semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Jangan Kuras Lautku


Sore itu adalah potongan hari yang istimewa. Tahu kenapa? Setelah sekian lama tinggal di Makassar, baru kali itu saya menyambangi icon pariwisata kota Makassar, Anjungan Pantai Losari paska renovasi tahun 2005. Setelah terbangun dari tidur siang di ruang diskusi sekretariat identitas, saat tenaga kembali terkumpul walau sudah 3/2 hari dilewati dengan berpuasa, saya diajak oleh senior yang merupakan seorang wartawan media elektronik RCTI. Ia hendak meliput aktivitas ngabuburit (menunggu buka puasa) di anjungan losari. Saya pun tak menyia-nyiakan ajakannya, kataku dalam hati, sekalian ingin mencari suasana baru di bulan Ramadhan ini. Lagian, sudah lama saya terkurung di habitatku ini, kampus merah.
Sesampai di sana, matahari masih 45 derajat dari garis permukaan laut. Sinarnya masih menyengat kulit, pantas saja, masih pukul 17.00 Wita ternyata. Meski begitu, tampak belasan anak-anak sedang asyik memancing di atas rangkaian balok-balok plastik yang mengapung-apung 20 meter dari tembok anjungan. Mereka ditemani orangtuanya masing-masing, kelihatannya ini adalah momen berguna bagi mereka untuk saling berbagi kasih sekaligus memperkenalkan kepada anak mereka mengenai laut. Mengamati itu, saya kian tertarik, daripada bengong, saya pun turut nimbrung bersama mereka.
Mulanya saya hanya mengamati orang-orang memancing, seorang diantaranya cukup hebat dalam hal merebut perhatian ikan. Lama kelamaan, saya pun ingin mencoba ikut memancing sembari mengamati matahari senja yang sebentar lagi tertelan bumi. Saya duduk di sebelah adik kecil yang juga sementara menarik-narik kailnya. Lama memancing, saya belum juga mendapat ikan. Sudah berapa kali umpan saya ganti, namun tak dapat-dapat juga. Dalam benak saya, bisa jadi ini karena saya berdekatan dengan keramaian dan keributan, sehingga ikan pada takut mendekat. Sementara itu, sambil memandang laut, pikiran pun menyala-nyala. “Betulkah demikian?”
Sesuai dengan referensi saya, memang kini secara global terjadi penurunan jumlah sumberdaya laut akibat overfishing. Ikan tak mudah lagi diperoleh, ikan bukan lagi menjadi sumberdaya tak terbatas, seperti pemahaman nelayan dulu. Ia adalah mahluk yang untuk memperolehnya butuh perencanaan matang disertai teknologi tinggi. Hewan itu harus betul-betul dapat diprediksi dengan perkembangan ilmu perikanan kontemporer. Tak mengandalkan hoki lagi yang kini sudah tak manjur. Kenapa demikian, karena sumberdaya itu ketakutan, ia bersembunyi dalam kedalaman laut, atau bermigrasi ke tempat jauh meninggalkan habitat lamanya. Habitat yang sudah seringkali diamuk, hancurleburkan oleh pottasium sianida, bom ikan, atau alat tangkap modern yang tak kepalangtanggung menguras seisi laut tanpa seleksi. Buntutnya, anak ikan, benih dan mahluk lain yang tak diinginkan, seperti kura-kura, ubur-ubur, ikan buntal, dan jenis ikan nonkomersial ikut terjaring. Tentunya ini akan merusak ekosistem serta regenerasi ikan yang diinginkan. Alat tangkap yang dikenal menimbulkan efek tersebut adalah Pukat Harimau atau Trawl.
Indonesia mengalami surplus ekspor di bidang perikanan pada tahun 1970-an. Setelah itu, pemerintah bersama masyarakat hidup dalam uforia eksploitasi. Tak ada upaya konservasi untuk mengamankan stok yang terus-menerus dikuras. Industri perikanan kian berkembang di negara-negara maju, seperti Amarika Serikat, Spanyol, Jepang, Peru, Cina, dan Portugal. Kapal-kapal raksasa mereka melakukan penjelajahan ke seluruh belahan dunia. Mereka melakukan eksploitasi tanpa batas untuk memuaskan nafsu konsumsi masyarakat barat dan negara maju lain yang doyan makanan laut.
Kapal-kapal mereka pun kadang melanglangbuana hingga perairan Indonesia, tanpa ada proteksi dari pemerintahan lokal Indonesia sendiri. Mereka pun berkongkalikong dengan pembesar-pembesar negeri ini, terkhusus kalangan militer untuk melegalkan aktivitas penangkapan mereka. Di sisi lain, nelayan Indonesia yang tak maju-maju lantaran kurangnya dukungan pemerintah dari segi fasilitas, kredit, subsidi dan perbaikan mekanisme pasar. Mereka terus menerus melarat, tergolong masyarakat miskin yang minim pendidikan. Perahu mereka pun tak dapat bersaing dengan kapal-kapal asing.
Dari buku Selamatkan Indonesia karya Amien Rais disebutkan bahwa perairan Indonesia dijarah beramai-ramai oleh beragam bangsa, namun pemerintah kita seakan tutup mata. mendengar itu saya teringat celoteh presiden buta kita, Gusdur. Katanya Indonesia ini butuh personil angkatan laut lebih besar dibanding angkatan darat. Makanya ia membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) saat itu. Meski DKP saat ini tampak mandul dalam penyelesaian masalah perikanan kelautan. Kebutaannya sepertinya tak membuat mata hatinya tertutup. Ia bisa menatap masadepan lebih baik dibanding pemerintah sekarang.

Laut Terkuras
Dari segi jumlah, data statistiknya daya tangkap pun menurun drastis. Hampir semua jenis tangkapan kurang dari 50 persen. Bahkan untuk komoditas penting, seperti hiu, tuna sirip biru, ikan todak, tinggal sepuluh persen dari populasinya dahulu. Kini untuk memenuhi kebutuhan pangan ikan dengan kandungan protein tinggi dan lemak tak jenuhnya lebih mengarah ke aktivitas budidaya. Untuk tataran dunia, pada 1980 hanya sembilan persen ikan yang kita makan berasal dari pertambakan, dibanding pada hari ini yang mencapai 43 persen. Padahal aktivitas budidaya perikanan punya ekses negatif dibanding tangkapan liar lepas laut, yaitu polusi pesisir dan penyebaran penyakit pada populasi liar.
Dalam National Geografic edisi Spesial Detak Bumi disebutkan sebanyak 30 milyar dollar AS dikucurkan untuk memantapkan industri perikanan setiap tahunnya. Dimana Jepang berada pada tingkat subsidi tertinggi, yaitu 5 juta Dolar AS, menyusul India dengan 4,5 juta $ AS, China 2,7 juta $ AS, dan Brasil 2,1 juta $ AS. Sejak kebijakan subsidi penangkapan ikan pada 1950-an, lebih banyak perahu berlayar dan lebih banyak ikan di pelabuhan. Dan akibat kebijakan itu, semakin mengarah ke keruntuhan sumberdaya dan industri perikanan sendiri, karena kini tampaknya terlalu banyak kapal yang memburu sedikit ikan.
Bisa dikatakan semua samudra mengalami krisis penangkapan ikan. Negara-negara berbatasan di Samudra Fasifik berlomba-lomba membatasi wilayah perairan dengan pukat dasar laut, salah satu alat tangkap yang eksesnya paling merusak. Negara-negara yang berbatasan itu, seperti Peru yang tiap tahunnya menangkap ikan dengan jumlah 9,5 juta ton, Meksiko (1,4 juta ton), Amerika Serikat (4,9 juta ton), dan Chili 4,9 juta ton (data 2004). Samudra Atlantik Utara, masalah utamanya terletak pada perikanan cod Grand Banks yang belum pulih, meski telah ditutup sejak satu dasawarsa terakhir. Pada wilayah ini Norwegia menangkap ikan sebesar 2.5 juta ton pertahun. Dan untuk Samudra Fasifik Utara, sekitar perairan Asia adalah rumah bagi armada penangkapan ikan terbesar di Dunia. Jepang, termasuk negara di Samudra Fasifik Utara yang mengeksploitasi terbesar, yaitu 4,3 juta ton pertahun.
Sementara di Samudra Hindia, armada global semakin menggurita mengeksploitasi samudra tersebut, sehingga menimbulkan kekhawatiran pada negara-negara yang berbatasan, termasuk Indonesia. Negeri Bahari jumlah tangkapannya sekitar 4,4 juta ton pertahun (data 2004), cukup jauh jika dibandingkan dengan Peru (9,5 juta ton pertahun). Padahal Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada, yaitu 81 ribu kilometer dengan sekitar 17 ribu pulaunya.

Langit sudah merah, matahari sudah setengahnya tenggelam. SMS pun berbunyi. Isinya memerintah saya segera kembali ke motor. Ah ngabuburit sore ini betul-betul membawa hikmah. Dan lautku entahlah….
Idham Malik



0 komentar:

Jangan Kuras Lautku