semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Laskar Pelangi, Kekuatan Ikhlas dan Ketulusan


Kamis Malam, (25/09/08), saya ikut gabung nonton bareng putaran perdana Laskar Pelangi di Mall Ratu Indah (Mari) Makassar bersama kawan-kawan kru identitas. Aji mumpung, duit masih ada di kantong, lagian hari itu adalah minus enam hari lebaran dan teman-teman sudah kebelet mudik. Sebenarnya, saya ikut nonton bukan karena filmnya laskar pelangi yang sempat booming novelnya itu, tapi karena ingin menemukan suasana berkeluarga saja bersama teman-teman seperjuangan di identitas. Cukup jarang lho momen seperti ini, palingan datangnya setahun sekali. He..he...
Kami berangkat naik angkot 05 Cendrawasih, setelah buka puasa bersama di rumah kecil identitas. Dalam perjalanan, ya diisi dengan diskusi kecil-kecilan sambil bercanda gurau, bahkan sampai-sampai meluap perdebatan antara dua kru ku soal penanganan magang yang menurut sebagian orang sedikit di manja. Saya tak banyak bicara saat itu, saya cuma mingkem, sembari memandangi pesona kota makassar di malam hari. Saya ingin menenangkan pikiran yang bertubi-tubi melemaskan tubuh. Biarlah mereka bertengkar asalkan jangan ganggu ketenangan saya saat itu.
Se jam kemudian, sekitar pukul 08.00, kami sampai di depan Mari, kami tak buru-buru karena jadwal tayangnya masih sekitar setengah jam lagi. Seorang kru pun saya minta untuk beli makanan ringan untuk kru-kru yang lain. tak tanggung-tanggung, tasnya penuh cemilan (krupuk, roti dan air minum). Nyesal juga memberi ia duit banyak-banyak. Saat di ruang bioskop kami menempati jejeran kursi terdepan. Saya yang nomor urut dua jika dijejer dari paling depan. Jangan senang dulu, kalau di bioskop, justru yang paling depan adalah posisi yang paling buruk, semakin ke belakang semakin baik. Apalagi bagian tengah itulah yang paling tepat. Tak apalah, meski mendongak dan mata kesulitan menangkap keseluruhan layar, nikmati sajalah. Toh kita sudah di dalam, nonton perdana lagi. Lupakan saja kesulitan kecil itu.

Dengar-dengar perkembangan dunia perfilman. Film laskar pelangi yang disutradarai Riri Reza dan Mira lesmana ini adalah cinema yang paling ditunggu-tunggu. Bagaimana tidak, film itu diadopsi dari buku laris dan fenomenal karya Andrea Hirata dengan judul yang sama “Laskar Pelangi”. Buku itu dianggap telah menginspirasi ribuan pembacanya. Berkisah tentang masa kecil Ikal di perkampungan Pertambangan Timah Gedong Belitung. Ya berkisar mengenai Sekolah Dasar Muhammadiyah yang hampir ambruk, tapi tetap dipertahankan oleh kepala sekolah dan seorang guru wanita muda. Sekolah itu memiliki sepuluh murid dengan karakter dan keunikan masing-masing. Sepuluh murid inilah yang kemudian disebut Laskar Pelangi.
Sekolah itu tak pernah lagi menerima murid setelah angkatan terakhir itu. Tepatnya sekitar tahun 1974. Karena tak ada lagi yang mau menyekolahkan anaknya di sana. Kalau anak orang berduit bersekolah di SD PT Timah yang lebih mewah, sementara kaum buruh tak dapat menyekolahkan anaknya. Menurut mereka mendingan keturunannya itu membantu orang tua cari makan. Di samping itu, untuk membuka kelas baru, minimal jumlah murid harus genap sepuluh orang. Kedengarannya sulit memang, padahal untuk merebut cita-cita akan penghidupan lebih baik lazimnya ditempuh lewat jalur sekolah. Apa mau dikata, pendidikan nomor dua dari rasa lapar. Mengamati ini, pemerintah mesti lebih sensitif.
Meski tampak terbelakang, dengan kondisi sekolah memiriskan. Dimana hanya dibatasi papan yang bolong-bolong, serta atap yang sering bocor kalau hujan, belum lagi kambing-kambing sering masuk ke kelas (mirip kandang kambing). Fasilitas yang ada cuma papan tulis kapur dan sebuah lemari kiriman pemerintah, selain foto-foto pendiri Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan. Tapi, kepala sekolah, guru dan murid itu tak pernah menyerah untuk menyelenggarakan pendidikan. Justru terdapat ketekunan, ketangguhan, kerja keras di dalamnya, dan mungkin tak didapatkan sekolah umum lainnya.
Dalam film itu, tokoh-tokohnya berkarakter kuat, sekaligus mencerahkan, memberikan energi kepada para penonton. Pak Hasan, Kepala Sekolah yang gigih memperjuangkan keberlanjutan pendidikan, yang dari beberapa dialognya sangat bernas dan penuh makna. Ia memberikan nilai plus kepada anak didiknya berupa semangat menuntut ilmu dan berbuat baik. Beberapa kali ia menekankan bahwa sekolah ini tidak menilai anak didik dari angka-angka, tapi dari perbuatan baik terhadap sesama. Istilahnya, ia mengajar dengan hati. Pendidikan budi pekerti dan agama mendapat perhatian lebih tanpa mengenyampingkan matapelajaran umum. Jadi tak salah kalau lepasan sekolah ini menghasilkan generasi berprinsip kuat dan punya etos kerja yang tinggi.
Tokoh berikutnya adalah ibu Muslimah. Wanita muda ini adalah guru yang tak pilih-pilih tempat mengajar. Ia sekadar menyalurkan obsesinya yang ingin menjadi guru, entah ditempatkan dimana saja. Malah ia bersyukur diberikan kesempatan mengajar di sekolah itu. Ia mengajar bukan untuk mencari duit, tapi karena memang memiliki naluri mendidik.
Bukti kesetiaan Muslimah dalam dunia pendidikan tampak saat ia menangani sosok Harun. Harun adalah murid yang tergolong lambat menerima pelajaran, mentalnya pun agak terbelakang. Namun, Muslimah tetap setia mendidiknya dengan hati dan kelembutan, sehingga si Harun pun tak merasa rendah diri dan terus belajar tuk mengejar ketertinggalannya.
Mungkin, karena niat ikhlas Ibu Muslimah mengajar, Kapasitas keilmuan anak didiknya tak beda jauh dibanding sekolah lain, walau fasilitas pendukung mengajar sangat minim. Ia pun menerapkan metode yang menyenangkan dan mudah diserap anak didik. Sehingga, para murid yang disebut laskar pelangi menjadi senang menerima pelajaran, tak menganggap ilmu itu sebagai beban. Buntutnya prestasi Laskar Pelangi jika bersanding dengan sekolah lain tak dapat dilihat sebelah mata. Mereka menyabet juara satu lomba parade sekolah dan juara satu lomba cerdas-cermat.
Hal itu dilakoni beberapa anggota laskar yang menonjol. Seperti Lintang, Mahar, dan Ikal. Lintang, anak seorang nelayan miskin yang tinggal cukup jauh dari sekolahnya, yaitu sekitar pesisir pantai. Ia mesti mengayuh sepedanya sepanjang beberapa kilometer, melewati padang rumput, jalan setapak, dan sebuah sungai kecil dengan seekor buaya di sungai tersebut. Meski begitu, di sela-sela aktivitasnya membantu orang tua, ia meluangkan waktu untuk selalu belajar, apa saja, entah itu koran, majalah, atau pun mengulang-ulang materi pelajarannya. Itu tampak saat Lintang singgah di bawah pohon besar saat hujan mengguyur, ia mengisi waktunya itu dengan membuka buku pelajarannya, atau saat menunggu Ikal membeli kapur di toko milik ayah A ling, gadis cilik yang dinaksir Ikal karena terpesona kelembutan kuku-kukunya. Saat itu ia membolak-balik koran yang terletak di bangku tempatnya duduk. Tampak pula Lintang duduk membaca buku saat jam istirahat berlangsung, sementara teman-temannya lagi asyik bermain.
Hasil ketekunannya menuntut ilmu itu, ia buktikan saat Lintang mengikuti lomba Cerdas Cermat. Ia dapat menyelesaikan soal hitung-hitungan tanpa mencakar sedikitpun, ia tampak mencakar dalam otaknya, dapat dilihat dari mimiknya yang serius, meredupkan mata, dahi mengkerut, pertanda ia lagi berkonsentrasi.
Untuk kasus Lintang ini, nampaknya ia memang mendapatkan anugerah kecerdasan dibanding kawan-kawannya. Tapi, tak dapat dinafikan bahwa kecerdasannya itu bergandengan dengan ketekunannya belajar. Jadi untuk menjadi Lintang, tak usah rendah diri jika kecerdasan kita biasa-biasa saja, cukup mengikuti ketekunannya, saya yakin kita dapat seperti itu juga.
Kecendrungan berbeda tampak pada Mahar, murid yang punya kepekaan tinggi pada bidang seni. Meski masih sekolah dasar di sebuah desa terpencil, jauh dari modernitas, ia telah mengetahui jenis-jenis genre musik. Genre yang paling sering didengarnya lewat radio bututnya adalah jenis Jazz. “Jazz musiknya orang pintar,” kata Mahar.
Pada saat diadakan lomba festival tahunan, ia menjadi satu-satunya tumpuan harapan SD Muhammadiyah. Karena menjadi ketua tim, berhari-hari ia mencari ide, tantangannya ia mesti menampilkan sesuatu yang menarik meski tak menggunakan peralatan memadai, semuanya berasal dari alam. Ia adalah anak yang dilahirkan alam, dimana imajinasinya bermain-main bersama dedaunan, debu-debu padang rumput gersang, dan rerumputan. Selama seminggu itu ia bermeditasi sendiri di atas pohon, di tengah rerumputan sembari memikirkan apa kira-kira yang akan disajikan oleh laskar pelangi.
Alhasil, ia pun mendemosntrasikan idenya, berupa tari-tarian rimba, dimana laskar pelangi hanya mengenakan celana dari kumpulan daun, kalung dengan buah bergetah sehingga menghasilkan efek gatal pada kulit. Hanya mahar yang tak memakai kalung itu. Sesuai perkiraan Mahar, buah itu akan bereaksi saat mereka mereka beraksi, sehingga aksi mereka pun tambah semangat akibat efek panas dan gatal tadi. Penonton memberi applouse dan mengacungi jempol lantaran terhibur oleh tari-tarian mereka. Kontan saja, ia menyabet posisi juara satu, melambung SD PTPN, meruntuhkan juara bertahan selama bertahun-tahun itu.
Tokoh sentralnya ya Ikal sendiri, versi kanak-kanak dari Andrea Hirata, penulis novel laris itu. Ia digambarkan berkarakter tenang, berbahasa melayu kental, turut berjuang keras untuk memperoleh pendidikan, tapi tetap saja selalu kalah satu tingkat dari Lintang. Ikal yang mencintai A ling karena kuku-kuku jemarinya yang rapi dan lembut, serta terpesona akan kecantikan alami gadis keturunan Cina itu. Berkali-kali ia mengajukan diri untuk berkunjung ke toko penjual kapur sekadar untuk melihat kuku-kuku Aling. Berhari-hari pula ia kasmaran, membuang-buang waktu untuk berimajinasi tentang wajah Aling. Ikal pun, pada akhir cerita telah menamatkan studinya di Universitas Sorbone Paris, ia kembali menengok kampungnya dan lagi-lagi terkenang masa kecil dengan segala kondisi masyarakatnya saat itu, penuh penderitaan sebagai buruh pabrik PT Timah. Dari sepuluh kawannya, Ikal lah yang bernasib mujur, meski begitu, anggota laskar pelangi yang lain tetap berjuang untuk tetap hidup dan tidak terjajah.

Betul kata Charles Darwin, pemenang adalah bukan mereka yang kuat atau yang cerdas, tapi orang yang bisa beradaptasi. Pak Hasan dan Bu Muslimah telah berhasil melahirkan generasi emas, para pasukan laskar pelangi. Pasukan yang mampu beradaptasi pada jenis kesulitan terberat sekalipun. Kekuatannya adalah ketulusan, pengabdian yang ikhlas. Tujuan pendidikan mereka adalah menghidupkan jiwa-jiwa sosial anak didik yang senantiasa saling bantu-membantu dalam hidup, berbagi, dan mengabadikan diri untuk kemanusiaan. Karena mereka ditempa bukan dari ilmu-ilmu mati (materialisme-red), tapi dari dari hati yang selalu hidup.

Idham Malik



0 komentar:

Laskar Pelangi, Kekuatan Ikhlas dan Ketulusan