semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Seminar Nasional Aceh dan Krisis Ekonomi Global


Beberapa hari belakangan ini waktu luang saya agak pupus untuk persiapan penyelenggaraan Seminar Nasional Perdamaian Aceh. Tak terlalu sibuk sih, tapi agak tegang aja, soalnya seminar ini adalah kerjasama antara koran kampus identitas Unhas (tempat saya berafiliasi) dan The Media Institute, lembaga yang mendonor acara itu. Acara ini mendapat asupan dana dari pemerintah, khususnya kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai steering, pun saya paling tak mau ada masalah hingga hari H. Takutnya membuat pendonor kecewa dan nama identitas tercemar dengan cap tak profesional.
Tugas awal yang mesti tuntas adalah memastikan bahwa kedua pemateri yang berkompeten dengan tema seminar di atas ada waktu luang pada hari H. Hal lain yang harus ditanggapi kilat adalah persetujuan pihak rektor akan acara ini, kalau perlu diajak kerjasama, minimal dalam hal pengadaan tempat yang representatif.
Sepuluh hari menjelang hari H, yang jatuh pada Sabtu (18/10/08) persiapan-persiapan penting itu telah rampung dan telah dianggap matang. Saya telah berbicara dengan rektor Unhas, meminta kesediaannya untuk membuka acara sekaligus memohon kerjasama dari Unhas. Hasilnya, acara itu mendapat respon positif, “kalian tinggal menyurat aja, gedung IPTEK bisa digunakan,” kata Prof Idrus, selaku rektor Unhas. Begitu senangnya hari itu, karena ongkos pengadaan tempat dapat dipangkas. Kedua pemateri yang terdiri atas Dr Adi Suryadi Culla (dosen politik) dan Irmia Fitria (aktivis LSM perdamaian Aceh) pun bersedia hadir pada hari itu, dengan begitu, kami telah menempu satu tahap, yakni menyediakan pemateri yang berkualitas.
Sialnya, setelah sebagian proses itu telah kami lakukan, tiba-tiba muncul SMS dari Ajeng, mahasiswi yang menjadi perantara identitas dengan the media institute. Katanya acara seminar nasional dan seri diskusi Aceh yang merupakan kerjasama The Media Institute dan Kementrian BUMN ditunda untuk sementara, tapi jadwalnya belum bisa dipastikan. SMS ini seperti memukul ubun-ubun saya dengan godam. Saya tak tahu mau ditaruh dimana lagi wajah saya jika menghadapi para pemateri itu. Sudah pernah sekali kami menunda seminar ini hingga seminggu lamanya dan jika ditunda lagi pasti akan menjengkelkan. Kenapa bisa? Toh ini sudah jadi bubur, saya tak bisa membantah titah para pendonor itu.
Terima sajalah, namun kini saya tak mengharap lebih lagi. Kata Ajeng, ini terkait dengan gejala krisis ekonomi global yang melanda dunia sekarang ini. Terkhusus pada kementrian BUMN tadi, yang merupakan pundi-pundi pendanaan seminar ini juga mengalami goncangan akibat resesi ekonomi yang ditimbulkan oleh macetnya kredit perumahan di Amerika Serikat pada pertengahan 2007 lalu. Dari berbagai pemberitaan diketahui bahwa pemerintah lagi berancang-ancang untuk memberi saham sebahagian BUMN, alasannya harga saham anjlok akibat kepanikan di bursa saham. Sementara Indonesia harus tetap menjaga kestabilan ekonomi, untuk menekan laju defiasi nilai tukar rupiah dan mencegah inflasi.
Akibat pesiapan anggaran untuk pembelian saham itu, kementrian BUMN mengurungkan niat untuk menggelontorkan dana Seminar Nasional Aceh di daerah-daerah. Dari sini bisa dikatakan bahwa resesi ekonomi Amerika berdampak secara tidak langsung dengan koran kampus identitas Unhas, melalui berbagai hubungan seperti diterangkan di atas.

Dari tulisan Yasraf Amir Pialang di rubrik opini koran Kompas edisi Sabtu (11/10) kemarin, diketahui bahwa gejolak moneter di AS yang menggoncang dunia ini adalah konsekuensi logis sistem perekonomian pasar bebas dan ideologi neoliberalisme. Sistem pasar bebas dengan minimalisme pengendalian negara setidaknya menghasilkan empat watak kultural ekonomi: 1) orbital, berupa perputaran ekonomi moneter yang menggelobal; 2) virtual, dengan sektor ekonomi yang bersifat maya; 3) viral, dengan penjalaran efek ekonomi yang cepat bak virus; 4) banal, dengan sistem ekonomi yang merayakan konsumerisme remeh-temeh.
Jean Baudrillard dalam Fatal Strategies (1990) menggambarkan kondisi kultural ekonomi macam itu melalui metafora kosmologi “orbit”. Sistem moneter layaknya sebuah orbit, yaitu garis edar mata uang yang berputar mengelilingi “sektor rill” sebagai titik pusat orbit, tetapi terpisah darinya.
Bisnis keuangan berlangsung di sektor moneter, tanpa bersentuhan dengan sektor rill. Trilliunan dollar AS diperjualbelikan dan dipermainkan di pasar modal, tetapi hanya sebagian saja diantaranya diputar di sektor rill.
Masih dalam tulisan Yasraf, dijelaskan bahwa dalam sistem ekonomi macam itu, peran mata uang terlalu besar, mendeterminasi fluktuasi ekonomi. Sementara sistem ekonomi bersifat virtual, maka perputaran kian cepat dan real time. Hazel Henderson dalam Paradigms in Progress: Life Beyond Economic (1991) menyebutkan, percepatan sistem moneter meningkatkan ketidakpastian, indeterminasi, dan turbulensi ekonomi, yang rentan terhadap resiko krisis kemacetan.
Kondisi ini menciptakan kesalingtergantungan dalam jejaring global dan terbuka (open networking). Dengan demikian akan memudahkan spekulan nakal untuk menggerogoti, seperti virus pada jejaring internet. Virus spekulasi itulah yang menyebabkan kemacetan ekonomi. Kesalinghubungan ini pun menimbulkan “efek kupu-kupu” (butterply efect) dalam jaringan chaos sistem ekonomi pasar yang rentan, dimana serangan virus di perusahaan AS dengan cepat menjalar ke seluruh tempat di dunia tanpa kompromi.

Celakanya, sistem ekonomi moneter amat bergantung pada “sistem konsumsi”, khususnya konsumsi barang mewah dan banal, sebagai “alibi” agar modal terus berputar dan berakumulasi. Sistem ekonomi merayakan gaya hidup konsumerisme yang bersifat banal: kemewahan, lifestyle shopping, dan hiperkomoditi. Sebaliknya, segala kemewahan itu bergantung pada kondisi moneter karena produk mewah diproduksi melalui utang di bank. Inilah “lingkaran setan” ekonomi moneter.

Kalau begitu, identitas sudah terkena efek jaring-jaring global yang sebenarnya hanya menguntungkan segelintir negara-negara raksasa. Negara lemah seperti Indonesia hanyalah buih yang siap diombang-ambingkan oleh situasi. Kalau di Indonesia, perekonomian adalah mainan pembesar-pembesar negeri dengan para pengusaha untuk memuaskan nafsu konsumerisme orang-orang kaya. Akibatnya, kini para orang kaya pun sedikit kerepotan untuk menikmati barang-barang mewah lantaran kredit macet. Tapi, pastinya rakyat kecil lebih kena dampaknya karena menyangkut sektor rill.
Indonesia pun menjadi bagian penting dari rekayasa global yang tak tahu kapan berhentinya. Untuk itu, sebagai warga Indonesia, kita mesti membuka mata terhadap fenomena ini, apakah ini benar-benar kutukan yang terbentuk secara alami atau sekadar permainan pialang ekonomi saja.
Pun kalau demikian, saya sangat tidak kompeten dalam hal ini, saya sendiri sering diobok-obok oleh keadaan, mirip dengan kondisi Indonesia saat ini. Kapan saya bisa cerdass....
Idham Malik, Tamalanrea, 12 Oktober 2008




0 komentar:

Seminar Nasional Aceh dan Krisis Ekonomi Global