Ir. Taufik Sabir (Pengusaha Hatchery Desa Tasiwali’e, Kec. Suppa)
Tufik merupakan salah seorang
pengusaha perbenihan yang berdedikasi di Kec. Suppa. Beliau tidak sekedar
menjual benurnya, tapi juga melakukan pendampingan terhadap petani dan kelompok
tani, mengajak petani berdiskusi di kolong rumahnya untuk membincangkan
permasalahan-permasalahan dalam budidaya udang windu. Dengan gudang
pengalamannya sebagai teknisi akuakultur, Taufik merasa yakin dapat memecahkan
setiap permasalahan yang dihadapi petambak. Taufik juga aktif berkoordinasi
dengan pemerintah, pengusaha dan kalangan akademik, lalu mengajak mereka untuk
turut berkontribusi dalam penelitian, pelatihan dan pemberian bantuan kepada
pembudidaya-pembudiaya di Kec. Suppa, Kab. Pinrang.
Taufik membawakan materi budidaya
udang windu dengan menggunakan pakan alami. Sebelumnya Taufik bersama Prof.
Hatta Fattah telah melakukan penelitian pemanfaatan Phronima suppa sebagai pakan alami untuk meningkatkan pertumbuhan
dan daya tahan tubuh udang.
Beliau mengantarnya dengan
mengatakan bahwa produktivitas budidaya udang windu Kab. Pinrang ditentukan
oleh kemampuannya untuk memproduksi benih. Luasan tambak sekitar 15.000 Ha,
namun produksi benur di Pinrang tidak mencukupi kebutuhan benur pada setiap
tambak yang memerlukan rata-rata 10.000 – 20.000 benur persiklus. Hal ini
menyebabkan banyak lahan tidak produktif karena tidak memperoleh benur. Selain
itu, kualitas benur juga terkadang memprihatinkan, karena masih ada hatchery
yang menjual benurnya pada umur PL 7 – 8, yang jika ditinjau daya tahan
tubuhnya masih rentan. Jika PL sudah di atas 10 maka secara morfologi alat-alat
tubuh sudah lengkap, dan benur sudah mampu beradaptasi di habitat baru.
Setelah membahas tentang
perbenihan, Taufik melangkah untuk menjelaskan tentang Phronima suppa sebagai pakan alami udang. Pemeliharaan udang dengan
Phronima suppa tidak berbeda jauh
dengan pemeliharaan udang windu pada umumnya, hanya ditambah satu fase setelah
penebaran pupuk, yaitu penebaran benih Phronima
suppa sebanyak 4 – 5 liter, baru setelah itu dilakukan penebaran benur.
Sebelum penebaran Phronima suppa di tambak pemeliharaan,
terlebih dahulu dilakukan kultur Phronima
suppa di tambak terpisah. Tahapan-tahapannya, yaitu : (1) Persiapan lahan,
(2) Pengapuran, (3) Pupuk dasar > urea, tsp, za, dedak fermentasi, (4) Pengisian
air setengah, (5) Saphonin, (6) Pengisian air full, (7) Pupuk susulan >
urea, za, tsp, ursal, fores, dedak fermentasi, (8) Penebaran benih phronima
suppa 4 – 5 liter, (9) Pupuk susulan, (10) Panen phronima suppa.
Phronima
suppa
tersebut dapat digunakan secara bersama atau berkelompok. Menurut pengalaman
Taufik, dengan pemberian Phronima suppa, petambak
dapat panen dengan umur pemeliharaan hanya 1,5 bulan. Kandungan gizi Phronima suppa belum diteliti lebih
jauh, tapi menurut Prof. Hattah, pakan ini dapat pula menggantikan posisi
artemia sebagai pakan utama dalam pemeliharaan benur di hatchery.
Tampak hasilnya sekitar 107 - 291 kilogram pada tambak 1 ha, terdapat
pula hasil 141 – 163 pada lahan 0,5 Ha. Mulanya pakan ini hanya dimanfaatkan
oleh satu dua petambak saja, yang kebetulan di tambaknya tiba-tiba berkembang
crustacea baru yang belum dikenal, tapi dapat menyebabkan udang cepat tumbuh
dan sehat. Kemudian informasi tentang crustacea yang mirip artemia itu bocor
dan diketahui oleh petambak-petambak lainnya. Kemudian, Taufik bersama Abdul
Salam Atjo yang merupakan penyuluh perikanan di desa tersebut membantu
menyebarkan informasi tersebut ke pemerintah setempat serta ke publik pada
umumnya melalui reportasi di majalah dan koran.
Selain itu, hasil analisa usaha
penggunaan Phronima suppa juga tetap
menghasilkan keuntungan sebesar Rp.10.237.850/siklus untuk satu hektar tambak.
Walau terdapat biaya untuk kultur Phronima
sebesar Rp.2.710.300.
Dimana kultur Phronima juga
membutuhkan bahan-bahan yang sama dengan pemeliharaan udang windu, tapi dengan
kadar yang sedikit berbeda, seperti penggunaan saponin 500 kg, dolomit 50 kg,
dedak halus 300 kg, pupuk urea 150 kg, pupuk SP36 : 150 kg, pupuk Za 150 kg,
pupuk cair ursal 5 botol, pupuk cair fores 5 botol, ragi sebanyak 68 biji.
Diharapkan dengan penjelasan
kembali tentang Phronima suppa ini,
petambak yang belum menerapkan metode ini dapat belajar dengan cepat dan turut
menerapkan pemanfaatan pakan alami tersebut, agar produksi tambak meningkat dan
terjadi peningkatan ekonomi masyarakat petambak.
Prof. Hattah Fattah, MSi (Akademisi Universitas Muslim Indonesia)
Prof. Hatta Fattah sejak 2006
aktif melakukan penelitian dan koordinasi untuk pemberdayaan masyarakat
petambak di Kab. Pinrang, khususnya pada kawasan minapolitan Perikanan Lowita
(Lotangsalo, Wiringtasi, dan Tasiwali’e). Prof Hattah membantu Pemda Kab.
Pinrang untuk merumuskan kebijakan yang terkait perbaikan kawasan perikanan di
Pinrang. Bentuk keterlibatannya yaitu dengan menjadi tim perumus Badan
Koordinasi Pengelolaan Kawasan Minapolitan Perikanan, koordinator KIMBIS (Klinik
Iptek Mina Bisnis) yang telah berkontribusi dalam membantu para petambak untuk
mengembangkan minat bisnis di Suppa. Selain itu, Prof. Hatta mengembangkan
penelitian terkait morfologi Phronima
suppa dan peran Phronima suppa terhadap
pertumbuhan dan daya tahan tubuh udang windu.
Pada sosialisasi BMP Budidaya
Udang Windu itu Prof. Hatta membawakan presentasi tentang “Penerapan Kluster
Udang Windu Berskala Industri di Kab. Pinrang”. Menurutnya, pembudidaya dalam
satu kawasan harus diorganisir dengan baik, baik dari segi bantuan sarana
prasarana, bantuan bibit, pakan, dan perlengkapan, maupun sektor pendidikan,
kependudukan, dan sosial. Kawasan perikanan budidaya di Pinrang tersebut
merupakan sentral produksi udang terbesar, memberi kontribusik ke Kab. Pinrang,
dimana Pinrang merupakan salah satu daerah produksi udang terbesar di
Indonesia.
Namun, potensi produksi dan
sumberdaya di Pinrang yang besar masih belum didukung oleh kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM), dimana Angka Putus Sekolah pada jenjang Sekolah Dasar (SD) pada
wilayah pesisir sebesar 22,89% dan mayoritas usia sekolah SD sebesar 51.292
jiwa. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk ini berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan dan jangkauan pemecahan masalah yang mereka hadapi, serta
kemungkinan untuk penerimaan gagasan dan ide baru.
Selain itu, menurut Prof. Hatta,
persoalan kawasan budidaya antara lain, (1) usaha budidaya udang windu masih
dikelola dalam skala kecil atau subsisten tradisional dan parsial. (2) Pola
pengembangan berbasis sentra belum berhasil meningkatkan kinerja dan
produktivitas kawasan. Ini masih menjadi pertanyaan sulit bagi Prof. Hatta,
kira-kira apa yang menyebabkan produktivitas kawasan belum bisa dipacu?
Sehingga menurutnya pendekatan yang harus dilakukan pada kawasan budidaya yaitu
pendekatan klusterisasi an pendekatan partisipatif. Salah satu hal yang bisa
dikembangkan di Suppa yaitu Phronima
suppa, terdapat pula cacing laut untuk pakan induk, pakan buatan, kemudian
induk lokal di Bianga Karaeng. Kita pun dapat melakukan pengembangan Desa
Binaan yang dapat dilakukan oleh universitas, lalu integarsi program-program
pemerintah, sepert program KIMBIS dan PNPM.
Prof. Hatta telah merancang
kluster pengembangan budidaya udang windu di Suppa, dimana pembenihan hatchery
difokuskan di Desa Wiringtasi, usaha pentokolan udang windu ditempatkan di Desa
Tasiwali’e, kemudian pembesaran di Wiringtasi dan Tasiwali’e, kemudian akan
dilakukan pengembangan pasar baik di dalam Kab. Pinrang, maupun di luar Pinrang.
Target keluaran pada tabel di
atas dilakukan secara bertahap, dan dikuatkan dengan pembentukan badan
koordinasi dengan berbagai stakeholder yang terkait untuk pengembangan kawasan
Minapolitan LOWITA (Lotangsalo, Wiringtasi, Tasiwali’e). Target-target di atas
akan dibincangkan secara komprehensif untuk pembagian peran sesuai dengan
kemampuan dan kepentingan masing-masing. Pemda Pinrang atas inisiasi Prof.
Hattah Fattah telah melakukan pertemuan dengan para stakeholder untuk
membincangkan posisi dan peran masing-masing.
Wahju Subachri (Aquaculture Staff WWF-INDONESIA)
Wahju merupakan staff akuakultur
yang bertugas di wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Wahju telah melakukan beberapa
kali pelatihan kepada penyuluh dan petambak di daerah Aceh, serta pendampingan
pada kelompok ikan nila di Danau Toba. Beliau datang ke Sulawesi Selatan,
khususnya Kab. Pinrang untuk mensosialisasikan BMP Budidaya Udang Windu
WWF-INDONESIA.
Pemaparan Wahju
berangkat dari aspek-aspek penting dalam budidaya udang, yaitu (1) lingkaran
teknis operasional dalam budidaya udang windu : persiapan lahan dan air,
pemilihan benur, pemilaharaan kualitas air, pengendalian penyakit dan panen. (2)
Pembukaan lahan tambak baru harus berkonsultasi dengan instansi terkait (DKP,
Badan Pembangunan dan Perencanaan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup). Contoh kasus
di Kalimantan Timur, sebagian wilayah tambak berada dalam kawasan hutan
produksi atau Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). (3) Memiliki kepemilikan tanah
yang jelas (tertulis) serta ijin usaha yang sesuai aturan. (4) Padat tebar
rendah, yaitu 3 – 4 ekor/m2 dengan luasan tambak maksimal 1 ha.
Bibit berasal dari hatchery atau pendederan yang dikelola dengan baik. (4) Berdasarkan
RAMSAR bila lahan di buka sebelum Mei 1999, diwajibkan mengembalikan kawasan
mangrove. Sedangkan pembukaan lahandi atas tahun tersebut tidak dapat
disertifikasi.
Menurut Wahju, sebagai produk
ekspor unggulan, udang Indonesia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yang
sudah dibangun di tingkat internasional. Diantaranya bahwa produk udang
Indonesia harus peduli terhadap lingkungan. Dahulu sempat ada isu larangan
untuk mengkonsumsi udang yang berasal dari Indonesia, karena petambak di
Indonesia telah menghancurkan mangrove. Dengan mengembalikan mangrove sebesar
50 persen, hal itu sudah menjadi jaminan bahwa petambak Indonesia masih peduli
terhadap lingkungan.
BMP Budidaya Udang Windu juga
sangat menekankan pembentukan kelompok dalam satu kawasan, dimana berasal dari
satu aliran sungai yang sama. Kemudian dalam kelompok tersebut terdapat
pertemuan rutin untuk mendiskusikan kegiatan tambak, masalah dan solusinya.
Kelompok tersebut juga berguna perencanaan budidaya dan dalam koordinasi
penebaran serentak untuk mengantisipasi penyebaran penyakit yang akut.
Wahju kemudian menjelaskan
tahapan-tahapan budidaya udang windu yang baik. Tahapan pertama yaitu persiapan
tambak, dimana petambak harus memperhatikan konstruksi tambak, bagian pematang
dan pintu air, diperbaiki dan ditinggikan serta dijaga agar tidak bocor. Selain
itu, kedalaman caren kurang lebih 1 m dan pelataran 0,7 m. Terlalu dangkal akan
menyulitkan udang karena meningkatnya suhu, sehingga perlu penggalian untuk
penyesuaian kedalaman. Lalu sebaiknya terdapat
saluran inlet dan outlet yang terpisah, untuk mengantisipasi kontaminasi dan
penyebaran pencemaran.
Tahap berikutnya, pengeringan
tambak. Memastikan dasar tambak tidak tergenang air, sinar matahari langsung
dapat mengurangi/mematikan bakteri/virus yang ada di dasar tambak. Menghindari
penggunaan tanah sulfat masam. Kemudian, pengapuran dilakukan sesuai dengan
prosedur dan nilai pH tanah, sebaiknya menggunakan kapur dolomit, karena
dolomit juga dapat menumbuhkan pakan alami. Kemudian dilanjutkan dengan
pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik. Pemupukan organik
pada tanah dengan dosis 500 kg/ha dapat memperbaiki tekstur tanah dan membantu
dalam proses penyediaan pakan alami dalam tambak. sedangkan pupuk anorganik
dengan dosis 20 kg/ha, SP-36 dengan dosis 10 – 15 kg/ha, NPK dengan dosis 15
kg/ha dapat menumbuhkan pakan alami.
Pengisian air melalui pintu air,
terdapat saringan air sebanyak dua buah untuk mencegah masuknya ikan-ikan liar.
Pemberian saponin pada saat hari cerah untuk memberantas ikan yang masih
terdapat dalam tanah. Tidak menggunakan pestida dalam memberantas hama,
pestisida dapat membunuh pakan alami udang pada dasar dan kolom air, membunuh
mikroba tanah sehingga kualitas tanah memburuk, udang kesulitan tumbuh dan
keracunan.
Setelah itu, Wahju menjelaskan
tentang asal usul dan ciri-ciri benur yang baik. Benur diperoleh dari hatchery
atau gelondongan yang dikelola dengan baik, kemudian memilih benur yang
memenuhi kriteria, dan lakukan pencatatan pembelian benur dan dokumen asal-usul
induk. Petambak pun harus mengetahui ciri-ciri benur yang baik, yaitu ukuran
benur seragam, aktif berenang-bergerak, sensitif terhadap rangsangan, benur
berukuran >PL 11/gelondongan, kemudian memastikan hatchery tersebut
menerapkan monitoring benur, sehingga benur yang dihasilkan bebas dari virus.
Dalam melakukan pemanenan benur,
sebaiknya dilakukan pagi hari dengan harapan suhu tidak berubah secara
signifikan. Kemudian memastikan bahwa jumlah bibit udang dalam kantong sesuai
dengan ukuran dan jumlah oksigen untuk menghindari udang stress dalam
perjalanan. Lalu usahakan menurunkan suhu air dalam kantong menjadi 24oC
jika jarak tempuh bibit lebih dari 3 jam, agar benur tidak aktif. Ketika
mengangkut benur, sebaiknya petambak memastikan bahwa alat transportasi bersih
dan bebas dari bahan kimia berbahaya, kemudian setelah tiba langsung dilakukan
aklimatisasi terhadap benur tersebut. Aklimatisasi dalam penebaran dilakukan dengan
hati-hati karena udang mudah stress pada lingkungan baru, kemudian perlu diperhatikan
bahwa air tambak sudah ditumbuhi plankton, yang ditandai dengan warna hijau
cerah di tambak. benur ditebar di pagi atau sore hari, ketika suhu udara masih
dingin. Dan yang terakhir yang penting juga, yaitu dalam setiap proses
diharapkan selalu ada catatan, seperti tempat pembelian benur, jumlah benur,
umur PL, kadar salinitas, dll.
Pada sosialisasi tersebut,
peserta yang hadir rata-rata adalah petambak tradisional, yang dalam penggunaan
pakannya tidak terlalu banyak, dan dikondisikan dengan jumlah benur yang
ditebar. Meski demikian, Wahju ikut menjelaskan tentang pakan dan tata cara
penggunaannya, agar petambak bertambah pemahamannya tentang pakan. Menurut BMP
Budidaya Udang Windu, benur sebaiknya diberi pakan sejak sehari setelah
penebaran pakan, sebagai adaptasi dan kelanjutan pemberian pakan sejak di
hatchery. Kemudian pakan yang digunakan adalah pakan yang kandungan gizi
lengkap, dan sumber proteinnya berasal dari perikanan yang ramah lingkungan.
Wahju menganjurkan bahwa bila
pakan alami cukup dan udang tidak mengkonsumsi pakan di anco, maka pemberian
pakan dapat dihentikan atau diberi perhari hanya 1 kg, dengan tetap memantau
kondisi ususnya. Bila usus mulai terlihat putus-putus, segera diberi pakan
tambahan dengan memperhitungkan biomas dan dikalikan dengan %FR 3-8 persen.
Selain itu, petambak tetap memperhatikan kondisi dan warna air, ketika ari
telah berubah menjadi kuning, segeralah untuk mengganti air atau diberi pupuk
untuk mengembalikan warna air menjadi warna hijau.
Setelah pakan, Wahju menjelaskan
isi BMP terkait pengelolaan air selama pemeliharaan. Dalam penggantian air,
sebaiknya dilakukan pada saat pasang tertinggi (purnama). Kemudian pada 2 – 3
minggu pertama setelah penebaran, pergantian air dilakukan dalam jumlah kecil,
yaitu 10%. Setelah itu, penggantian sudah lebih banyak, dapat 30 – 80% dan
disesuaikan dengan periode air pasang tinggi. Pada kawasan yang rawan penyakit,
sebaiknya tidak telalu sering menambah air untuk antisipasi tidak tersebarnya
penyakit ke perairan tambak. Sedangkan air yang sudah terserang penyakit,
dilarang untuk membuang sembarangan, sebaiknya dilakukan perendaman dan
strelisasi air untuk membunuh sumber-sumber penyakit. untuk itu, sebaiknya
petambak selalu melakukan pengecekan dan pentatan kondisi air secara berkala,
serta melibatkan pihak-pihak tertentu, seperti penyuluh untuk membantu uji
kualitas air di lapangan maupun di laboratorium. Jika ditemukan permasalahan
segera mengambil tindakan, baik dengan membuang air di permukaan, pemberian
probiotik, atau pemupukan, selain itu, memastikan ketinggian air tambak minimal
1 m.
Hal yang penting dalam
pemeliharaan tambak yaitu pengendalian penyakit, dimana tidak memasukkan air ke
dalam kolam apabila air di pengairan terserang penyakit. begitu halnya ketika
udang yang dipelihara terkena virus, petambak dilarang untuk membuang air
tambaknya ke perairan terbuka. Air dibiarkan dalam tambak selama sebulan untuk
menentralisir air dari penyakit dan pemanenan dilakukan dengan menggunakan
jala.
Bagian terakhir dalam penjelasan
Wahju Subachri yaitu panen dan pascapanen. Dimana panen dilakukan pada pagi
hingga selasai, baik dilakukan pada saat kondisi hari yang teduh. Mempersiapkan
tenaga (tim panen), peralatan dan bahan seperti air dan es yang cukup.
Melakukan pemanenan dengan hati-hati, agar tidak tidak ada udang yang lepas,
dapat menggunakan jala untuk menjaring udang dalam tambak dan memasang jaring
di pintu air untuk menampung udang yang terbawa air. Setelah panen, dilakukan
pencucian dan pemberian es untuk mempertahankan kualitas udang dan langsung
dibawa ke pengepul atau pengepul yang mengambil langsung ke petambak dengan
membawa kontainer atau mobil truk yang bersih dan terdapat cool box di dalamnya.
Hal berikutnya yang harus
petambak perhatikan yaitu pencatatan dan pemeliharaan lingkungan. Pencatatan
dilakukan sebagai bukti dan bahan pembelajaran (lesson learning) petambak untuk melakukan perbaikan pada
siklus-siklus berikutnya. Sedangkan pemeliharaan lingkungan, dilakukan dengan
memelihara ekosistem mangrove yang masih ada di lokasi sekitar tambak serta
pinggiran sungai dan pantai. Petambak juga diharapkan untuk memastikan bahwa
hutan mangrove di pantai memiliki lebar minimal 150 meter dan di sepanjang
sungai minimal 50 meter dari lokasi tambak. kemudian ada upaya petambak untuk
menanam mangrove di pematang dan saluran iar tambak.
Pembelajaran
Sosialisasi BMP Budidaya Udang
Windu di Desa Wiringtasi, Kec. Suppa tersebut tak dapat terlaksana dengan baik
jika WWF-ID tidak memperoleh dukungan dari tokoh-tokoh dan masyarakat lokal,
serta keterlibatan aktif penyuluh dan staff DKP Kab. Pinrang. Selain itu,
melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan ternyata cukup efektif untuk
meningkatkan semangat mereka untuk terlibat pada saat pelatihan.
Penutup
Sosialisasi pun berakhir pada
pukul 16.30 Wita, setelah Wahju Subachri memaparkan penjelasan tentang isi dari
BMP Budidaya Udang Windu. Semoga sosialisasi ini dapat menambah pengetahuan dan
pemahaman petambak dan penyuluh perikanan tentang cara budidaya udang windu yang
baik. Setelah sosialisasi ini akan dilanjutkan dengan pelatihan budidaya udang
windu dengan melibatkan beberapa petambak terpilih, yang diharapkan para
peserta pelatihan tersebut dapat menerapkan BMP Budidaya Udang Windu yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan.
Seafood Saver Officer for Aquaculture
WWF-INDONESIA
Idham Malik
0 komentar:
Posting Komentar