semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Manusia, biang keladi Bencana

Bencana tidak hanya lahir karena pergolakan alam, tapi juga hasil karya manusia. Bagaimana peranan sains menyikapi hal itu?

Bercerita tentang manusia adalah persoalan yang tak ada habisnya, namun setelah mengamati perkembangan manusia, ada suatu hal yang menarik ditelisik, yakni hubungan manusia dengan alamnya. Bagaimana manusia dapat mengendalikan kelestarian lingkungannya atau mengeksploitasi seenak perutnya saja? Bagaimana sains dan pengetahuan hadir lalu melandasi prilaku manusia terhadap alam? Bagaimana pula dengan alam? Apakah tetap lestari pada tiap tangga-tangga genarasi? Atau malah kian tergerus, rapuh, keropos, lalu timbul bencana. Pun pangkalnya melanda manusia juga.
Bencana lahir bukan tanpa sebab, ada perjalanan panjang dan runtun dalam menimbulkan bencana. Celakanya, walaupun bencana tak dikehendaki manusia, tapi kebanyakan bencana itu hadir karena kecerobohan manusia itu sendiri. Sebut saja kasus semburan Lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak enam bulan lalu, sampai kini masih sangat mengkhawatirkan. Penutupan lahan pemukiman serta lokasi tambang oleh luberan lumpur panas itu masih tetap berlanjut dan telah merebut sandang dan papan ribuan jiwa. Meski begitu, upaya penaggulangan yang ditelorkan pemerintah seakan tak berbuah hasil. Sampai pada akhirnya pemerintah menyetujui rencana pembuangan lumpur ke Sungai Porong meskipun tak diolah. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah baru, disinyalir akan membahayakan ekosistem setempat. Walaupun sekarang, media krasak-krusuk membicarakan urusan ganti rugi, relokasi tanah, pembuatan tanggul, namun belakangan tak disadari bahwa akar masalah telah terlupakan, yakni bagaimana proses perizinan penambangan yang terbukti menyengsarakan itu? Siapa pula yang harus bertanggung jawab? Siapa pun yang bersalah, itu tetaplah perbuatan manusia.
Belum lagi pencemaran yang berlangsung di laut. Pencemaran ini juga didominasi oleh hasil buangan aktivitas manusia, berupa tumpahan minyak, sisa damparan amunisi perang, buangan dan proses di kapal, buangan industri ke laut, proses pengeboran minyak di laut, buangan sampah dari transportasi darat melalui sungai, emisi transportasi laut dan buangan pestisida dari pertanian. Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal. Akibat dari polusi ini akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup di sekitar pantai tersebut. Badan Dunia Group of Expert on Scientific Aspects of Marine Pollution (GESAMP) mencatat sekitar 6,44 juta ton per tahun masuk kandungan hidrokarbon ke dalam perairan laut dunia. Sumber tersebut antara lain: Transportasi laut sebesar 4,63 juta ton/tahun, instalasi pengeboran lepas pantai sebesar 0,18 juta ton/tahun dan sumber lain termasuk industri dan pemukiman sebesar 1,38 juta ton/tahun.
Kegagalan manusia dalam bersahabat dengan alam bukan sampai di situ saja. Tanah lonsor, banjir bandang, polusi udara, hujan asam sampai kemacetan yang berlarut-larut di tengah kehidupan kota akan selalu hadir sepanjang manusia masih menganggap dirinya berkuasa atas alam semesta.
Dari Mekanik ke Sistemik
Sains lahir ketika manusia mulai berinteraksi dengan alam. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana ia berada. Tindakan pun tak lain merupakan produk dari hasil pemikiran. Lantas, bagaimana peranan sains dalam mengkonstruksi alam? Apa yang menjadi latar kerakusan manusia terhadap alam? Yang mungkin disokong oleh paham kapitalisme dan konsumerisme? Kapitalisme yang sangat mementingkan pengolahan informasi, penciptaan pengetahuan, dan hal-hal nonmaterial lainnya. Dengan tujuan utama untuk peningkatkan hasil produksi, hal ini mendorong manusia untuk mengeskploitasi alam tanpa memperhitungkan kaidah-kaidah ekologis. Peningkatan produksi tersebut berbanding lurus dengan pemujaan konsumsi benda-benda material, sehingga melahirkan prilaku konsumerisme berlebihan. Kapitalisme tak lain adalah produk fisika klasik, pemikiran berabad-abad silam dari filosofi mekanistik dan dualisme Newtonian Cartesian.
Isac Newton dan Descartes memandang alam semesta sebagai mesin besar yang tak bertujuan, tak memiliki ruh, tapi bekerja pada hukum mekanis. Sains Cartesian Newtonian ini menganut paham dualisme, yaitu pemisahan antara alam dan manusia. Manusia dianggap sebagai bagian yang hidup, berdiri di atas alam pikiran (res cogitans), bertindak sebagai penguasa materi-materi tak hidup, dunia di luar pikiran disebut alam materi (res extensa). Alam pun digambarkan sebagai obyek yang dapat diperbaiki, seperti halnya sebuah mesin. Dari situ, paham Antroposentrisme (manusia sebagai pusat alam semesta) muncul, menempatkan manusia pada lokus utama dalam pembangunan lingkungan. Pandangan ini beranggapan bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar sebagai alat bagi pemuasan dan kepentingan manusia. Kebijakan manusia dalam konservasi alam pun dilakukan jika bersifat menguntungkan.
Pandangan mekanistik ini mendorong manusia untuk terus menggali dan meneliti sumberdaya yang terkandung dalam alam ini. Manusia kemudian mendirikan pabrik-pabrik hingga mencemari udara, produksi pertanian dan pembangunan pemukiman dengan melakukan penebangan dan pembakaran hutan tanpa batas kemudian memproduksi asap ke negeri seberang, prilaku konsumerisme manusia yang berlebihan dengan menghasilkan gunung-gunung sampah, prilaku tak ramah lingkungan dengan membuang sampah sembarang tempat, terutama limbah industri dan rumah tangga yang terakumulasi di perairan darat, macam sungai, waduk, dan danau.
Cara pandang mekanistik dan parsial itu terbantahkan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Menjelang abad ke-21, kemegahan mekanika Newton itu tenggelam dalam perkembangan fisika kuantum dan relativitas. Kuantum yang berkutat pada kajian subatom dan bagian-bagiannya itu menjelaskan bahwa elektron, proton, deutron dan neutron adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Meski elemen-elemen itu mempunyai peranan khusus, namun jika terpisah dari sistem ia tak berarti apa-apa. Fisika klasik beranggapan bahwa terdapat materi yang tak dapat direduksi lagi dan bersifat statis. Belakangan, fisika modern menemukan bahwa materi itu tidaklah statis, tapi dinamis. Pada level subatomik materi menjadi gelombang, mirip pola-pola probabilitas. Pola-pola ini tidak menyajikan kemungkinan benda-banda, melainkan lebih berupa kemungkinan kesaling-hubungan. Partikel subatomik tak memiliki arti sebagai entitas yang terisolir dan hanya dapat dimengerti sebagai interkoneksi, atau korelasi-korelasi antara beragam proses observasi dan pengukuran. Pola dan kesalinghubungan itu menjadi latar lahirnya teori sistemik. Paham ini belakangan dipelopori Frinjof Japra lewat bukunya yang berjudul Jaring-jaring Kehidupan.
Prinjof Japra melebarkan sayapnya memperdalam kajian sistemik dengan melibatkan disiplin ilmunya di bidang fisika teoritis. Menurut pemikiran sistem, sifat-sifat dasar sebuah organisme, adalah sifat keseluruhan yang tidak dimiliki oleh bagian-bagian. Pemikiran sistem melahiran kaidah pengaturan diri, autopoesis yang dicetuskan oleh ilmuan syaraf Chili Humberto Maturana. Autopoesis adalah proses transformasi komponen-komponen dalam jaringan. Keseluruhan jaringan terus menerus membuat dirinya sendiri. Jaringan diproduksi oleh komponen-komponen dan sebaliknya, ia memroduksi komponen itu. Karakter dari autopoesis ini ada dua, yaitu mempertahankan diri dan mengatasi diri. Pertama memungkinkan sistem hidup menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan, yang kedua memungkinkannya untuk berkembang dan relajar. Ciri autopoesis mengikuti enam prinsip ekologi, yaitu kesalingbergantungan (interdependensi), kedaurulangan (Cyclicty), kemitraan (partnership), keluwesan (flexibility), keanekaragaman (diversity), dan keberlangsungan (sustainability).

Bersahabat dengan Alam
Berpijak dari penomena tersebut, Pritjof Capra menerapkan konsep berpusat pada alam, ekosentrisme. Ekosentrisme berpandangan bahwa manusia tidak lain adalah bagian tak terpisahkan dari alam, bukan sebagai penguasa alam. Manusia dan alam terkait dalam sebuah sistem. Dari situ, Capra memperkenalkan istilah ekoliterasi yang berarti sadar lingkungan. Masyarakat dunia jika tak ingin merasa terancam kepunahannya, mesti mempertimbangkan matang-matang segala tingkah lakunya, khususnya dalam bersikap dengan alam. Mereka harus belajar bersahabat dengan alam. Selain itu, Capra menawarkan konsep ekodesain. Ekodesain adalah upaya perancangan ulang teknologi dan institusi sosial secara mendasar, untuk menjembatani celah antara desain manusia dan sistem-sistem alam yang berkelanjutan secara ekologis. Teori ini belakangan mendorong negara-negara di dunia untuk menerapkan pembangunan bersifat seimbang, yang disebut teori berkelanjutan.
Dalam pembangunan berkelanjutan, Emil Salim, mantan menteri lingkungan hidup mengatakan bahwa jejaring ekonomi, sosial, dan ekologi itu saling mempengaruhi dan diatur dalam pemerintahan yang mencakup pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Sebab, pembangunan itu tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perut, tetapi juga melestarikan alam. Pembangunan yang dilaksanakan jangan sampai melebihi daya dukung alam, yang akan membawa kehancuran pada kehidupan generasi mendatang.
Pembangunan ekologi selain untuk melestarikan fungsi sumber alam yang penting bagi pelestarian, seperti air, iklim, udara, tanah, flora dan fauna. Dalam pebangunan berkelanjutan di bidang ekonomi, pembangunan hendaknya diarahkan pada pembangunan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Produksi pangan juga diarahkan yang tahan pada perubaan iklim.
Strategi di bidang ekologi perlu memanfaatkan keragaman hayati. Dengan mempelajari kearifan lokal yang tersebar di penjuru negeri, bangsa ini barangkali bisa unggul dalam bidang obat, pangan, industri yang berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Kita patut bersyukur karena Indonesia mulai melirik pengembangan biodiesel. Bahan bakar berupa minyak lemak yang diperoleh dari berbagai macam sumber, seperti minyak sawit, minyak kelapa, lemak ternak, maupun minyak dari jarak kastroli dan juga lemak hewan. Jarak pagar (Jatropha curcas) adalah contoh boteknologi yang gandrung diteliti. Menurut Tirto P. Brodjonegoro dkk dari Departemen Teknik Kimia, Laboratorium Termofluida dan Sistem Utilitas, Kelompok Riset Biodiesel ITB, Melalui thermal atau catalytic cracking tanaman ini akan dihasilkan berbagai produk seperti berupa gas, gasoline, kerosin, dan diesel, yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Serta melalui esterifikasi transesterisikasi akan dihasilkan produk berupa biodiesel yang digunakan untuk pembangkit genset, kendaraan diesel, dan burner.
Dalam bidang teknologi dengan menciptakan produk yang bisa didaur ulang dan tidak menjadi sampah. Contohnya yaitu pembuatan tinta khusus, tintanya dapat terhapus jika dicelupkan dalam air. Tinta dan kertas dipisahkan dan dapat digunakan kembali. kertasnya pun ternyata lebih tahan lama dibandingkan dengan serat daur ulang konvensional. Dalam bidang industri, diharapkan terciptanya industri yang ramah lingkungan, dengan menerapkan kaidah-kaidah ekologis berupa recycle, reuse, recovery.
Kesadaran lingkungan sangatlah diharapkan. Kesadaran manusia untuk menyudahi perlakuan buruk terhadap alam. Jika tidak, sepanjang perjalanannya, manusia akan terus dihantui bencana yang bisa datang kapan saja. Dengan kesadaran itu semoga hasil karya manusia berupa teknologi mutakhir, produk, dapat bersahabat dengan alam dan menjamin kelestariannya.

Idham Malik



0 komentar:

Manusia, biang keladi Bencana