semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Hidup dalam Pengertian


Barangkali, sepelima abad rata-rata umur kita ini sudah pantas mempertanyakan kembali apakah sebenarnya hidup itu. Hidup yang kita lakoni hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun secara rutin, dinamis, atau kadang konstan. Hidup kita yang tampaknya juga dikendalikan oleh faktor luar, yaitu lingkungan, hubungan sosial, pekerjaan, keluarga hingga pacar. Disamping faktor dalam seperti karakter, impian, dan ideologi. Hidup yang kita jalani begitu saja, apa adanya.
Kata hidup mengandung arti positif, yang artinya bertumbuh kembang, berlanjut, berangsur-angsur, menempuh perjalanan, atau menuju suatu titik, pusat kembali kelak. Pun demikian, pengertian kita tentang hidup pasti berbeda-beda, tergantung pada pemahaman-pemahaman kita terhadap peristiwa-peristiwa lalu dan harapan-harapan kita akan masa depan.
Dengan demikian, tampaknya kita jarang menyadari atau kurang perhatian terhadap hal tersebut. Fokus kita termakan di sekat-sekat kantor, kantin-kantin, di gedung-gedung bertingkat, atau di emperan jalan, kolong jembatan dan di pinggiran kali. Kita sibuk mengurusi dunia yang tak ada ujungnya, entah untuk tugas kuliah hari esok, janjian nonton bareng teman, ketemuan di kantin sama doi, mengerjakan proyek penelitian, mengadvokasi aktivis yang terjerat hukum, belajar, sibuk mengurusi orang lain, perkara-perkara kecil seperti pakaiannya, hiasannya hingga cara jalannya, atau malah masih berkutat pada bagaimana perut bisa kenyang sebentar malam. Ya.. mungkin kita berputar pada itu-itu saja, karena bisa jadi begitulah memang hidup.

Sepertinya kita butuh formula lain tentang hidup itu. Karena saya sendiri kadang ragu lantaran defenisi tentang hidup itu sering terbawa arus informasi. Kita hidup atas dasar penerimaan informasi saja, atau penerimaan terhadap keadaan sekitar. Bentukan-bentukan itu perlu kita modifikasi lagi sehingga lebih bermakna. Ya kita memang butuh banyak makna.
Hidup ini bukan hanya memerlukan pengetahuan, tapi juga pengertian. Bukan sekadar informasi, tapi juga pemahaman. Atau fakta yang bergandengan dengan makna. Makna itu kita peroleh dari pengalaman sehari-hari yang kemudian membentuk kepribadian kita. Makna yang kadang kala membuat kita termenung bahwa beginilah hidup, entah indah, sengsara, atau berliku. Dari pemaknaan ini jiwa kita dibentuk sekaligus persepsi kita tentang hidup dan dunia. Yang dapat pula melahirkan streotipe-sterotipe, sehingga menjadi pembeda antara kita dengan lainnya.
Informasi yang sama, tapi dimaknai secara berbeda. Begitulah kita yang dibentuk bersama oleh fakta-fakta dan kemudian dibedakan oleh makna. Perbedaan pemaknaan ini pun yang membuat kita susah berkomunikasi karena berbeda cara pandang. Saling menjatuhkan dan menuntut superioritas golongan, melegitimasi diri bahwa dialah yang paling benar. Komunikasi akan berlangsung lancar jika makna-makna ini dapat diperbincangkan dan dileburkan.

Begitulah kita yang terlalu percaya pada fakta. Selentingan mendengarkan versi tertentu, dengan cepat dijadikan pegangan, lantas menganggap keliru yang lain. Sebentar mendengar versi lain lagi membuat kita pindah aliran, tanpa mengecek kebenarannya lebih jauh. Mungkin belum ada penghayatan mendalam dengan analisis yang holistik, mengaitkan beragam elemen secara utuh. Serta mengetahui implikasi-implikasi ke depannya.
Sebagai wartawan saya dibiasakan melakukan verifikasi atau cek ulang. Sebagai manusia pun kita ditegaskan untuk tidak gampang percaya kepada siapa pun sebelum menelitinya sendiri. Karena jika demikian, pastinya akan diombang-ambingkan oleh informasi. Seperti kayu di tengah ombak.
Fakta pun pada dasarnya adalah bentukan sosial, budaya atau individu. Ia adalah hasil konstruksi. Ia bukan ada dengan sendirinya, tapi diadakan. Dengan begitu, kita harus meneropong kira-kira apa makna di balik peristiwa. Apa tanda yang hendak ingin disampaikan. Siapa dalang peristiwa itu kemudian apa tujuannya. Sehingga sangat disayangkan jika kita menerimanya begitu saja, karena jika demikian kita masuk dalam perangkap rekayasa sosial oknum-oknum tertentu.
Tapi, begitulah kiranya. Rata-rata dari kita malah mendukung fakta yang terjadi. Terhasut oleh pikiran-pikiran media yang kadang menjerumuskan. Media yang menjadi alat legitimasi para penguasa untuk membenarkan tindakannya. Kita dapat dikatakan telah terhegemoni oleh wacana-wacana tertentu yang telah dimenangkan dalam media. Pasalanya, karena kita sekadar mendengar selentingan semata..
Tapi, fakta dalam media pun pasti akan berbeda pemakanaannya pada masing-masing pembaca. Tergantung dari tingkat pengetahuan, ideologi, atau kepentingannya. Tentang kasus BBM, pasti akan berbeda tanggapannya antara tukang becak dengan anggota DPR, antara ibu rumah tangga dengan dosen ekonomi.
Sebagai manusia yang punya akal dan pikiran, kita pun diberikan kebebasan untuk memilih dalam persoalan fakta dan pemaknaan ini. Apakah kita hanya menjadi kuli bangunan yang kerjanya mengangkat batu setiap hari, tukang batu yang dapat mengukur kadar semen dan pasir kemudian menyusun batu-batu, atau arsitektur yang dapat menimbang-nimbang ukuran bangunan tinggi dalam pikirannya.
Terserah kita bagaimana memanfaatkan fakta dan makna itu. Yang jelas, jangan berhenti melakukan refleksi diri.. semoga refleksi itu berguna bagi kemanusiaan di atas segala-galanya..

Maros, 15 November 2008



0 komentar:

Hidup dalam Pengertian