semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Menabung Buat Mayat


Selasa dini hari (8/7), kami tiba di kota tua Sulawesi Selatan, Tanah Toraja. Badan capek lantaran menghabiskan waktu sekitar lima jam di atas kendaraan beroda empat, bus teknik Unhas. Apalagi saat melewati kota Ma’senrempulu Enrekang, uh badan terpontang panting kiri kanan depan belakang. Belokannya cukup tajam, dengan tanjakan yang dapat membuat mesin mobil meraung-raung. Saat itu saya duduk di jok kursi paling belakang, dimana guncangan mobil paling dahsyat. Kadang kepala terbentur kaca jika mobil melewati polisi tidur atau jalan berlubang.
Pukul 04.00 dini hari, mobil memasuki batas kabupaten Tanah toraja, tiba-tiba muncul kepuasan tersendiri dalam pikiran dan hati. Toraja, kota yang sejak empat tahun lalu ingin kujajaki akhirnya tersampaikan juga. Eksotismenya pun saya serap, meski yang nampak hanya pemandangan pedesaan di kegelapan malam, dimana bulir padi matang yang tak terlihat, pepohonan berderet di pinggir jalan serta rumah kayu dan batu yang berjejer jarang-jarang. Mata tak dapat lepas pandang dari kesederhanaan Toraja, hingga mobil berhenti tepat di kelurahan Rantelemo, rumah saudari Nova, tuan rumah tur Hunting besar Unit Kegiatan Fotografi mahasiswa Unhas.
Sesampai di rumah, kami langsung membaringkan badan. Saya pun dengan segera menutup mata dengan meluruskan tubuh di atas sofa merah marun. Awalnya saya kesulitan tidur lantaran udara dingin yang menusuk, tapi setelah tapak kaki terbungkus oleh kaus kaki, badan tertutupi sarung, pikiran pun lenyap, dari sekadar hayalan tentang bola mata yang indah dan bibir yang ranum, seketika menuju kekosongan yang nikmat. Laju frekuensi otak melambat dan memasuki fase delta. Fase di atas mimpi dimana tak ada lagi penampakan. Dua jam berlalu, pagi menyambut dengan hangat, tubuh yang menggigil dan gigi gemeretak dengan cepat terobati oleh sajian kopi toraja hangat. Dengar-dengar, kopi khas itu sudah diklaim Negeri Jepang sebagai hak miliknya. Entahlah, tapi amboi rasanya...
Pada hari pertama itu, kami berangkat ke Batutumonga, yaitu keajaiban sebuah batu yang melengket di bebukitan dengan ketinggian mencapai 1500 km di atas permukaan laut. Namun, bis kami tak sanggup mendaki jalan terjal tersebut, selain terkendala badan jalanan yang sempit. Tapi, kami menyempatkan waktu untuk mengabadikan beberapa lokus ketinggian yang enak dipandang mata. Di dataran tinggi itu, tampak hamparan sawah dengan sistem sangkedan yang menguning. Diantara ladang butiran padi yang matang itu, terdapat batu-batu hitam raksasa. Sepertinya pada jaman dahulu kala, terjadi ledakan besar sehingga batu-batu itu berhamburan di permukaan tanah.
Sorenya kami kembali ke Rantelemo, tentunya dengan kegembiraan yang sangat. Kita sepertinya masuk dalam lubang hitam waktu, dimana tak ada pikiran akan berlalunya waktu. Dalam mobil, para peserta tampak sibuk mengamati hasil jepretannya sembari tersenyum kecil, terbahak-bahak, dan ada yang bermuka kecut. Saya tak punya kamera saat itu, mata saya cuma memandangi balik kaca yang basah oleh bulir-bulir hujan, dimana eksotik bangunan adat toraja hadir pada hampir di setiap rumah warga. Tak jarang pula rumah yang memiliki tongkonan di pekarangannya yang luas beserta lumbungnya. Saya pun dibuat kaget setelah tahu bahwa untuk membuat bangunan seperti itu butuh anggaran paling minim Rp.200 juta ditambah lumbungnya seharga Rp.60 juta. Orang Toraja kaya-kaya ya..
Tongkonan dipercaya sebagai kediaman tempat kembalinya arwah mereka yang telah meninggal, termasuk para nenek-nenek yang lebih dahulu berkalang tanah. Disana, para arwah keluarga beristirahat hingga akhir masa. Bagi keluarga yang ditinggalkan, tongkonan dianggap sebagai bangunan untuk mengenang dan menyiarahi para nenek dan orang tua yang telah almarhum. Tongkonan diasosiasikan sebagai perempuan, sementara lumbungnya sebagai lelaki. Jadi setiap tongkonan mesti berpasangan dengan sebuah lumbung. Tapi, ada pula yang menganggap tongkonan sebagai representasi status seseorang atau keluarga. Jika di halaman rumah sudah terdapat tongkonan, maka penghuni rumah itu akan semakin dihormati dan disegani. Jadi, tongkonan menjadi barometer prestise masyarakat.
Esoknya kami berkunjung ke Kecamatan Sanggala, di sana ada upacara naik rumah atau meresmikan rumah adat Tongkonan milik Sambolangi Nabendanni Ne’ada. Saat itu suasana upacara yang masuk kategori Rambu Tuka (upacara kebahagiaan) ini sangat meriah, ratusan anggota keluarga Ne’ada duduk dengan tenang di dalam lantang, yaitu bangunan yang terbuat dari bambu yang dirakit membentuk kotak persegi. Mereka terlarut dengan prosesi upacara sambil menyeruput kopi toraja dan beragam kue tradisional. Serunya, kami dapat menyaksikan babi yang dipasung dalam kotak bambu dengan beragam hiasan, seperti memakai kain batik toraja serta pernak-pernik dengan ukiran khas Toraja. Kotak babi-babi itu dipikul dan diarak oleh warga dari tempat yang cukup jauh. Saat memikul mereka sesekali meneriakkan “aaaaikkkhh”, kadang serentak sehingga menghasilkan gemuruh suara yang merindingkan bulu roma.
Para babi pun terlihat begitu menderita, meronta-ronta, tak jarang mengeluarkan suara yang mirip tangisan manusia. Kalau mau dihitung, jumlah babi hasil persembahan anggota keluarga itu melebihi 50 ekor. Saat babi-babi itu tiba di depan tongkonan Ne’Ada, beberapa warga yang ditugaskan dengan sigap menusukkan belati ke dada hewan jelmaan Cu Pat Kai dalam serial Sun Go Kong itu satu persatu. Kemudian membiarkannya terkapar hingga darah segar dengan seketika muncrat lewat lubang di tubuhnya itu. Semenit selanjutnya, darah sudah mengalir keluar dari mulutnya. Babi-babi yang sudah tamat riwayatnya lantas diangkat ke belakang rumah, di sana telah tersusun perapian yang terbuat dari kayu bakar dan batang pohon. Babi-babi itu dibaringkan satu persatu dalam api yang membara. Seketika hewan itu pun terpanggang dengan tubuh terbujur kaku. Babi yang bulu-bulunya sudah rontok dan kulitnya tampak gosong diangkat di kumpulkan di tempat pemotongan. Di tempat ini warga telah siap dengan parang masing-masing di tangan. Memisah-misahkan anggota badan babi, tangan, kaki, kepala, dan badan. Anggota badan bagian dalam pun dikumpulkan, seperti jantung, paru-paru, beserta tulang belulangnya. Anehnya, darahnya pun dikumpulkan di dalam lubang bambu. Katanya darah itu akan dicicipi juga, bersamaan dengan dagingnya. Tak tahulah bagaimana rasanya.
Ketika warga dan anggota keluarga khusuk dalam prosesi itu, moderator yang bernama.............., membumbuhinya dengan kata-kata sambutan buat rombongan arakan babi yang baru tiba. Di samping menjelaskan siapa itu Sambolangi Nabendanni Ne’ada. Menurutnya, nenek yang sudah tiga tahun meninggal itu adalah seorang yang berjasa pada zamannya. Hebatnya, kata-kata yang dikeluarkan menggunakan bahasa toraja kuno, sehingga orang toraja sekarang saja tak tahu arti kata yang diucapkan sang moderator tersebut. Kata-kata itu bak mantra yang dapat membius setiap orang, membawanya ke dunia antah berantah, sekaligus akan meningkatkan ekstase iman terhadap kepercayaan kunonya.

Esoknya, kami dapat undangan untuk menghadiri pesta kematian seorang warga di kelurahan Larongko. Menariknya, upacara kematian nenek yang bernama Maria Doi berumur 104 tahun itu akan diiringi acara silaga tedong (adu kerbau). Kedengarannya seru. Namun, sesampai di sana acara adu kerbaunya ternyata belum berlangsung, kabarnya baru dilaksanakan siang harinya. Lantaran tak ingin membuang waktu dengan percuma, kami dengan berat hati pamit dengan tuan rumah. Rumah yang kental dengan suasana mistis, diiringi lantun lagu khas kematian dengan nada sedih yang disebut lagu Suling Toraya.
Kami berangkat melewati tanah yang basah. Terjadi anomali di sini, bulan Juli yang mestinya sudah kemarau ternyata muncul hujan. Hujannya pun datang tiap hari, dimana matahari malu-malu memancarkan sinarnya. Hari pun selalu kelabu, sebentar hujan, terang, kemudian mendung lagi. Kami akhirnya sampai di lokasi upacara Rambu Solo (Upacara kematian) yang lain, yaitu di daerah Sa’dan.
Saat itu kami disambut dengan kerumunan babi yang diikat pada sepotong batang bambu. Ada pula beberapa kerbau yang diantaranya dua ekor kerbau belang yang harganya sekitar Rp. 30 juta. Babi-babi dan kerbau itu dibawa dan merupakan sumbangkan keluarga almarhum. Almarhum yang sudah tiga tahun tiduran di dalam peti dan baru saat itu hendak diupacarakan. Ratusan keluarga pun duduk di bangunan bambu yang bernama lantang, sembari menyeruput kopi toraja dan mencicipi sajian nasi compur daging babi. Saat keluarga sudah terkumpul, moderator mulai membacakan nama keluarga satu persatu. Keluarga yang telah disebut namanya lantas berbaris di belakang tiga orang penari laki-laki yang mengenakan pakaian adat Toraja.
Para anggota keluarga yang berpakaian hitam-hitam itu membentuk dua barisan, yaitu barisan laki-laki dan barisan perempuan. Tepat di belakang penari itu ada seorang yang menyanyikan lagu suling toraya dibantu seorang yang meniup suling. Sebelum bergerak, babi-babi dan kerbau yang telah disumbangkan oleh keluarga yang disebutkan namanya terlebih dalulu diangkut beramai-ramai ke depan rumah tempat keluarga berkumpul sambil meneriakkan “aaakkhhiii”. Saat itu para turis asing dan wisatawan yang juga terkesima melihat adegan itu dengan sigap memotret untuk mengabadikan gambar pengakutan babi tersebut.
Setelah lima menit diletakkan di depan bangunan utama, hewan tersebut diangkut kembali ke tempat semula. Ternyata, diantara sumbangan-sumbangan itu adalah utang. Ada pula yang mengatakan sebagai investasi. Sebagai utang karena babi itu akan dikembalikan oleh keluarga terdekat almarhum jika saja keluarga yang menyumbang tadi meninggal dunia dan hendak diupacarakan. Misalnya, jika yang disumbangkan adalah satu kerbau belang dengan harga Rp. 50 juta, maka nanti juga akan digantikan dengan kualitas kerbau yang sama dan harga yang setimpal.
Saat penyanyi yang sudah berbau tanah itu menyanyi lirih, para penari pun bergerak pelan ke depan dengan menghentakkan kaki dengan irama tertentu sambil berputar-putar. Barisan yang membentuk ular hitam itu mengelilingi bangunan buatan, kemudian masuk ke dalamnya. Setelah beberapa menit di dalam bangunan itu, mereka keluar pelan-pelan dengan membentuk barisan lagi, dan tak lama kemudian akan terbentuk barisan baru dengan keluarga yang berbeda, tentunya dengan prosesi yang sama.
Jam menunjukkan pukul 12.00 wita, langit masih mendung, sebentar lagi hujan deras. Saya berlekas menuju bis sembari menunggu teman-teman di sana. Dalam benak saya berkecamuk tanya, “orang toraja buang-buang duit ya!” Mereka menabung dan berhutang kiri kanan hanya untuk persiapan menghadapi mati. Yang mati pun bukan dirinya, tapi orang tuanya, saudara atau neneknya. Anggapannya, mereka harus membalas budi keluarga mereka dengan cara membantu mengadakan upacara Rambu Solo.
Di sana ada semacam aturan tidak tertulis, mereka yang berdarah Toraja harus menghormati adat Alu Tudolo jika tidak ingin durhaka sama nenek moyang. Dan akhirnya, mereka harus mengorbankan puluhan juta hingga milyaran sekadar untuk upacara kematian. Makanya, bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan mesti menunda pelaksanaan upacara hingga bertahun-tahun sampai dana untuk upacara tercukupi. Dana itu diperoleh dari sumbangan atau hutang dari keluarga dan karib kerabat. Setiap keluarga pun mesti mengucurkan anggaran tak sedikit untuk membantu pengadaan upacara Rambu Sulo keluarganya. Jika tidak, mereka akan mendapat sangsi sosial. Disamping faktor gengsi yang tinggi dalam memperlihatkan harta masing-masing. Keluarga yang telah dibantu tadi pun harus melunasi utangnya dengan memberi sumbangan pula jika yang menyumbang barusan meninggal kelak. Upacara Rambu Solo ini sepertinya mengandung unsur duniawi, menyangkut hubungan manusia yang diikat oleh kepemilikan material dan harga diri.
Sekitar pukul 13.00 Wita, bis Teknik itu berhenti di depan mesjid yang masih dalam wilayah Sa’dan. Disana kami menyempatkan diri untuk santap siang dan Shalat Duhur. Setelahnya kami berangkat menuju icon utama toraja, yaitu Ketakesu. Pada lokus budaya dan pariwisata itu terdapat sekitar delapan rumah adat tongkonan yang berjejer rapi dan berhadapan dengan lumbungnya masing-masing. Umur setiap tongkonan diperkirakan mulai dibangun sekitar awal kemerdekaan Republik Indonesia, 1945 yang lalu. Ada pula rumah yang berdiri sebelum kemerdekaan. Atap tongkonan itu tampak berlumut, menandakan umurnya yang sudah terlampau tua. Menurut orang tua yang ada di sana, tongkonan itu mulanya tersebar-sebar karena terdiri dari beberapa keluarga, kemudian muncul inisiatif orang-orang terdahulu untuk mengumpulkan para keluarga. Sehingga setiap rumah pun berhasil dipersatukan dan akhirnya menjadi situs parawisata yang terkenal hingga tingkat internasional.
Selain rumah adat, di situs itu juga terdapat kuburan batu yang tepat berada di gua yang letaknya sekitar seratus meter dari rumah kompleks rumah adat. Sepertinya disana hanya diperuntukkan untuk makam keluarga yang terdiri dari keluarga.......... . Seperti tempat wisata pada umumnya, terdapat pula toko-toko suvenir. Harga yang ditawarkan di sini relative lebih murah dibanding harga di pasar. Beberapa diantara kami pun merelakan uang dikantongnya untuk membeli bermacam-macam souvenir. Setelah dari Ketakesu, kami kembali dengan lega. Tak terasa hari sudah gelap, matahari sudah tampak lesu dan tertutup awan. Kami pun tiba di Rantelemo dengan hati lapang dan badan lelah. Sisanya tinggal istirahat dan memulihkan tenaga.
Sehabis santap malam, terdengar kabar bahwa kami akan balik ke Makassar tengah malam nanti, meski terasa berat meninggalkan kota kuno ini, rasa-rasanya kami rindu Makassar juga. Saya sendiri sudah beberapa kali di-SMS untuk segera pulang, tanggungjawab keredaksian menunggu di kampus Unhas, lagian, cukup banyak orang yang bertanya-tanya mengenai kepergian saya. Bahkan ada yang menganggap saya tidak bertanggungjawab karena telah meninggalkan redaksi. Untuk itu, terserahlah, kan pikiran orang berbeda-beda, kita lihat saja dampaknya. Karena itu satu-satunya indikator dan ekses yang dapat diukur. Thanks...



0 komentar:

Menabung Buat Mayat