Cornelis de Hotman tiba dengan susah payah di pesisir utara Jawa pada 1596. Tapi di situlah benang sejarah ditakdirkan. Dari pengamatan Cornelis, tentang topografi dan potensi ekonomi, akhirnya terbentuklah inisiatif kesepakatan dagang Ekonomi hindia timur oleh para Bataff, yang dipimpin oleh 17 tuan tuan atau "de XVII hareen".
Foto : istimewa
Pada awal abad 17, Gubernur Jenderal, pimpinan representatif VOC (Vereenigde Oostindiche Compagnie), dalam hal ini Jan Pieterszoon Coen memilih pelabuhan Jakarta-Jayakarta sebagai pusat jaringan perdagangan Belanda di Asia. Pelabuhan tersebut telah banyak disebutkan dalam kitab Suma Oriental Tome Pires, seorang ahli farmasi dan duta Portugis di Cina. VOC membangun loji pada 1610 dan lepas dari pengawasan pangeran Jakarta dengan membumihanguskan kawasan luas itu pada 1619 hanya dengan dukungan garnisun kecil. Berdirilah sebuah kota bernama Batavia.
VOC mengisi kotanya dengan beragam jenis asal usul, Cina, Makassar, Melayu, Bali bahkan dengan etnis Filiphina dan Jepang. Mereka belum begitu peduli dengan orang-orang lokal yang sebelumnya memanfaatkan kawasan tersebut untuk akumulasi ekonomi.
Dari Batavia inilah, VOC meladeni perdagangan antar pulau, dengan lokus-lokus maritim yang lain, yang tersebar di sepanjang kepulauan nusantara. Tak puas dengan itu, VOC atas kehendak 17 tuan tuan, ingin menambah kapital melalui penguasaan politik dan menihilkan persaingan bisnis. Pelabuhan-pelabuhan besar dilumpuhkannya satu persatu. Di awal-awal mereka berurusan dengan para petualang asing, sehingga pertempuran lebih diantara mereka saja. Malaka dan Ambon direbutnya dari Portugal, dan Banda Neira ditukarnya dengan darataran rendah yang luas New Amsterdam di Negeri Harapan Baru Amerika.
Di Jawa, VOC disibukkan dengan penyerangan dua kali Sultan Agung. Tapi, menangani kekuasaan Raja di jantung Pulau Jawa tidak begitu sulit, Kompeni memanfaatkan perselisihan antara pusat dan pinggir, antar Trunojaya dari Madura dengan Mataram di Pusat, serta rongrongan Untung Suropati, dan akhirnya antar kerabat kraton sendiri, lalu tuntas dengan perjanjian Giyanti yang membagi-bagi kekuatan Mataram. Justru, VOC disibukkan dengan petualang Bugis yang berada di bawah kepemimpinan Riau serta peristiwa Perang Makassar yang banyak menguras militer korporasi perkebunan asal Netherland itu.
Perkembangan berikutnya, VOC tidak hanya monopoli bahan-bahan yang berasal dari Maluku, tapi juga mengembangkan perkebunan komoditas-komoditas penting, seperti gula, tembakau, dan kopi yang dipusatkan di lahan-lahan subur Pulau Jawa dan Sumatera.
Koin-koin emas pun semakin menumpuk di loji-loji VOC, apalagi di Batavia. Dibangunlah kota itu layaknya sebuah kota di Eropa, disebutlah kota itu sebagai "Venesia from the East". Orang Eropa yang jumlahnya sedikit itu, membangun peradaban sendiri, yang terpisah dari warga lokal. Mereka membangun rumah dengan jendela yang besar, dengan pagar-pagar yang dapat mengamankan mereka dari para penjahat. Di waktu-waktu senggang, mereka menikmati hari dengan musik dan anggur. Ibu-ibunya merias dirinya dengan kebaya dicampur dengan gaya berpakaian eropa.
Kata Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya volume 1, para pegawai Eropa tak betah berlama-lama di Nusantara. Mereka biasanya kembali ke Eropa setelah masa bertugasnya sebagai pegawai atau tentara atau setelah mereka berhasil menumpuk kekayaan. Mereka sangat terikat dengan negara asalnya. Menghasilkan sebuah mentalitas khusus, yang rada-rada picik. Sangat berbeda dengan mentalitas Prancis yang menghasilkan Prankofil, perpaduan budaya prancis dan daerah jajahannya.
Setelah VOC bangkrut dikarenakan alasan-alasan internal dan pemborosan serta korupsi, dan digantikan Hindia Belanda, mentalitas itu tidak berubah. Pola ekonomi dan sosial masyarakat Netherland dan eropa pada umumnya tetap menciptakan strata atau separasi, penggolongan - penggolongan. Yang mana, lapisan atas atau birokrasi pemerintahan yang didampingi oleh korporasi-korporasi global itu mengatur demi berlangsungnya eksploitasi alam dan tenaga kerja masyarakat nusantara.
Pindah kepemimpinan dari Kapital Asing ke aktivis, intelektual dan teknokrat nasional, pola penguasaan struktural sedikit berubah. Faktor-faktor produksi pelan-pelan mulai dialihkan ke pemilikan nasional, dengan semangat sosialisme yang tinggi. Dalam pengelolaan modal dan sumberdaya diupayakan dengan melibatkan sumberdaya manusia lokal berdasarkan referensi akademik dan keahliannya masing-masing. Batavia berubah nama menjadi Jakarta. Jakarta pun dipermak dengan simbol-simbol revolusi, pengelolaan bisnis tampak morat marit, Jakarta berada dalam pencarian bentuk, dengan resiko terlambatnya penumpukan kapital.
Namun, dalam perjalanan, revolusi terhenti dan digantikan oleh konsep pembangunan. Secara serentak pula pola-pola pengelolaan kembali dikendalikan oleh modal asing. Pemilik lama kembali menguasai sumberdaya-sumberdaya alam, tambang-tambang, dan perkebunan-perkebunan. Jakarta pun, dengan cepat menjadi supercity, penduduknya membludak, loji-loji asing pun kian besar dan dari sana kontrol kapital berlangsung. 80 persen keuangan Indonesia terputar di Jakarta. koin-koin emas jaman belanda dahulu kembali tersedot ke Jakarta. Untuk didistribusikan lagi ke seluruh pojok dunia, utamanya dunia barat. Bedanya, dahulu yang menikmati banyak hanya golongan netherland, saat ini kaum lokal sudah banyak menikmati, apalagi mereka yang memiliki modal kultural dan simbolik, yang diperolehnya melalui jenjang pendidikan.
Jakarta saat ini, tetaplah menerapkan konsep yang sama dengan Batavia jaman dahulu. Yaitu proses eksploitasi ekonomi, dalam hal ini sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, dengan bersandar juga pada koorporasi. Dahulu oleh korporasi VOC sebagai rule model, kini antara korporasi elit bermata sipit dan berkulit terang atau pun korporasi berkulit sawo matang, yang saling tarik-menarik, antara kepentingan bisnis, melalui penguasaan politik (oligarki), serta penguasaan SDM dan lapisan-lapisan sosial yang berdasarkan referensi tingkat pendidikan dan pengalaman.
Siapa pun pemimpinnya, jika komposisi modal dan pemanfaatan modal tidak berubah. Jakarta tetap begitu-gitu saja.
0 komentar:
Posting Komentar