semoga blog ini dapat menjadi media inspirasi informasi berguna dan sebagai obat kegelisahan..

Tawaku dan Air Mata Bumiku,


Sebuah Cerpen

Langit biru begitu haru, menyelubungi hatiku yang telah beku. Ya.. biru adalah jiwaku yang kelabu, seperti langit yang selalu ragu. Langit yang masih biru di waktu senja. Emm.... Aku... menunggu merah menghiasi langit, lalu datanglah magrib.
Hatiku kosong, butuh air kehidupan. Air yang sekarang lagi diributkan oleh ilmuan-ilmuan masa depan. Menurut sebuah koran, nanti, bumi ini akan mengalami krisis air. Sungai-sungai akan mengering, danau ludes, laut akan mengental. Di samping itu terjadi paradoks, lantaran peningkatan suhu bumi, terjadi aktivitas pelelehan es pada dua kutub, serta kepulauan greenland. Dalam jangka sepuluh tahun, terjadi peningkatan permukaan air setinggi dua puluh meter. Ada yang mengatakan pada 2100 nanti, kian menanjak hingga seratus meter.
Itu yang saya baca tadi pagi, dalam koran terbitan minggu kemarin, saat kacamata usangku kupakai lagi, setelah lama tergeletak di meja kerjaku. Sudah dua minggu, koran menumpuk saja di dekat rak sepatu belakang pintu utamaku. Koran-koran itu berserakan, bersama beberapa pucuk surat penggemar, atau dari penerbit.
Kakiku malas melangkah, badanku lebai bersandar di sofa. Mataku hanya tertuju pada buku-buku tanaman, majalah tentang ikan dan sebuah laptop yang tak pernah mati dan hanya mengalami hibernasi. Seperti kakiku, aku begitu pemalas. Mataku selalu melihat kunang-kunang kalau bukan wanita cantik. Keduanya mirip, karena sama-sama memberikan cahaya.
Belakangan ini, aku jijik mengikuti perkembangan. Koran kupesan untuk kuhamburkan. Menyia-nyiakan informasi yang memang sudah mubasir. Aku lelah menghisap beragam imformasi yang justru membuatku resah. Aku lelah menatap dunia. Aku ingin pergi, menjauh dari realitas. Maka kubuatlah alam mimpi itu.
Artikel tentang air itu, membuatku tersenyum. “kian sempurnalah penderitaan bumi, sebagai manusia saya harus tertawa.. saya telah menang.. hahahaa,” tawaku membuncah. Koran itu aku remukkan dan kukembalikan ke tumpukan. Badanku yang lebai pun menegang. Kakiku gemetar, urat-urat pada punggung kakiku menonjol.
Laptop kembali aku buka, aku mengaktifkan kode jaringan. Satelit pemancar kembali bekerja, lajunya cepat. Aku membuka situsku. Kutambahkan tulisan baru, tentang tawa manusia terhadap alam. Manusia berhasil menaklukkan alam.
Tapi, hatiku menangis, menangisi ibuku yang juga bersedih. Ibuku adalah gaia, sang alam itu sendiri. Ibu yang telah bersusah payah menjaga stabilitas, melakukan proses swaorganisasi, autopoesis. Ibuku sekarang lagi oleng, ia tak seimbang. Mukanya memerah, hendak muntah. Aku sedih melihatnya, karena aku berasal dari ibu, aku bagian darinya. Ialah yang melahirkan aku. Ibu, betapa menderitanya engkau.
Aku salut padamu, walaupun kamu sakit, kamu tak pernah marah pada manusia, mahkluk yang menghianatimu. Ibu mengeluarkan air mata, pada bulir-bulir itu nanti akan mendatangkan bah. Durjana yang akan menghanyutkan saya bersama milyaran manusia. Tapi betapa sombongnya aku, sehingga membuatku buta dan tak melihat air mata itu menetes.
Ibuku adalah bumiku. Dalam benakku, “aku akan menyelamatkanmu ibu”.

Senja pun berlalu, doa-doa bersiliweran di udara. Suara mesjid bungkam, magrib melenggang. Malam tiba membawa keheningan, dan tentunya ketenangan bagi jiwaku yang hitam.
Doaku adalah penghianatanku. Aku berdoa dalam lantunan lagu Beatiful tonight, bersama eric clapton, mengingatkan ia yang mungkin lagi sibuk, mengutak-atik ikannya. Ah.. rindu itu adalah emosi. Akulah yang menciptakan emosi itu. “I feel wonderful, because I see, love light in your eyes.”
Aku tak mengingat-Nya, tapi malah mengingat ciptaan-Nya. Ciptaannya yang menurutku mendekati kesempurnaan-Nya. Tak jauh-jauh, yakni seorang gadis yang telah mengikat hatiku, menyandera kesadaranku. Membuatku buta sekaligus melihat. Aku rindu menatap kecantikannya, merasakan auranya.
Dan, begitu sombongnya aku. Aku sadar bahwa ilmuku seperti buih di lautan. Otakku saja, seperti sebuah gelas kecil, tak kuasa menampung ilmu yang seluas samudra. Belum lagi gelas ku penuh. Aku berpaling dari pencipta gelas itu. Namun, itulah aku, si penghianat licik.
Eric Clapton telah lesu, ia sudah kedengaran garing, tak ada lagi gairah. Jiwanya telah terbang. Baiknya aku berpaling ke Anggun C Sasmi, seorang indo berkewarganegaraan Prancis. Latar yang diagung-agungkan oleh Andrea Herata yang beruntung itu. Mimpi, sajak anggun yang membuat rambut-rambut di lenganku bergidik. Wajah putih pucat pasih, tergores luka di hati, matamu membuka kisah kasih asmara yang telah tergoda. Oh.. Anggun, kau begitu memesona. Kau membantuku paham bahwa perih kasih adalah emosi.. sebuah wilayah kesadaran yang kadang membuatku buta akan mimpi yang hakiki.. lagi-lagi emosi. Ada apa denganmu?
Bagawat, sadarlah kamu, bahwa dunia beginilah adanya. Kamu tinggal berjalan di atasnya. Merancang pelindung yang akan memuluskan jalanmu. Janganlah kamu mengikuti para filosof yang konyol itu. Mereka malah akan menumpulkan jiwa dewasamu, kekuatanmu, kegagahanmu.
Tapi, aku tak menyangkal bahwa aku tak lain adalah buih itu. Yang akan menghanyutkanmu, membuatmu gila. Aha, aku selalu ragu terhadap obyek pandanganku. Aku adalah anak-anak yang perlu menjilat, membongkar, mengutak-atik obyek. Aku adalah semut-semut yang mesti memanjati bulu kelinci. Aku bukanlah sang dewasa yang rasional itu, yang memandang dunia telah sempurna, kemudian menumpulkan akalnya.

Sudahlah mengeluh, mataku telah lelah.. badanku merunduk, kepalaku bersandar pada dua punggung tanganku. Lagu Tear in Heaven mengantarku pada kematian. Aku mati sesaat, sembari merindukan surga, berharap menemukan cintaku di sana.

Sudahlah..

5 Februari 2009




0 komentar:

Tawaku dan Air Mata Bumiku,