semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Wartawan dan Polisi, Dimanakah Hubungannya?


Bulan November ini wilayah gerak saya sedikit berbeda. Pasalnya saya seperti memasuki ranah baru yang dahulu sering kali saya nafikan. Bermula dari pertemuan di sekretariat AJI (Aliansi Jurnalisme Independen) Rabu, (16/11), di sana saya bertemu dengan kawan-kawan pers mahasiswa se Makassar. Yaitu terdiri dari Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM Unhas, UPPM UMI, Profesi UNM, Estetika UNM, LPMH, dan Persma Poltek. Sebelumnya, saya sudah mengira bahwa yang menjadi pokok pembicaraan adalah meminta respon pers mahasiswa untuk menanggapi pengaduan kapolda kepada Upik Asmaradhana sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Di sana kami betul-betul membincangkan tema itu, menurut Padli, ketua AJI, tindakan Sisno Adiwinoto, selaku Kapolda betul-betul mengancam kebebasan pers yang baru bersemai sepuluh tahun terakhir ini. Selain pernyataannya yang kontraproduktif dan cendrung memprovokasi pejabat publik, ia dengan tegas dan berani pula telah mengadukan seorang wartawan ke pengadilan berkaitan pembentukan Koalisi Jurnalis Anti Kriminalisasi Pers berserta kritik yang ditujukan padanya.
Menurut Sisno, Koalisi tersebut yang dikoordinatori oleh Upik Asmaradhana telah mencemarkan nama baiknya, sesuai dengan pasal 317 KUHP. Padahal yang terjadi adalah hanya reaksi seorang atau sekelompok wartawan terhadap pernyataan Kapolda yang membahayakan status wartawan tadi. Perdebatannya berada pada wilayah apakah UU. Pers No. 40 adalah lex spesialis sehingga mesti menempuh hak jawab atau tidak perlu menggunakan UU. Pers No. 40 karena masih bisa belum selesai serta ketentuannya juga terdapat di KUHP. Di titik inilah mereka berputar-putar hingga pada Selasa, (15/11) itu Upik dipanggil sebagai tersangka.
Upik dikenai tuntutan pada pasal 317 tentang mengadu secara memfitnah dengan tulisan. Karena pernyataan Sisno diterbitkan oleh harian Fajar sehari setelah pernyataan itu dilontarkan. Di samping berkunjungnya Upik ke Jakarta untuk melaporkan langsung tindakan Kapolda itu kepada Kapolri, SBY dan Yusuf Kalla. Hal ini tentunya tambah membuat berang sang kapolda yang notabene adalah bawahan Kapolri.
Meski begitu, Sisno berani mempertahankan argumennya, ia pantang surut untuk berdebat karena kutipan yang ada di harian Fajar berbunyi, ... wartawan mestinya dipidanakan. Yang artinya bisa ya bisa tidak. Ia berasumsi bahwa tidak ada bukti kuat tentang ucapan Kapolda yang mengajak orang tidak menghormati UU. Pers No. 40 sebagai lex spesialis. Jadi kuatlah niatnya untuk mengajukan Upik sebagai tersangka pencemaran nama baik. Setelah pemanggilan Upik menjadi tersangka membuat banyak kalangan pers marah, karena mereka mendengar sendiri redaksi perkataan Kapolda yang seperti sebelumnya dibahasakan. Justru menurutnya Kapolda telah melakukan sabotase bukti, seperti peniadaan rekaman pada stasiun TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun TV yang menyiarkan kegiatan tersebut.
Pun ia berani berdebat tentang posisi UU Pers No. 40, karena memang diakui dalam undang-undang itu belum ditorehkan secara gamblang bagaimana mekanisme hak jawab dan perlindungan pers. UU itu hanya mengatakan ada anjuran semacam itu, tapi titik tekannya kurang sehingga ada cela untuk memanfaatkan undang-undang lain, tepatnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jadi Kapolda memang melangkah dengan dasar yang kuat, so.. wartawan pun kian terancam.
Sebenarnya untuk menjamin demokrasi ke depannya, spesial untuk kasus ini kita tak usah terlalu bermain-main pada wilayah hukum, tapi kita bermain pada tataran nilai. Soalnya, hukum yang kita gunakan kurang berisi, kurus, tidak akurat, sehingga acuannya justru membuatnya tak menjadi jaminan. Dari tinjauan nilai, wartawan adalah wakil publik untuk merekam kejadian-kejadian dengan kritis, menjadi cermin warga dan pemerintah, pengawas, anjing penjaga, dan sharing patner sekaligus membantu untuk mendewasakan masyarakat dan aparaturnya.
Sehingga, jika kerja-kerja wartawan ini dihalang-halangi dengan tidak dihormatinya undang-undang pers no. 40, pasti wartawan akan keseringan mendekam di kantor polisi sekadar untuk memenuhi panggilan lantaran aduan pencemaran nama baik oleh oknum-oknum tertentu yang dicurigai berbuat curang. Jika demikian halnya, proses transformasi informasi ke masyarakat akan terhambat, suara berekspresi kian terkekang, dengan begitu demokrasi pun pelan-pelan terkubur.
Padahal satu-satunya pegangan hingga saat ini adalah UU tadi, jadi yang patut dikritisi pul adalah kinerja Dewan Pers untuk segera merevisi undang-undang tersebut hingga betul-betu menjamin.

Sekarang perlu kiranya diketahui bagaimana sih sebenarnya hubungan antara wartawan dan polisi? Dari acuan buku pers yang pernah saya baca, wartawan dan polisi selalu jalan berbarengan atau berkawan dengan harmonis.
Wartawan dalam menjalankan tugasnya sangat membutuhkan polisi yang bertugas sebagai penegak hukum. Sementara wartawan bertugas untuk meliput kejadian-kejadian yang bersentuhan dengan hukum, seperti tindak kekerasan, pelecehan dan kejahatan. Hal ini tidak lain dan tidak bukan dominan didapatkan di kantor polisi. Jadi, kinerja wartawan tidak dapat lepas dari bantuan polisi.
Polisi pun pada dasarnya sangat membutuhkan wartawan, dengan asumsi bahwa hasil liputan wartawan dapat dijadikan parameter atau cermin sudah sejauh mana kinerja kepolisian di tengah-tengah publik. Bagaimana polisi dapat tahu tentang keadaan dan perkembangan yang menyangkut kriminalitas, antaikata pers tidak memberitakannya? Bagaimana polisi akan tahu tentang efektivitas tindakan prevensi, pengusutan, penangkapan, dan penahanannya, andaikata media tidak melaporkannya.
Hal ini patut kiranya dicermati, bahwa polisi dan wartawan saling membutuhkan satu sama lain. Toh, patut pula disayangkan, kenapa Kapolda kita justru mensubordinat mitra profesinya, malah berniat menahannya? Ini menandakan ada sesuatu yang tidak beres, ada pula pertanda yang ingin disampaikan. Namun hingga kini tanda itu belum bisa diidentifikasi. Pastinya merupakan pertanda buruk.
Ke depannya, ini bisa jadi akan merusak hubungan yang harmonis antara polisi dan wartawan. Kalau sudah seperti itu, justru wargalah yang paling merugi. Karena disamping tidak terjaminnya kebebasan pers sehingga informasi yang dibutuhkan publik kadang tidak terkuakkan, hukum pun tidak berjalan efektif karena polisi tidak berhasil mengambil manfaat bergandengan tangan dengan wartawan. Ia tak dapat lagi mengevaluasi diri dari tinjauan berita-berita musuh barunya itu.
Secara pribadi saya sangat tidak mengharapkan hal itu, pun jika berdoa saya akan berhajat, semoga itu tidak terjadi...

Maros, 19 November 2008



0 komentar:

Wartawan dan Polisi, Dimanakah Hubungannya?