semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Rio (Pemuda Jepang), Komunitas, dan Bahasa Inggris


Beberapa hari belakangan ini ada sesuatu yang berbeda di perikanan, Khususnya di sekitar laboratorium fisiologi dan hewan air. Sesuatu yang asing tampaknya menjadi pemicu utama, seperti butiran gula yang melarut dalam air. Membuat iklim hubungan antar manusia di komunitas mahasiswa di lab itu tambah manis. Tidak salah, belakangan terakhir mereka pada mengenal Rio, sapaan seorang pemuda Jepang yang lagi tugas di Perikanan Unhas. Aktivitas mereka yang biasa-biasa saja saban harinya tampak menjadi lebih hidup dengan keberadaan Rio ini.
Pun saya ikut kecipratan pesona Naruto (sapaan-red) sejak berkenalan dengannya dua hari lalu, Kamis, (9/10/08). Kebetulan saja, saat itu junior saya yang bernama Darma ngotot ingin dibantu dalam hal berkomunikasi. Maklum saja, adik saya yang tampak manja ini belum mampu bercakap Inggris, lagian orang Jepang itu juga sama sekali tak paham bahasa Indonesia, ia hanya tahu Inggris dan bahasa ibunya, Jepang. Pertemuan itu pun berlangsung hangat, tepatnya sekitar pukul 10.00 wita. Padahal sebelumnya tak ada niat terbecit untuk mencoba berkenalan dengannya.
Berlagak bisa english, saya memulai pembicaraan, sok tahu saja, padahal kosakata dan sistematika pengucapan saya jauh dari pas-pasan atau bolehlah dibilang kurang pas. Banyak hal yang saya tanyakan pada Rio, yang ternyata telah menamatkan masternya dalam bidang Marine Sains and Technology di Universitas Tokyo pada umur genap 25 tahun. Pertanyaan saya tidak lepas dari kegiatannya, alasannya datang ke Indonesia dan Bone, bagaimana tanggapannya terhadap mahasiswa Unhas, dari mana saja ia selama ini dan kapan ia balik ke Jepang.
Tak jauh-jauh arah pembincangan kami, berputar-putar di soal-soal sederhana saja. Atau ini lebih bisa disebut tanya jawab yang kaku. Karena kebingungan apa lagi yang mau ditanya sementara saat itu saya kesulitan untuk mencairkan suasana yang beku itu. Pun kami akhirnya mohon diri. Sebelum keluar pintu, Darma ternyata ingin mengajaknya makan siang bersama sekaligus jalan-jalan keliling kota Makassar jika matahari naik lebih tinggi lagi. Saya pun membantu adikku ini untuk menyampaikan maksudnya. Tak diyana, Rio mengiakan, semburat kebahagiaan sontak terpancar di wajah mahasiswa budidaya perairan angkatan 2005 yang bernama asli Darma Pratiwi Joni ini. Saya pun betul-betul tak menyangka peristiwa itu.

Awalnya saya tak tahu menahu bagaimana sikap orang asing jika berhadapan dengan pribumi. Tapi setelah mengenal Rio, saya sudah sedikit memahami bagaimana seorang asing seharusnya bersikap. Terlepas apakah ia berwatak keras, sinis, manja, atau egois, pasti akan berlaku sama bagi semua orang jika sedang menghadapi sesuatu yang baru, atau lagi beradaptasi. Tampaknya Rio adalah kasus lain, ia adalah orang Jepang yang berbeda nilai budayanya dengan orang asing lain yang biasanya berasal dari barat. Ia masih menyimpan banyak sisi ketimuran, yaitu semangat komunitas dan pertemanan. Kalau barat adalah kebalikannya, yakni semangat individualisme yang ditonjolkan.
Pengetahuan saya yang sedikit tentang Jepang saya coba cocokkan dengan si Rio ini. Kebetulan saya pernah baca beberapa novel Jepang, juga artikel tentang masyarakat Jepang. Tampaknya singkron. Pada umumnya, orang Jepang sangat menghargai kebersamaan dalam komunitas, selain untuk memupuk semangat bekerja, kerjasama sekaligus aktualisasi diri masing-masing individu. Dalam lokus-lokus komunitas itu mereka saling bersinergi untuk mencapai tujuan bersama, yaitu menjadi pemenang secara bersama-sama atau kemenangan tim.
Tentunya ini tak lepas dari semangat Samurai yang menjadi cerminan cikal bakal kebudayaan Jepang sebelum restorasi meiji menguasai negeri sakura itu. Dimana pengorbanan diri demi komunitas, harakiri atau bunuh diri karena malu jika kalah bertarung adalah bagian tak terpisahkan dalam kepribadian orang jepang.
Pada zaman modern ini, semangat samurai itu pun tertular pada perusahaan-perusahaan Jepang. Disana berkumpul para karyawan-karyawan handal yang menguasai bidangnya masing-masing, tapi bertujuan bersama untuk memajukan perusahaan. Mereka tak malas bekerja, waktu, tenaga dan pikiran digunakan sepenuhnya untuk perbaikan perusahaan. Mereka pun tak jemu-jemu bekerja hingga akhir hayat, walaupun kebutuhan finansial sudah sangat mencukupi. Menurut orang Jepang, bekerja adalah bagian dari kesenangan hidup, jika tak bekerja artinya tidak hidup. Beda jauh dengan watak masyarakat Indonesia ya. Yang sedari kecil kebanyakan dari kita malas bekerja, berpikir, buang-buang waktu untuk hal-hal yang tak penting. Kalau dapat kesempatan korupsi ya korup, kesempatan untuk bolos kerja ya bolos. Pantas aja kita tak maju-maju.

Makanya tak aneh kalau orang Jepang tak sungkan berkawan, ia memosisikan dirinya sebagai bagian dari sistem, bukan individu-individu yang bebas. Begitu halnya dengan si Rio ini. Ia tak memandang dirinya sebagai bagian yang berbeda dari para kawan barunya. Ia sangat terbuka untuk berbincang, meski sering berhadapan dengan orang yang tak mahir bahasa.
Kemarin, Jumat (10/10/08), saya berpapasan dengannya di lantai satu gedung Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), katanya ia hendak lunch di Jasaboga Pertanian (Jasper). Mumpung sudah kenalan, saya menawarkan diri untuk menemani makan. Ia bersedia. Saat kami sudah sedikit melangkah jauh, ada kode dari teman-teman di lab fisiologi. Tahu-tahu, mereka juga berkeinginan untuk makan bersama Rio. So.. jadinya kami pergi berenam. Maka jadilah Rio seperti permansuri yang diikuti dayang-dayangnya. Saya dan ia berjalan di depan dan kawan-kawan lain mengikuti di belakang. Saat berjalan menuju kantin, Rio sepertinya menjadi pusat perhatian, selain ia bercakap menggunakan bahasa Inggris, ia juga very handsome disertai kulitnya yang putih susu. Diantara kami terdapat Kak Yusuf yang cukup mahir bahasa Inggris, hampir seluruh waktu saya bersamanya pun sekadar digunakan untuk mendengar mereka bercakap. Tak apalah, namanya juga belajar. Kan belum mahir...

Ketika menikmati hidangan coto dan jus alpokat di kantin, tersirat ide untuk memassifkan iklim berbahasa Inggris di lab fisiologi. Ide ini saya utarakan ke kakak Zeti, penghuni lab ini selama bertahun-tahun. Ide itu adalah buah dari Rio Sindrom serta semangat untuk mengejar ketertinggalan dalam hal berbahasa Inggris. Ia setuju akan ide yang timbul itu, namun setelah sebentar memikirkan kami lagi-lagi tak fokus dan beralih ke isu lain. tapi Tampaknya itu sangat tepat diterapkan di lab histologi, mumpung kawan-kawan di sana pada kena sindrom orang jepang. Jadi besar kemungkinan termotivasi untuk belajar bahasa asing itu.
Saya sendiri sadar bahwa sudah lama saya berkeinginan untuk menguasai bahasa Inggris, tapi selalu saja terkendala malas. Belum ada kekuatan luar biasa yang mampu mendorong saya untuk semangat belajar. Banyak cara yang telah saya lakukan untuk menumbuhkan semangat ini, seperti berkawan dengan orang yang pintar english, pernah ikut kelas english kecil-kecilan di identitas dan di perikanan, behubungan dengan gadis yang mahir bahasa inggris lewat surat pesan pendek, dan memohon kepada orang yang saya cintai untuk mengirimkan kata-kata inggris dengan asumsi bahwa jika berasal darinya akan lebih mudah saya ingat. Tapi, lagi-lagi tetap tak maksimal juga. Masalahnya hanya satu, ya itu tadi, belum ada perhatian lebih pada bahasa itu.
Tak jauh-jauh, ide saya tadi mungkin telah mengendap, teman-teman yang telah menyiakan pun sudah pada lupa. Setelah kepulangan Rio pada bulan Desember nanti, barangkali sindrom keinginan berbahasa inggris ini lenyap dengan sendirinya.

Ya.. namanya juga Indonesia, ide apa sih yang dapat bertahan di negeri ini.. Saya juga orang Indonesia, tak apalah...

Maros, 11 Oktober 2008
Idham Malik




0 komentar:

Rio (Pemuda Jepang), Komunitas, dan Bahasa Inggris