Saya membayangkan Sulhan duduk di
beranda toko-nya, melihat lalu lalang mobil, melihat langit, mungkin melihat
matahari. Lalu, Sulhan terperangkap dalam suatu wacana, yang dikurungnya dari
pengalaman saat mengendarai motor, pengalaman dalam menyeduh kopi, atau saat
bercakap dan berbenturan ide dengan lawan bicara. Peng-alam-an eksistensial
itulah yang dituturkannya dalam media facebook. Dinding facebook ibaratnya
sebagai alas landasan sebuah kenyataan, yang diurai secara spontan.
Sulhan, dengan pengalamannya
selama berpuluh tahun dalam dunia kehidupan (labenswelt), baik itu kehidupan
sosial, kehidupan berorganisasi, kehidupan dalam bekerja dan bermasyarakat.
Tiba-tiba mengambil jarak dari kehidupan, memilih hidup dengan jeda yang
panjang, sembari mengasuh komunitas-komunitas literasi serta menebar inspirasi
untuk selalu setia pada kebenaran, pada peristiwa.
Sulhan dengan kawannya yang
bernama Sang Guru, dalam situasi yang beliau bentuk mencoba untuk mengungkap
adanya sesuatu, membiarkan Ada berbicara padanya. Jika dipadankan dalam tinjauan
Sein and Zeit (Ada dan Waktu, Martin
Heidegger), Sulhan mencoba melihat sesuatu secara otentik pada setiap gejala
keseharian.
Segala sesuatu dilihatnya secara
mendalam, dengan bantuan teman bercakap, yang tidak lain diri-nya sendiri-Sang Guru. Dalam suasana dialektis itulah, momen-momen kebenaran hadir dan menguasai
Sulhan secara totalitas. Praktik metodelogis seperti ini menuntut adanya
kesiapan mental dan moral untuk mengungkit kesejatian sesuatu. Mengharuskan
kita jujur pada diri sendiri, pada nilai-nilai ideal kebenaran. Sulhan menggali
hingga ke taraf universal nilai-nilai. Pengalaman hidup, keyakinan, pemahaman,
yang diasuh itu dieksternalisasi oleh Sulhan, hingga menjadi butiran-butiran
makna. Tentu, nilai-nilai setiap orang berbeda-beda, atau biasa disebut sebagai
paradigma, cara pandang, yang memang dibangun berpuluh-puluh tahun, dengan
percakapan batin panjang. Di sinilah kadang kita tergelincir, ketika
nilai-nilai itu tidak sampai ke taraf objektivikasi-dan hanya sebatas
eksternalisasi. Sebab, akan hanya dihayati oleh sebagian golongan.
Menurut Haidegger, praktik
fenomenologis seperti ini mengharuskan kita bersikap sebagai pemula. Dalam
istilah Maurice Natanson; fenomenologi adalah a science of beginnings. Untuk bisa berfenomenologi orang harus
bersikap sebagai pemula (beginner).
Dalam pandangan filsafat fenomenologi, yang harus dilakukan adalah sikap seolah
– olah. Kita mengandaikan sesuatu itu baru pertama kali kita lihat. Dalam
keadaan kebaruan, kita selalu terpesona dan bertanya-tanya akan
kenyataan-kenyataan yang kita hadapi. Nah, apakah Sulhan melakoni hidup sebagai
pemula?
Kenyataan hidup, yang dalam
perjalanan hidup, selalu melemparkan seseorang pada kondisi real. Dalam
kehidupan seseorang, ada lonjakan-lonjakan, ada naik turun, dalam kondisi
ekstrim, yang dari pengalaman Heidegger sendiri yang pernah mengalami suasana
perang dunia 1, kondisi-kondisi seperti itulah jiwa dan diri diuji. Keadaanlah
yang memberi ruang terhadap kesadaran. Kesadaran tidak sekadar intensi atau
keterarahan terhadap sesuatu, tapi juga kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Dunia
atau keadaan turut membentuk kesadaran kita. Salah satu yang dimaksud adalah
suasana hati atau bahasa Heidegger sebagai Angs
- kecemasan. Saya cemas Maka Saya Ada. Dalam suasana batin dipenuhi kecemasan
inilah hidup dapat dilakoni sebagai pemula.
Dalam menampakkannya kebenaran,
tidak selamanya betul-betul menampakkan diri. Bisa jadi ada bersembunyi dari
yang tampak. Misalnya, udang yang dipelihara di tambak tiba - tiba lima ekor
mati. Penyebab lima ekor mati ini jika kita tidak jeli bisa salah pengertian.
Bisa saja kita mengira penyebab kematian karena konsentrasi amoniak tinggi, eh
ternyata mati hanya karena kelaparan saja. Nah, bisa saja dalam tulisan Sulhan
tidak semua Ada menampakkan diri. Bisa saja ego Sulhan lah yang mendominasi
sehingga Ada-Guru Han memelintir tuturnya dan membiarkan sang Ego yang tampak.
Haidegger mengajak kita berfikir fenomenologi
(melihat apa adanya pada setiap kenyataan) pada dunia yang serba mekanik dan
modern. Sulhan membawa metodelogi itu pada dunia yang secara struktural masih
bercampur antara dunia mistik dan dunia material dibumbui oleh duia feodal.
Setidaknya percakapan antara
Sulhan dengan Guru Han, mengajak kita awas terhadap kepalsuan-kepalsuan,
tipuan-tipuan kenyataan, ataupun tafsiran-tafsiran ilmu pengetahuan.
Sebuah contoh dalam tutur Sulhan
berjudul : Kritik 1 (Dalam tutur jiwa hal. 118)
Kali ini Sang Guru Membelaku, ketika di sebuah perhelatan pikiran aku
melayangkan kritik, dan orang sekitar cukup abai akan lakonku itu, maka ia pun
menepuk pundakku sambil berbisik: “Han…, nyatakan kesetiaanmu dengan cara
mengkritiknya, bukan dengan cara menjilatnya. Dengan mengkritik, sama halnya
dikau telah menunjukkan adanya ia sebagai manusia, yang memang pada galibnya
bersemayam kealpaan akan dirinya sendiri”.
Tulisan di atas mewakili cara
Sulhan untuk menyingkap ada. Menciptakan gerak melingkar antara menyingkap ada
melalui kritik, sekaligus menyingkap adanya keadaan dan keharusan mengkritik.
Lakon seperti ini mengingatkan kita pada kisah Hamlet, yang anti kritik dan
membuang anak bungsunya karena jujur dalam mengungkapkan keapa-adaan bapaknya.
Makanya, kejujuran dan kritik, kadang-kadang menyisakan rasa sakit. Tapi, dari
rasa sakit itulah hadir otentik, dalam bahasa Sulhan, adanya ia sebagai
manusia.
**
Saran : Membaca tutur dalam tutur
jiwa Sulhan Yusuf janganlah di sembarang situasi. Sebab, tutur jiwa juga dibuat
dalam situasi khusus, ditangkap, dikemas, dan dibiarkan apa adanya.
0 komentar:
Posting Komentar