semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Kita dan Cengkraman Global


Naiknya harga kedelai di pasar Amerika turut mempengaruhi laju pergerakan harga kedelai di pasar sentral Makassar. Peristiwa gempa di Pakistan dapat membuat hati Bu Ima’, seorang peneliti muda meleleh. Aksi demonstrasi para biksu di Negara Totaliter Myammar pun membuat jiwa para pemuda kampung Marusu bergetar. Harga minyak dunia juga mempengaruhi pasang surut nilai tukar rupiah kita. Mengamati fenomena ini, dimanakah posisi kita (baca: pemuda)?
Memang, tak dapat dipungkiri bahwa kini kita tak dapat bersembunyi dari lensa dunia. Semua ranah telah terambah berkat jasa ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya sarana informasi itu. Celakanya, kita bukannya menjadi pemain utama, tapi justru menjadi sasaran tembak para pengendali itu. Kerjaan kita adalah menyerap informasi tanpa menggunakan saringan. Mengkonsumsi produk hiburan kemudian sibuk memperdebatkan acting para aktor Hollywood. Dalam kepala kita hanya mengandung informasi merek handpone terbaru serta mode terbaru yang dikenakan para aktris film laga. So.. modernkah kita?
Ya, memang jika kita yang punya banyak uang pastilah akan dengan mudah memproleh produk-produk bergensi itu. Kita tinggal berjalan anggun, memperlihatkan jenis-jeans baru kita. Tak sedikit mata kawan-kawan kita yang lebih kere membelalak. Minta dibelikan juga sama orang tuanya. Belakangan, tampillah mereka dengan model yang serupa. Tapi, uang yang sebelumnya hendak mereka gunakan untuk bayar uang praktikum pun ludes untuk selembar jeans tersebut. Lagi-lagi kita dikibuli oleh persoalan sepele, namun merusak. Membuat kita bangga, namun sebenarnya kolot. Kita pun mulai mengasingkan diri, memilih-milih teman gaul. Berupaya mengidentifikasi apa saja yang mesti dapat menonjolkan diri, eksistensinya. Kemudian melecehkan kawan sepermainannya dahulu yang belum ikut mode. Betulkah kita?
Ini sudah menjadi fenomena. Menjalar secepat aliran listrik. Jika tak sigap akan hinggap dibenak para kawula muda yang katanya penerus dan penentu bangsa ini. Kalau begitu, bagaimana jadinya bangsa kita nantinya. Jika pemerintah, dan rakyatnya doyan konsumsi apa saja, mulai dari produk makanan, mode hingga pikiran. Emoh memproduksi dan mencipta sendiri. Kita jadi bangsa terjajah deh. Dijajah oleh para produsen tadi. Kita pun terus menjadi penonton, tanpa mampu berbuat. Bagaimana tidak? Kita hanya tahu merek hp, mode terbaru atau film yang lagi top. Kita pun tak tahu siapa diri kita dan untuk apa kita diciptakan. Bagaimana pula kita harus mengurus bangsa.
Virus ini pun menjangkiti para guru, birokrat, serta mahasiswa. Mereka masuk dalam jaring-jaring strategi global, dimana terjadi interkoneksitas antara misi para pemikir para pemilik modal multi corporat dengan prilaku mahasiswa kita. Strategi untuk menjajah kita kembali, meski bukan dengan senjata, tapi dengan kerelaan untuk mengabdi pada kuasa modal. Menjadi mahasiswa yang tekun belajar, menuai ilmu di bidangnya masing-masing. Setelah itu, ramai-ramai menjadi tenaga kerja murah. Ada pula yang sedikit mahal, tapi sebenarnya mereka sekadar menjadi alat untuk mengeruk kekayaan sendiri (bumi Indonesia) tanpa pernah paham bahwa pemilik modal dan teknologi itulah yang mengambil jatah lebih besar.
Kini kita, para mahasiswa, sibuk membenamkan diri dalam bejibun tugas dan akademik kita. Terlarut dalam pagar-pagar jurusan, bingkai intelektual. Padahal masih ada kebenaran lain di luar pagar itu, sesuatu yang sangat dekat dengan kita dan tak pernah atau malas kita sadari. Yaitu realitas sosial yang melingkupi kita. Orang-orang yang tidak seberuntung kita. Yang makan tiga kali sehari saja susah, membelikan susu buat bayi mereka saja setengah mati. Apalagi mau mengecap pendidikan! Jauhlah kawan. Ironinya, kita yang dianggap pemilik ilmu pengetahuan justru menjauh dari mereka. Malah nantinya mendekat ke penguasa agar mendapat sedikit rezeki kekuasaan. Menjadi ilmuan mekanik, tahunya bekerja saja, tanpa tahu akan diapakan ilmu mereka itu.
Tentunya ilmu kita akan merapat dengan kepentingan penguasa. Karena sedari awal dalam kepala mereka telah dipancarkan pikiran culas. Dalam melakukan penelitian atau bekerja sesuai profesi mereka, mereka harus beradaptasi dengan kepentingan modal. Memilah-milah objek yang akan ditekuni. Dengan tujuan menghasilkan teknologi yang mampu menjadi trend setter pasar, sehingga dapat memperkaya lagi pengendali kita tadi. Sangat jarang dari kita yang berupaya menemukan teknologi atau teori sosial yang bertujuan mulia. Yaitu memberantas kemiskinan dan kebodohan. Kita sekadar berlomba-lomba dalam euphoria modernitas, memanfaatkan ilmu kita untuk mengumpulkan rupiah sebanyak-banyaknya. Negara kita sebenarnya telah memiliki banyak orang pintar, tapi toh kita belum maju-maju. Orang miskin kok tambah banyak? Apakah alam sudah menyeleksi bahwa orang pintar saja yang berhak merdeka (bebas dari kemiskinan)?
Kita tak pernah diajarkan tentang mengapa kita harus menuntut ilmu. Jawaban yang kita peroleh pun adalah hasil jiplakan dan pengamatan sepintas, yaitu kita belajar sekadar untuk mencari makan, untuk hidup sejahtera kelak. Dalam mimpi kita, nampak mobil mewah, rumah megah beserta istri yang cantik. Kita dituntut untuk berkompetisi dalam mendapatkan impian kita tadi. Pun pada akhirnya kita mendapatkan itu semua lewat jerih payah kita. Namun, lagi-lagi, mata dan telinga kita sudah tertutup terhadap tetangga kita yang belum makan seharian.
Memang dari segi materi ilmu, kita dianggap mumpuni, tapi celakanya ilmu itu diperuntukkan untuk mengeksploitasi yang lain. Entah alam, manusia lain atau rakyat. Lagi-lagi kita melakukan itu lantaran kepatuhan terhadap resep-resep modernisme. Kita ikut-ikutan pada mereka (baca:Negara maju) yang memang merata pendidikannya. Kita pun harus tahu bahwa Negara maju tidak mengeksploitasi negerinya. Tapi Negara lain, dunia ketiga seperti negara kita. Lewat persaingan ekonomi yang tidak adil. Pemerintah kita tak mampu mengambil pengaruh besar pada percaturan dunia. Sehingga dengan begitu mudah menerima tawaran-tawaran kerjasama dagang yang sebenarnya merugikan kita. Dan kita (baca:mahasiswa) jarang tahu hal itu, pengetahuan kita terbatas pada kajian program studi kita saja. Meski kita sebenarnya pintar, tapi kita gampang dikibuli. Pemerintah kita pun begitu.
Olehnya itu, kita sebagai mahasiswa tetap dianjurkan memanfaatkan interkoneksitas global tadi. Tapi, kita jangan ikut arus dan terperangkap dalam permainan para actor neoliberalisme itu. Kita harus pintar-pintar melihat celah globalisasi, membuka mata dan hati kemudian mempelajari jejaringnya. Setelah tahu, kita pun akan tersadarkan. Bahwa sebenarnya kita telah terhegomoni dan belum merdeka sepenuhnya. Niat awal kita pun harus berubah, kita menuntut ilmu bukan hanya untuk mencari makan, tapi juga untuk hidup seutuhnya, menjadi manusia yang merdeka.

Idham Malik
Mahasiswa Perikanan 2004



0 komentar:

Kita dan Cengkraman Global