaan perikanan. Nantinya akan digunakan untuk penyusunan program Pembangunan daerah dalam bentuk RPJMD yang bersifat teknokratik. Harapannya nanti, program perikanan ini juga dapat didorongkan menjadi program di desa masing-masing,” ujar Ferdy. Memang, salah satu tantangan Banggai Kepulauan yaitu belum adanya model pengelolaan perikanan yang cocok untuk tipikal wilayah kepulauan. Sepertinya, melihat gerak komite ini, tak lama lagi terbentuk konsep yang tepat untuk model pengelolaan perikanan Banggai Kepulauan, yang memiliki kawasan perlindungan laut yang luas, termasuk dalam MPA 11-12 dengan luas 685.262 hektar.
 
Bangkep juga dikenal sebagai lumbung ikan nasional, itulah sebabnya kata Ferdy, Bangkep bakalan memperoleh dukungan pusat berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) yang cukup besar pada 2025. “Tapi, apa yang akan kita tunjukkan nanti jika ikan ternyata sudah tidak ada?” tanya Ferdy di hadapan para peserta. Ferdy mengajak para aparat desa dan camat untuk berjuang bersama mengatasi soal bom ikan, bius, racun ikan, kemiskinan nelayan, termasuk kemiskinan ekstrem, sampah plastik, peningkatan keterampilan nelayan, serta perbaikan layanan seperti bahan bakar minyak (BBM) serta bantuan yang lebih tepat sasaran/strategis. “Kita ini sebagai pemerintah dibayar negara/digaji untuk mencari solusi,” ujar Ferdy.
 
Hero Ohoiulun sebagai moderator turut menambahkan, kalau ia sudah bertemu dengan hampir semua aparat desa di Buko Selatan dan Bulagi Selatan, dan ia pun sudah melakukan penyelaman di kawasan terumbu karang di Buko Selatan dan Bulagi Selatan. “Terumbu karang yang sehat tersisa 20% saja. Ikan terlihat kecil dan beberapa tempat, laut sudah sepi,” kenang Hero.
 
Pernyataan ini semakin menimbulkan geliat peserta. Tak sedikit yang unjuk jari untuk berkomentar saat dibuka sesi diskusi. Pertama adalah Ahing, ketua Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas Perikanan) Desa Sapelang, Buko Selatan. Menurut Ahing, kesadaran Sebagian nelayan dan masyarakat masih rendah, pengawasan terhadap laut juga lemah, apalagi penegakan hukum. Ahing sendiri, pada 24 Juli 2024, melaporkan kegiatan pengeboman ikan di perairan batas Desa Sapelang, dan akhirnya pelaku berhasil diamankan ke Polres Bangkep. Ahing juga mengungkapkan ada nelayan yang menggunakan kapal bantuan pemerintah untuk mengebom ikan.
 
Ardiansyah dari Desa Malanggong turut bersuara, “Kita dapat membuat papan peringatan beserta sangsinya di tiap-tiap desa. Ikan selalu keluar Pulau Peling dan bagaimana kalau kita mengajak investor untuk membuat pengalengan ikan di Bangkep? Saya melihat pengawasan laut belum betul-betul jalan, kegiatan peracunan ikan menggunakan ‘Dangke’ masih banyak di pesisir Pantai”. Ada lagi dari Desa Uno, “pengawasan terhadap pelaku pengeboman ikan dan pembiusan masih lemah. Termasuk di kawasan terumbu karang Bulagi Selatan, seperti di perairan Bonepuso. Kami pernah melaporkan kasus, tapi tidak tuntas. Bagusnya langsung ditangkap saja”. Selain itu, pemasok ikan di tiga kecamatan ini adalah pengumpul dari Kota Luwuk. Karena itu, orang bangkep sendiri kesulitan memperoleh ikan di pasar.
 
Begitu halnya dengan pernyataan kepala Desa Landonan, Bapak Agung, berkomentar bahwa pengebom ini masih banyak dari kalangan ekonomi lemah. “Ada yang memiliki lima anak dan istri lagi hamil. Jadi perlu juga dipikirkan Solusi alternatif ekonomi bagi mereka. Salah satunya dengan meningkatkan keahlian dan kemampuannya (SDM),” kata Agung. Sementara Sekretaris Desa Pandaluk mengatakan, perlunya dukungan anggaran dari masing-masing desa untuk pengawasan laut, jadi tidak sekadar sosialisasi seperti ini.
 
Ferdy pun merespon umumnya tanggapan seputar pengawasan laut. Ferdy bilang, pengawasan bukan lagi kewenangan pemerintah kabupaten, tapi sudah dilimpahkan ke pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, melalui UPTD yang saat ini berlokasi di kota Banggai, Kab. Banggai Laut. “Jumlah petugas untuk pengawasan laut terbatas, Cuma 10 orang harus mengawasi laut di dua kabupaten. Bayangkan Panjang garis Pantai hingga 600 kilometer bisa diawasi oleh personil yang sedikit. Itu tidak efektif,” kata Ferdy. Meski begitu, dia merasa terpanggil untuk turut terlibat dalam mendorong pengawasan, tepatnya melalui Komite Pelari ini, yang melibatkan desa-desa dan camat, harapannya para aparat desa menjadi garis terdepan untuk pengawasan laut.
 
Tentang pelaku pengeboman, melalui komite ini akan dilakukan pembinaan sebagai langkah awal. Memang perlu dicarikan Solusi agar para pelaku ini tidak lagi mengebom. “nanti kita bertemu satu persatu pelaku, kita beri pembinaan. Jika tidak berubah, kita langsung tindak saja,” tegas Ferdy. Kapal bantuan yang dipakai mengebom ikan? Ferdy tegas mengatakan, jika menemukan kasus seperti itu, segera melapor, Dinas Perikanan segera menarik kembali kapal tersebut, kemudian diserahkan kepada nelayan yang lebih membutuhkan.
 
Setelah sesi diskusi, masing-masing peserta menuliskan pada secarik kertas daftar isu yang marak di desa masing-masing beserta peran seperti apa yang bakal mereka ambil untuk mengatasi isu tersebut. Saya pun berkeliling untuk mengintip isian para peserta. Memang umumnya masih meresahkan pengeboman ikan dan pembiusan ikan.
 
Sosialisasi Komite Pelari untuk 3 kecamatan pun berakhir di sore itu. Panitia dari Dinas Perikanan kembali ke Kota Salakan. Sementara saya bersama Om Hero dan Idham Farsha, tinggal sebentar di Lumbi-Lumbia. Kami pun beres-beres basecamp Blue Alliance yang terletak di Lumbi-Lumbia. Sembari menanti kegiatan Konsultasi Publik Komite Pelari berikutnya, di tiga tempat, yaitu Liang untuk Kecamatan Liang dan Peling Tengah, di Kalumbatan untuk Kecamatan Totikum dan Totikum Selatan, dan di Salakan untuk Kecamatan Tinangkung, Tinangkung Utara dan Tinangkung Selatan.
 
 
 

 
 





0 komentar:

Next Posting Lama
“Kita Memang Sudah Tertinggal Jauh, Tapi Kita Akan Mengejar…”