semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Sajian Kepiting Lunak, Ma’nyuss


Sore itu, Selasa (16/09/08), adalah petang yang menggembirakan. Setelah balik dari jurusan Perikanan, sehabis bantu-bantu teman di laboratorium histologi, saya bertandang di sekretariat kecintaan, identitas Unhas. Disana saya ketemu dengan senior yang baru saja meliput di desa Marana Maros, liputannya cukup menarik dan berkaitan dengan studi kuliah saya, yaitu tentang kepiting. Ia menceritakan sedikit hasil liputannya, tentang mekanisme moulting atau pergantian karapas (kulit-red) sehingga menhasilkan kepiting berkarapas lunak.
Peristiwa moulting tidak berlangsung begitu saja, butuh penambahan asupan eksternal untuk mempercepat ke tahap moulting. Asupan itu disebut vitomolt, berupa nama dagang yang diberikan kepada ekstrak bayam. Vitomolt ini ditambahkan dalam tubuh kepiting dengan cara disuntikkan (baca:injeksi) untuk meningkatkan kadar hormon ekdisteroid atau hormon moulting. Kata Dr Yushinta Fujaya, penemu ekstrak itu, ia terinspirasi dari film kartun Popeye yang tenaganya bertambah berlipat-lipat setelah mengonsumsi bayam. Nah.. dengan ekstrak bayam ini, nelayan pun sudah dapat membudidayakan kepiting yang jika dipanen bercangkang lunak secara massal.
Ibu Yushinta juga prihatin dengan penerapan metode lain untuk mempercepat moulting. Sebelum menggunakan vitomolt, nelayan melakukan proses mutilasi pada tangkai mata kepiting untuk meningkatkan hormon ekdisteroid. Katanya metode mutilasi dianggap melanggar perinsip prikebinatangan, karena menyiksa binatang. Dan dengan vitomolt ini, maka mutilasi tidak berlaku lagi. Betul juga, baru dengar tuh istilah tidak berprikebinatangan..
Kembali ke liputan tadi...
Rencananya, senior saya yang wartawan media ekletronik RCTI itu hendak berkunjung ke rumah Yushinta di jalan Rajawali. Mendengar itu sontak saya mengajukan ikut kesana. Saya penasaran dengan kepiting lunak tadi. Penasaran pula dengan rasanya, gurihnya. Dalam perjalanan di atas motor honda hitam milik senior saya tadi, saya sudah membayangkan bagaimana rasanya kepiting yang dimakan bersama karapasnya. Betul-betul aneh.
Tak terasa kami sudah tiba di depan rumah ibu Yushinta, ia kaget saat melihat saya yang juga ikut. Ibu itu tahu bahwa saya ingin ikut bergabung dalam penelitiannya. Tampak cerah wajahnya menatapku. Saya pun sedikit kaget, karena ibu itu tak mengenakan jilbab. Rambutnya lurus hingga sebatas leher. Matanya sipit dan kulitnya putih, agak mirip keturunan Cina. Ia mempersilakan masuk dan duduk di ruang tamu, sementara ia mengganti baju untuk persiapan syuting. Cheilee..
Saat itu ia mengenakan baju kain bercorak kembang-kembang dengan celana panjang hitam ketat. Kami menuju dapur, ia pun menyiapkan kepiting yang hendak diolah dalam sebuah mini box. Mulanya ia memotong tubuh beberapa kepitng menjadi dua bagian. Ukuran kepitingnya sedang, panjangnya mungkin enam centimeter. Setelah dibelah dua, kepiting-kepiting itu dimasukkan ke dalam adonan tepung yang telah dicampurkan bumbu tertentu. Kemudian digoreng hingga matang. Saat digoreng, tercium bau gurih yang membuat air liur ingin meleleh. Perut juga sudah bernyanyi, menanti saat bedug masjid berbunyi, ya tentunya berbuka puasa dengan kepiting lunak.
Saat ibu Yushinta memeragakan penyajian kepiting lunak crispy, dua senior saya sibuk mengambil gambarnya dengan video masing-masing. Gambarnya diambil dengan beragam sudut pandang (angle). Saya sendiri mengamati sambil berpikir bagaimana ya supaya dapat menjadi seperti ibu ini. Menemukan suatu teknik ilmiah dan berguna bagi masyarakat banyak. Saya pun sangat menghormati ibu sekaligus pembimbing akademikku itu yang nanti bisa jadi turut menentukan jalan hidup saya.
Bedug betul-betul terdengar di sound tv. Kepiting lunak goreng tepung pun tersaji di atas meja. Seniorku yang wartawan itu kembali mengambil gambar ibu Yushinta yang sementara mencicipi kepiting lunak crispy. Setelah kepiting itu ia cicipi bersama suami dan kedua anaknya. Saya pun ikut mencoba.
Emm.. nyam..nyam..., memang beda rasanya. Renyah campur gurih, dengan sedikit rasa asin. Aroma lautnya betul-betul terasa. Dan kelebihannya, kita dapat memakan seluruh bagian tubuh kepiting, entah abdomen, capit, atau punggung. Beserta cangkangnya pula. Kendala karapas kepiting yang keras dan kadang melukai tangan pun sirna. Sebelumnya, kita hanya dapat menikmati daging kepiting yang berada pada bagian obdomen, sedikit daging pada bagian capit, dan punggung. Dan kini, tak ada lagi yang tersisa dari tubuh kepiting. He-he.. kalau begitu, tak rugi deh makan kepiting lunak.
Ternyata, menurut hasil riset, karapas kepiting jika kita konsumsi juga berguna untuk menetralisir kandungan kolestrol yang ada pada daging hewan berjalan ke samping itu. Jadi bagi mereka yang menderita penyakit hipertensi tak perlu lagi takut memakan kepiting, karena kandungan kolestrol tak akan mengganggu kestabilan tekanan darahnya.
Puas rasanya mencicipi kepiting lunak hasil riset pembimbing akademikku itu, dalam pikiran, mungkin mereka yang telah mencicipi kepiting lunak ini bisa dihitung jari. Syukurlah, karena saya termasuk salah satunya. Kata bu Shinta, kalau di restoran, jika kita ingin mengunyah empat potong kepiting lunak, kita harus mengeluarkan kocek sebesar Rp. 50 ribu. Untunglah, saat itu saya hanya membayarnya dengan senyuman dan penghargaan sebesar-besarnya terhadap hasil riset yang telah dipatenkan oleh centra HaKI itu.
Senyum kepada ibu Sinta.. si ibu kepiting. Terimakasih ya Bu.

Idham Malik



0 komentar:

Sajian Kepiting Lunak, Ma’nyuss