semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

September Itu...... seperti Kantong Ajaibnya Doraemon


Dalam sejarah Indonesia, September terkenal dengan gerakan 30/S/PKI, dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) hendak mengambil alih tampuk kekuasaan dan membunuh para dewan jendral. Bagi mereka yang meyakini hal mistis berbau horoskop, september muncul dengan zodiak virgonya. Ramalan bintang itu cukup banyak menyihir kaula muda dalam hal berprilaku. September.. banyak nama berasal dari kata itu, macam Septiani, Septiadi, Septin, atau Septianus.. September mungkin menginsipirasi penggubah lagu, puisi, budayawan, penulis atau sutradara film. Maka lahirlah.. beragam karya dengan latar september..
So.. kalau begitu, apa pengaruhnya September bagi saya? Emm.. pengaruhnya ada barangkali. Pada bulan ini, sejak tanggal satu hingga hari penutup bulan bertepatan dengan bulan suci di penaggaan Hijriah, yaitu Ramadhan. Sejak awal bulan, saya mulai sedikit merubah ritme dan pandangan hidup. Ritmenya ya jadwal istirahat dan aktivitas. Sebelumnya sih mengikuti alur normal, tapi September ini memberinya sedikit arti. Saban tengah malam sejak awal ramadhan saya membiasakan diri untuk sujud menyembah kepada-Nya, dalam untaian Shalat lail. Media penyaluran rinduku pada sang pencipta. Bertemu dengan-Nya di saat-saat itu memberi kenikmatan, energi untuk menempuh hari semenjak mentari memancarkan sinarnya. Ah..mungkin semua dampak itu sekadar sugesti, tapi tak apalah. Kalau sugestinya menguntungkan, kenapa tidak?
But, jujur saja, untuk tataran ibadah, itu saja yang bertambah. Merambah ke wilayah lain saya belum kepikiran. Mungkin setan masih menggelantung di batang-batang sel kognitifku. Sepenuhnya sayalah yang khilaf, Tuhan tetap Maha Agung.
Bulan puasa di September ini pun sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, khususnya pada pengalaman saya. Setelah hampir sepekan menjalani ibadah yang tujuannya membuat para hamba Allah menjadi takwa ini, saya merasa lebih enjoy atau bukan lagi menjadi sebuah tantangan. Saya bukannya takabur, tapi memang seperti itu kejadiannya. Entah pekan kedua bisa jadi menyerang dan membuat saya terkapar kayak cacing kepanasan. Semoga saja tidak.
Perbedaan yang mencolok pada September ini (ramadhan), saya tak pernah lagi kepikiran ke kantin ramsis yang biasa saya lakoni setiap matahari sudah sedikit melewati kepala. Kantin nomor satu di kampus ini dengan sajian tempe ramsisnya yang terkenal itu. Ada juga faedahnya, karena waktu sekitar sejam itu saya dapat gunakan untuk kepentingan lain. Ya.. pakai bercanda, membaca buku atau browsing internet. Kalau sudah seperti itu, pikiran tentang makanan sudah di bawah kolong lagi.
September ini pula saya kepikiran untuk merancang masa depan lebih baik lagi. Sebelumnya, saya menjalani hari dengan aktivitas tak tentu dengan tujuan sekadar ingin tambah pengetahuan saja. Tapi, sejak September, saya mencanangkan beberapa agenda untuk mencapai beberapa target. Pelajaran saya mulai fokuskan, waktu pun begitu. Pertama saya harus me-refresh ulang basic study, yaitu Budidaya Perairan. Saya sepertinya sudah ketinggalan kereta dibanding teman-teman se angkatan. Mereka pada mengejar tayang, memburu rezeki, sementara saya masih berputar-putar di wilayah universitas: zona kenyamanan saya. Lama saya berpikir untuk kembali belajar, hal itu melayang-layang di benak saya selama tiga hari berturut-turut. Sehingga muncul pikiran untuk segera memulai, jika tidak saya akan stress berat dan menjadi tak berdaya. Apalagi ditambah pikiran yang lain-lain. Salah satu yang terberat adalah pikirkan anak gadisnya orang. He..he...
Dan September ini saya mulai mengobati penyakit nalar itu. Kumulai dari meminjam buku loak milik dosen perikanan, Kak Husnul Yakin yang kini belajar di Jerman dan belum pulang-pulang. Judulnya Budidaya Air, disunting oleh Alfred Bittner, terbitan tahun 1989 (saya masih minum susu botol saat itu). Lumayan pikirku, isinya beragam dan menyangkut semua inti budidaya. Diantaranya yang menarik, Pengembangan Akuakultur:integrasi dalam sisem produksi pertanian, Masalah Penyakit dalam Budidaya Air Daerah Tropis, Kebutuhan Gizi Ikan Mas Karper, Faktor Lingkungan Dominan pada Budidaya Udang Intensif. Buku terbitan Yayasan Obor Indonesia ini adalah buku perikanan pertama yang membuat saya tertarik membaca tanpa mengenal waktu. Gaya bahasanya yang lugas, disertai kelengkapan datanya yang akurat. Analisisnya pun lebih tajam dibanding semua analisis yang pernah saya dengar di dunia ikan. Bisa jadi masih banyak buku perikanan sehebat ini, tapi lantaran sedikitnya buku ikan yang saya kenal, ya jadi begitulah kesimpulan saya tadi. Meski begitu, saya belum sepenuhnya mengerti dan dapat menancapkan analisis dan data itu di jaringan neuron otak, sepertinya saya butuh teman sharing dan aplikasi langsung di lapangan.
September ini, saya berpikiran untuk memanfaatkan waktu di masa cuti saya yang kedua kalinya untuk perencanaan studi yang lebih efisien. Satu langkah sudah ditempuh, yaitu mencari seorang motivator handal yang dapat membangkitkan semangat saya. Orang luarbiasa itu tak lain Pembimbing Akademik (PA) saya sendiri, Yushinta Fujaya, dosen yang saya kagumi sedari dulu. Saya bertemu pada hari Rabu (3/9), saat saya menunggu bidadariku yang baru balik dari aktivitas pengabdian akademiknya di kelurahan Benteng, Kab. Sidrap. Lama menunggu di pelataran jurusan, Ibu itu yang justru datang membawa harapan.
Mulanya saya berbasa-basi, menanyakan usaha Ibu mematenkan penemuan Vitomolt-nya di Sentra HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Setelah perbincangan itu, saya pun memberanikan diri untuk mengajukan permintaan ikut penelitian dengannya. Pertimbangannya, saya tak boleh buang-buang waktu, jadi saya mengatakan ingin mencari bahan dan mematangkan penelitian yang kelak saya lakukan. Ia mengangguk dan memberikan respon positif. “Bagus, emm.. saya punya penelitian lanjutan dari hasil kepiting lunak kemarin. Kamu bisa kerja itu, dan kemungkinan kamu akan bekerja di Banjarmasin tanpa mengeluarkan biaya. Ok. Kamu siapkan bahannya dulu untuk waktu cuti mu ini, semester depan kita tancap,” komentarnya dengan semangat.
Mendengar itu, beribu terimakasih terucap dalam hati. Syukur pada tuhan, karena telah dipertemukan dengan Ibu yang telah menginspirasi banyak orang di rubrik Sosok Koran Kompas edisi, 7 Juli ini. Ibu kepiting, saya harus memulainya dengan mempelajari semua yang berkaitan dengan kepiting. Sekali waktu, saya pun menghabiskan waktu tiga jam membaca skripsi yang berkaitan dengan kepiting di perpustakaan fakultas.
Hal lain yang kian memacu adalah saat saya berkunjung ke kenduri milik Saudaraku Safir yang telah menamatkan studinya pada Kamis, 4 september ini. Acara selamatannya mendatangkan kawan-kawan seangkatanku, adik dan kakak angkatan. Teman-temanku ini pada menanyakan kabarku, bagaimana penelitianku, kapan selesai. Mendengar itu, saya hanya menggeleng dan mengatakan belum, “masih lama kawan”. Tersirat perasaan kasihan dari wajah teman-temanku itu, mesti terkulum senyum di wajahnya. Mungkin mereka menganggap saya terlalu lama berleha-leha dan melupakan studi.
Tapi, saya tak mau dikasihani. Perasaan tak acuh muncul lagi, meski senyum terkulum lembut di wajah ini. Saya menganggap, justru saya telah berbuat lebih dibanding mereka. Saya telah memanfaatkan ilmu yang saya punya untuk kepentingan orang banyak, meski bukan ilmu perikanan. Anggapan apa guna ilmu tanpa aplikasi melayang-layang lagi di kepala. Tak ada salahnya kan? Bukannya kehidupan ini harus diisi sebaik mungkin untuk kebaikan bersama. Pengorbanan tentu kadang dituntut, pengorbanan yang tak seberapa dibanding penderitaan manusia yang tak kepalang perihnya. Landasannya, ya sejurus dengan anggapan bahwa kejahatan terberat adalah membiarkan kemiskinan dan kebodohan. Saya pun tak ingin ketinggalan kereta untuk memberantas itu. Walau hanya dengan kekuatan media yang pastinya tak sebanding dengan kekuatan modal raksasa para korporat besar. Mesin yang tak henti-hentinya menghewankan manusia dalam laju perekonomian global yang justru kian menciptakan kesenjangan.
Ah.. lagi-lagi takabur menjangkiti, padahal belumlah cukup apa yang telah saya berikan untuk kehidupan ini.
Memang sih ilmuku beragam, namun divergen. Saya belum mendekati kriteria seorang ahli pada satu cabang, tapi ada kecendrungan ensiklopedis. Tahu banyak, tapi belum banyak tahu. Saya sadar akan itu, tapi lagi-lagi sisi kemanusiaan saya yang lain menghalangi mengarah ke sana. Saya seperti terlempar jauh dan berbuat semaunya saja.
Saya sangat mencintai ilmu, tapi hingga kini masih saja saya khawatir terhadap waktu yang terus berjalan ini. Adakah yang tersisa buatku? Sepertinya, dalam batok kepala saya banyak hal yang telah terlupa. Saya bukanlah orang yang pintar mengorganisir data. Saya sadar akan kelemahan otak saya, yang bisa dibilang biasa-biasa saja. Meski telah belajar saban hari, membaca apa saja, tapi kemampuan untuk menelurkan ilmu dan bertukar pikiran tentang pengetahuan sebelumnya seringkali tersendat. Kadang, pesimisme datang dan membisiki, “Buat apa belajar kalau toh yang diperoleh hanya keringat, bukan ilmu”. Menghayati itu, saya kemudian berfikir, mungkinkah ini adalah karunia tersendiri dari yang maha pencipta? Pikiran lain, “justru inilah kekuatan saya sebenarnya, yang membuat saya tak pernah bosan untuk mengulang-ulang, berdoa dan beryukur kepada tuhan akan karunianya yang tak terhingga. Masih banyak orang yang tak seberuntung saya. Dari National Geografic saja dikatakan bahwa jumlah manusia yang tak mengecam pendidikan ada sekitar satu miliar. Satu dari enam orang di dunia ini,” terima kasih tuhan.

Rasa syukur lagi karena saya masih punya sahabat yang senantiasa hadir dalam kesulitan dan kesenangan. Jadi tak salah kalau teman-teman saya menanyakan hal yang demikian, setidaknya mereka prihatin sekaligus memberi semangat agar segera mengikuti jejaknya untuk segera keluar dari surga dunia ini (Kampus-red). “Tunggu saja kawan, saya akan menyusulmu,” batinku.
September, kamu seperti kantong ajaib milik robot kucing setengah jadi Doraemon. Saya adalah Nobita yang tak henti-hentinya merengek untuk dikabulkan permintaan lewat kantong ajaib itu. Ada pula pikiran, jangan sampai keinginan yang terkabul hanya sementara saja, setelah itu lantaran ketamakan dengan cepat musnah lalu menyengsarakan. Tapi, kan hanya mirip, jadi tak selamanya sama. Bolehlah pikiran seperti itu. Betul tidak?
Terakhir Oh.. September, bulan kelahiranku, bulan yang membuatkan semakin tua dan mendekati kubur. September.. ada satu permintaan yang belum terkabuli. Bidadariku belum juga kutemui. Kapan ya ketemu dengannya...?

7 September 2008
Di ruang kecil PK identitas Unhas



0 komentar:

September Itu...... seperti Kantong Ajaibnya Doraemon